,

Tanpa Paksaan, Warga Ini Serahkan Elang Peliharaannya

Senin pagi, 20 Juni 2016, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat menerima beberapa satwa dilindungi. Satwa tersebut merupakan peliharaan warga, yang kemudian menyerahkannya ke BKSDA, karena mengerti bila memelihara satwa dilindungi merupakan perbuatan melanggar hukum.

Lim Tjin Hua alias Tommy, warga Sungai Jawi Dalam, Kota Pontianak, yang memelihara dua elang-laut perut-putih (Haliaeetus leucogaster), satu elang bondol (Haliastur indus), dan satu individu elang tiram (Pandion haliaetus). Tommy juga menyerahkan tiga primata jenis owa-owa atau klempiau (Hylobates mulleri), yang terdiri dari satu induk dan dua anak.

“Pemilik memelihara elang selama satu hingga lima tahun. Dia merupakan kolektor satwa, tidak ada indikasi sebagai penyalur satwa dilindungi,” kata Sustyo Iriyono, Kepala BKSDA Kalbar. Sustyo menekankan agar tindakan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar serta kepemilikan satwa liar yang dilindungi undang-undang untuk kesenangan, harus bisa dihentikan.

Sustyo mengimbau masyarakat yang memelihara satwa liar dilindungi, untuk menyerahkan kepada pihak Balai agar dapat direhabilitasi dan dikembalikan ke habitat aslinya. “Tempat paling baik satwa adalah alam liar. Bukan di kandang,” kata dia. Satwa-satwa tersebut, rencananya akan dititiprawatkan sementara waktu di Lembaga Konservasi Sinka Zoo Singkawang. Khusus untuk klempiau, akan segera dileparliarkan, setelah diperiksa kesehatannya, karena masih memiliki sifat liar.

Terkait elang, Sustyo mengatakan, jenis ini termasuk satwa dilindungi. Sehingga, tidak bisa diperjualbelikan dan dipelihara bebas, mengingat secara keseluruhan di wilayah Indonesia populasi dan habitatnya sudah berkurang. “Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua jenis elang itu dilindungi,” katanya.

Elang bondol. Foto: Khaleb Yordan
Elang bondol. Foto: Khaleb Yordan

Dihubungi terpisah, Zaini Rahman yang merupakan pegiat konservasi elang menuturkan, semua jenis elang memang dilindungi. Jenis ini ditandai dari ukurannya yang agak besar hingga besar. Burung pemangsa ini memiliki paruh berkait dengan cakar kuat, yang berfungsi untuk mencabik vertebrata. “Kegiatan memelihara elang yang berkembang di masyarakat saat ini lebih ke prestise saja. Ini dampak dari kegiatan falconry yang belakangan marak,” ujarnya, Rabu (22/06/2016).

Falconry adalah memelihara elang yang digunakan untuk berburu. Kegiatan ini merupakan budaya yang berkembang di luar seperti Jepang, Korea, Tiongkok, dan Timur Tengah. Bahkan, di Timur Tengah, aktivitas berburu yang disebut olah raga menggunakan elang ini, telah dilakukan sejak abad ke-8 Masehi yang selanjutnya berkembang ke Eropa, terutama di kalangan bangsawan. “Di Indonesia,  falconry dilakukan untuk atraksi. Yang harus dipastikan adalah dari mana elang tersebut diperoleh? Apakah di Indonesia ada penangkaran elang? Toh, tidak semua budaya luar harus kita terima bulat-bulat,” papar Zaini.

Elang-ular bido ini direhabilitasi dahulu hingga setahun sebelum dilepasliarkan ke alam. Foto: Suaka Elang

Di alam, elang berperan penting sebagai top predator. Keseimbangan ekosistem akan terganggu bila elang diburu atau ditangkap untuk dipelihara. “Ekosistem kawasan akan tidak seimbang pastinya. Di satu sisi ada kemungkinan jumlah elang mengalami penurunan dan di lain sisi populasinya berlebih.”

Mengenai elang peliharaan, Zaini menuturkan, rehabilitasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pelepasliaran dilakukan. Rehabilitasi ini meliputi kesehatan dan perilaku. Jangan sampai, elang yang akan dilepaskan itu ternyata berpenyakit atau cacat, sehingga tidak dapat berburu terlebih beradaptasi di alam liar. “Berapa lama waktu penyembuhan yang dibutuhkan, tergantung kondisi elang itu sendiri. Pastinya, kesehatan yang prima dan perilaku liarnya harus muncul kembali.”

Morfometri dan pemasangan cincin merupakan hal utama yang harus dilakukan pada elang-ular bido ini sebelum dilepasliarkan. Foto : Fransisca Noni

Sitaan

Hingga Juni 2016,  BKSDA Kalbar telah menerima penyerahan dan evakuasi sejumlah satwa, seperti primata, mamalia, reptili, aves, dan jenis tanaman dilindungi. Untuk primata, BKSDA melakukan evakuasi terhadap 12 individu orangutan (Pongo pygmaeus) dan 17 mamalia. Selain itu, terdapat 36 ekor reptil yaitu biawak tak bertelinga (Lanthanotus borneensis), buaya muara, tokek pakistan, ular sanca batik, sanca bola, serta ular viper.

Untuk golongan burung, BKSDA Kalbar menerima penyerahan dan evakuasi sebanyk 863 individu, terdiri dari elang, rangkong badak, kangkareng hitam, murai batu, kacer, cucak hijau, dan kerak kerbau yang kebanyakan akan diselundupkan via Bandara Supadio Pontianak. Dari golongan tumbuhan dilindungi, BKSDA Kalbar telah mengamankan sebanyak 125 rumpun, terdiri dari 37 rumpun anggrek alam dan 88 rumpun kantong semar.

Klempiau yang harusnya hidup di hutan, menderita akibat dikandangkan oleh manusia. Foto: Aseanty Pahlevi
Klempiau yang harusnya hidup di hutan, menderita akibat dimasukkan dalam kandang oleh manusia untuk dipelihara. Foto: Aseanty Pahlevi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,