, ,

Nelayan Lombok Timur Melawan Rencana Pengerukan (Bagian 3 – Habis)

Matahari belum terbit di pesisir timur Pulau Lombok bagian selatan pada pertengahan Mei lalu. Namun, suasana di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar sudah riuh dengan para nelayan dan pedagang. TPI terbesar di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjadi tujuan para nelayan usai melaut.

Bapak-bapak dengan aroma amis ikan dan asin air laut, menurunkan ikan-ikan dari perahu yang baru bersandar di pantai. Ibu-ibu yang masih terlihat segar dan harum, menyambut penuh suka cita dengan ember-ember di tangan. Satu dua ibu tanpa ragu-ragu masuk air menyambut ikan-ikan segar. Mereka lalu membawanya ke pasar di sisi lain TPI.

Ribuan orang memenuhi TPI Tanjung Luar. Ada yang jual beli. Ada yang memotong ikan-ikan beku. Ada pula yang hanya sekadar baku sapa dan tawa. Jenis ikan di sini beragam. Ada tongkol, pari, barongan, udang, kepiting, kerang, tiram, cumi, sotong, tenggiri, dan gurita. Ikan-ikan dari perairan relatif dangkal ini dijual dalam keadaan hidup, segar, ataupun diasinkan.

Adapun dari perairan dalam antara lain ikan jenis kerapu, cakalang, tuna, dan hiu. Ikan jenis terakhir itulah yang paling menarik dan menjadi semacam ciri khas TPI Tanjung Luar karena dijual bebas dalam jumlah banyak. “Pada umumnya ikan hiu yang dijual di sini bukan jenis yang dilindungi,” kata Munawir, staf TPI Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur.

Pagi itu dia mendata semua hiu yang dia tangkap. Ada jenis sirip putih (Triaenodon obesus), hiu bambu (Chiloscyllium punctatum), hiu gergaji (Pristis microdon), dan lain-lain. Selain dibeli warga lokal, hiu-hiu itu juga dijual ke Mataram, Bali, bahkan luar negeri.

Ahmad Jayadi, salah satu nelayan mengatakan, umumnya mereka menangkap hiu-hiu itu di lautan lepas. Mereka menghabiskan waktu sampai 20 hari dengan biaya Rp20 juta. Namun, pagi itu mereka mendapatkan tidak terlalu banyak ikan hiu. “Sekarang agak menurun. Kalau semua dijual, ini paling hanya dapat Rp 3juta,” kata Jayadi. Dia menambahkan, pada umumnya jumlah tangkapan memang terus menurun.

Tidak hanya bagi nelayan desa setempat, TPI Tanjung Luar juga menjadi tujuan bagi nelayan desa-desa lain, seperti Ketapang Raya, Labuhan Haji, dan Pulau Maringgik. Karena itu, TPI Tanjung Luar pun riuh tiap hari dengan ribuan nelayan maupun warga lainnya.

Jayadi menambahkan, saat ini jumlah ikan tangkapan di laut lepas semakin berkurang. Dia mengaku tidak tahu penyebabnya. Namun, menurutnya, mungkin karena makin banyaknya rompong sehingga ikan tidak bisa bebas. “Kalau di rompong, ikannya kan tidak mau pergi ke laut lepas,” ujarnya.

TPI Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB banyak menjual ikan hiu yang ditangkap dari perairan sekitar. Foto : Anton Muhajir
TPI Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB banyak menjual ikan hiu yang ditangkap dari perairan sekitar. Foto : Anton Muhajir

Rompong atau rumpon adalah rumah ikan buatan nelayan lokal yang sekarang makin marak digunakan. Nelayan memasang rumpon ini berjarak kira-kira 1-2 km di Selat Alas yang akan dikeruk. Bagi mereka, pemasangan rumpon atau rompong adalah salah satu strategi untuk tetap mendapatkan ikan.

Hal inilah yang membuat nelayan juga resah jika selat ini jadi dikeruk sebagaimana rencana PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dan PT Dinamika Atria Raya (DAR). Sebab, pengerukan itu pasti akan mengganggu lokasi di mana mereka melaut termasuk memasang rumpon.

“Saya sih tidak menolak atau mendukung pengerukan pasir di desa kami. Saya ini kan orang kecil. Cuma, kalau nanti pasir lautnya jadi dikeruk, saya mau cari makan di mana?” kata Jayadi. Pernyataan ini serupa persis dengan jawaban dari ribuan nelayan lain di kawasan Selat Alas yang pasir lautnya akan dikeruk sebagai bahan reklamasi di Teluk Benoa, Bali.

Nelayan Kecil

Dalam catatan Front Perjuangan Rakyat (FPR), aliansi penolakan rencana pengerukan di Lombok Timur, pengerukan akan berdampak terhadap 3.617 nelayan. Jika tiap keluarga punya empat anggota, maka akan ada 14.468 jiwa yang terkena dampak. Berada di wilayah persis di pantai timur Pulau Lombok, sebagian warga di 10 desa lokasi pengerukan bekerja sebagai nelayan. Sebagian lainnya petani, pegawai negeri, dan pekerja swasta.

Pada umumnya, nelayan di kawasan Selat Alas termasuk nelayan kecil. Mereka menggunakan perahu jukung dan perahu motor tempel dengan mesin mencapai 300 PK. Terdapat hampir 4.000 kapal tangkap di kawasan ini dengan alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jaring, dan bagan. Jenis pancing yang digunakan adalah pancing rawai, pancing tonda dan ulur, kawai, dan pukat cumi.

Sebagian besar nelayan melaut dalam waktu pendek. Ada yang hanya satu malam melaut lalu kembali. Ada yang memasang jaring sekitar 1 jam lalu kembali pulang dan kemudian kembali lagi untuk memeriksa jaring. Hasilnya mereka jual langsung ke tempat pelelangan ikan atau ke penadah ikan yang punya perahu.

Dengan alat tangkap dan perahu yang tergolong kecil, pendapatan para nelayan di kawasan ini berkisar antara Rp1,5 juta – Rp 1,9 juta. Musim yang makin tak menentu pun membuat nelayan makin susah menangkap ikan.

Aneka ikan yang ditangkap di Selat Alas Lombok Timur, NTB. RIbuan nelayan di perairan Lombok Timur terancam mata pencahariannya karena rencana pengerukan pasir laut oleh PT DAR untuk reklamasii Teluk Benoa Bali. Foto : Anton Muhajir
Aneka ikan yang ditangkap di Selat Alas Lombok Timur, NTB. RIbuan nelayan di perairan Lombok Timur terancam mata pencahariannya karena rencana pengerukan pasir laut oleh PT DAR untuk reklamasii Teluk Benoa Bali. Foto : Anton Muhajir

Dua di antara belasan ribu nelayan yang akan kena dampak adalah Muhammad dan Abdul Gani di Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak. Warga desa berjarak sekitar 35 km dari Tanjung Luar ini yakin bahwa pengerukan akan menghilangkan mata pencaharian mereka.

“Kami merasa dizalimi oleh pemerintah karena pendapatan kami pasti akan jauh berkurang atau bahkan mati jika laut jadi dikeruk,” kata Muhammad. Sebagian besar nelayan di Ketapang Raya lebih banyak menangkap cumi, termasuk Muhammad dan Gani.

Menurut Gani, sebagai nelayan kecil, mereka selama ini harus bersaing dengan kapal-kapal besar. Dia memberikan contoh saat melaut mereka hanya menggunakan pukat sepanjang 10 meter. Namun, mereka kadang-kadang harus berhadapan dengan kapal besar yang punya pukat sampai 50 meter. Makin banyaknya rumpon juga menjadi tantangan tersendiri karena, menurut mereka, maka ikan-ikan tidak lagi mau berenang ke laut lepas.

Selain itu, nelayan juga sering mengalami paceklik ikan karena musim tangkap ikan lebih pendek dibandingkan waktu bukan tangkapan. Untuk mengatasi kesulitan, para nelayan sering terjerat utang di Palele, yaitu juragan ikan yang memberikan pinjaman dengan sistem pembayaran pada waktu musim ikan datang. Bagi Muhammad dan Gani, pengerukan pasir laut akan membuat pendapatan mereka makin tidak pasti.

Sebagaimana disebut dalam Analisis Mengendai Dampak Lingkungan (AMDAL), pihak PT DAR dan PT TWBI sendiri sudah menyadari bahwa pengerukan pasir laut di Selat Alas tidak hanya akan berdampak pada lingkungan tapi juga sosial ekonomi nelayan setempat. Dampak sosial ekonomi itu antara lain hilangnya mata pencaharian, terganggunnya lalulintas laut bagi nelayan, dan penurunan pendapatan masyarakat.

Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) yang aktif mendampingi nelayan di kawasan tersebut menyatakan hal senada. Amin menyatakan pengerukan Selat Alas merupakan proses proses pemiskinan secara sistematis terhadap rakyatnya sendiri.

Amin menambahkan dampak lain yang tidak boleh dianggap remeh adalah potensi konflik antara warga lokal dengan pemerintah atau perusahaan yang akan mengeruk. Hal ini karena nelayan merasa sumber penghidupan mereka terancam. Di Labuhan Haji, Tanjung Luar, dan Ketapang Raya, hampir semua nelayan menyatakan siap menghadang kapal pengeruk jika mereka jadi mengeruk Selat Alas. Bom lempar pernah akrab dengan mereka ketika masih mempraktikkan pengeboman ikan, sesuatu yang kini sudah mereka tinggalkan.

“Jika sumber penghidupan kami jadi dikeruk, kami akan tetap menolak sampai titik darah penghabisan,” kata Abdul Gani.

Tulisan pertama bisa dilihat disini  dan tulisan kedua bisa dilihat disini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,