, , ,

Menanti Perbaikan Tata Kelola Air Lahan Pertanian Merauke

Johanes Kilok, biarawan katolik di Merauke,  bangga dengan kelompok dampingannya di Kampung Kamangi, bernama Yakip. Yakip, dari kata lokal Boven Digoel, Papua, berarti kebun.  Yakip ini kelompok kaum ibu Papua dan non Papua yang berkebun organik. Kelompok dampingan ini berhasil memanen berbagai tanaman buat keperluan hidup keluarga mereka.

Misionaris katolik Keuskupan Agung Merauke ini mengatakan, tanaman organik ini terdiri dari kacang panjang, mentimun, bayam,  kol, kangkung, jangung dan pagi. Kini, sudah hendak panen.  Tumbuhan ini hidup, katanya, tergantung curah hujan dan drainase yang bagus.

Di Kampung Kamangi, dia bersama petani sayur selalu menjaga drainase karena alam Merauke mengandalkan hujan. Kala cuaca ekstrim seperti sekarang,  katanya, penduduk tinggal menjaga saluran air ke arah lebih rendah dari pesawahan.

Kilok ingin memberikan contoh, bagaimana upaya menata lahan pertanian ramah alam. Lahan pertanian organik dampingannya, relatif tak bermasalah karena sudah memiliki drainase baik. Namun, belum tentu lahan-lahan pertanian yang lain.

Cuaca Merauke tak menentu. Peralihan kemarau panjang ke penghujan, katanya, tak jelas. Kondisi tambah parah kala penebangan hutan serampangan, pembukaan hutan untuk sawit, sagu tergerus, binatang buruan lari atau mati karena hutan terbabat.

“Tanah dan manusia dipastikan hancur. Kita tak menjaga hutan dengan baik. Pemetaan wilayah harus diperhatikan,” katanya di Merauke.

Dia mengatakan, Merauke harus tertata baik. Kondisi sekarang, katanya, bagian perkebunan dan pertanian tak jelas.

Kala penghujan kemarau, kekeringan. Kala penghujan, air melimpah bahkan banjir. Sistem pertanian dan irigasi buruk menyebabkan, kala fenomena La-Nina (musim hujan),  pemerintah, pusing mencari jalan air tak menggenangi lahan. “Bumi selalu memberikan makan manusia, tapi kita tak memperhatikan baik.”

Kilok mengingatkan, penduduk Merauke harus memelihara bumi dengan cara-cara sederhana, seperti tak membuang sampah sembarangan, pilah sampah basah dan kering, ikut tanam pohon sebanyak-banyaknya supaya bumi terjaga.

Warga Kampung Kamangi, yang bertani organik, sedang panen. Foto: dokumen Johanes Kilok
Warga Kampung Kamangi, sedang mengambil tanaman bunga teratai untuk jadi pupuk. Foto: dokumen Johanes Kilok

Martinus Marco Wattmena, pegiat lingkungan hidup di Merauke mengatakan, cuaca ekstrem terjadi, walau belum hujan,  setiap hari terasa dingin menusuk.

Iklim tak menentu berdampak pada petani. Dia meminta, pemerintah cari cara mengantisipasi luapan air kala penghujan nanti. Kala musim panas, katanya, pemerintah harus membangun  bendali untuk menampung air hujan. Drainase juga harus terjaga.

Dia khawatir lahan pertanian tergenang kala tata air tak baik. Hasil pertanian unggulan Merauke seperti jagung, sorgum, kacang-kacangan, kedelai, padi, keladi, petatas,  kapas, kopi dan tebu, katanya,  pasti rusak terendam air.

 

Musim panas ke penghujan

Sugeng Widarko, Kepala Kantor BMKG Merauke menyebutkan, sejak Januari 2016, masih terasa El-Nino. Meskipun di bagian daerah lain sudah hujan, di Merauke masih sedikit. Cuaca masih panas.

Awan hitam, katanya,  telah bergelantungan di langit Merauke tetapi tetap panas. “Memang beberapa bulan lalu hujan turun setelah itu panas lagi.  Hingga Mei belum turun hujan,” kata Widarko.

BMKG Merauke memprediksi mulai panas  memuncak Mei sampai Juli. Perkiraan hujan turun Juli-Agustus.  “Saat itulah La-Nina  lemah sampai moderate, lalu lemah akhir September. Sekarang kemarau tapi basah.”

Meskipun nanti musim hujan, katanya, tetapi curah hujan kurang hingga pemakaian air harus diatur baik hingga akhir tahun.

Tanaman padi organik di Kampung Kamangi. Mereka sudah membangun sistem irigasi yang baik hingga asupan air ke sawah tertata. Foto: dokumen Johanes Kilok
Tanaman padi organik di Kampung Kamangi di Merauke. Mereka sudah membangun sistem irigasi yang baik hingga asupan air ke sawah tertata. Ini contoh, sebagian kecil lahan pertanian tertata baik, mayoritas irigasi masih buruk dan menanti pembenahan. Foto: dokumen Johanes Kilok
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,