,

Sidang Gugatan RTRW Aceh Berlanjut ke Pokok Perkara

Sidang gugatatan terhadap Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), karena tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam aturan tersebut, akan dilanjutkan ke persidangan pokok perkara gugatan. Hal tersebut dilakukan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menolak eksepsi yang diajukan Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DRPA).

Salah seorang masyarakat Aceh yang menggugat Qanun RTRW Aceh melalui gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit (CLC), Farwiza Farhan, mengatakan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) yang merupakan kumpulan masyarakat yang menggugat RTRW Aceh, memberikan apresiasi terhadap putusan sela yang dibacakan oleh Majelis Hakim pada 28 Juni 2016.

“Kami sangat senang, karena Majelis Hakim menolak eksepsi para tergugat. Ini membuktikan, gugatan agar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh mulai membuahkan hasil,” tuturnya, Kamis (30/06/2016).

Tecatat, sembilan masyarakat Aceh menggugat Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan DPRA karena tidak memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh.

Mereka adalah Effendi (Aceh Besar), Juarsyah (Bener Meriah), Abu Kari (GayoLues), Dahlan (Kota Lhokseumawe), Kamal Faisal (Aceh Tamiang), Muhammad Ansari Sidik (Aceh Tenggara), Sarbunis (Aceh Selatan), Najaruddin (Nagan Raya), dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.

Gajah sumatera yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

Farwiza mengatakan, dalam sidang mediasi, kuasa hukum Gubernur Aceh dan kuasa hukum DPR Aceh berpegang pada putusan MA atas gugatan Walhi beberapa waktu lalu. Putusan MA menolak gugatan Walhi atas Qanun RTRW Aceh.

“Padahal gugatan warga dengan Walhi berbeda meskipun objeknya sama. Mendagri pernah evalusasi qanun. Isinya, Pemprov Aceh harus memasukkan KEL sebagai kawasan strategis nasional (KSN) dengan fungsi lindung dalam tata ruang. Kita dorong Pemerintah Aceh mengikuti evaluasi Kemendagri yang harusnya menolak Qanun RTRW Aceh karena tidak memasukkan KEL.”

Farwiza menambahkan, jika KEL tidak dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh, kerusakan hutan tersebut akan semakin parah. Bahkan saat ini, perambahan untuk berbagai kegiatan terus terjadi. “Kami hanya ingin KEL diselamatkan, karena penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). KEL juga sebagai besar merupakan daerah landai yang menjadi tempat tinggal berbagai satwa dilindungi dan terancam punah, seperti gajah dan harimau,” ujar Chairperson Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) ini.

Nasib hutan di TNGL wilayah Gayo Luwes, Aceh, yang tak lepas dari ancaman perambahan. Foto: Junaidi Hanafiah

Pakar hukum di Aceh, Mawardi Ismail, mengaku bingung dengan tidak dimasukkannya KEL dalam RTRW Aceh. Padahal, KEL masuk dalam kawasan strategis nasional. Sementara, beberapa kawasan strategis nasional yang lain di Aceh, masuk dalam RTRW Aceh.

“Pemerintah Aceh beralasan, KEL tidak dimasukkan dalam RTRW karena telah masuk dalam kawasan strategis nasional,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala itu.

Kuasa Hukum GeRAM, Harli Muin dan Nurul Ikhsan menyebutkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan selanya telah menolak eksepsi Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh terkait perkara gugatan warga negara yang diajukan GeRAM.

“Hakim menyatakan sidang gugatan warga negara itu dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara,” kata Harli Muin yang mengaku sidang tersebut dihadiri kuasa hukum Mendagri selaku Tergugat I dan kuasa hukum Ketua DPR Aceh selaku Tergugat III. Sementara kuasa hukum Gubernur Aceh selaku Tergugat II tidak menghadiri persidangan tersebut.

Harli Muin dalam keterangan tertulisnya mengatakan, para tergugat dalam eksepsinya menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan GeRAM terkait tidak masuknya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Aceh tentang rencana tata ruang wilayah atau RTRW.

“Menurut mereka, dalil  para penggugat mengenai perbuatan melawan hukum terkait Qanun RTRW Aceh bukan merupakan objek sengketa peradilan umum, melainkan hak mutlak dari tata usaha negara,” sebutnya mengutip eksepsi para tergugat.

Dalam eksepsi, para tergugat juga menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut karena objek sengketa ada di Aceh. Akan tetapi, majelis hakim menolak eksepsi para tergugat dengan pertimbangan Pasal 118 Ayat (2) Hukum Acara Perdata. Pasat tersebut menyebutkan, jika tergugat lebih dari seorang, dan mereka tidak tinggal di wilayah yang sama, maka gugatan diajukan bisa di pengadilan tempat tinggal seorang di antara penggugat.

Berdasarkan pertimbangan itu, kata Harli Muin, majelis hakim menolak eksepsi para tergugat dan menyatakan sidang gugatan dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara yang akan digelar 12 Juli 2016.

Sumber: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,