Ketika Masyarakat Adat Boven Digoel Belajar Hutan Adat di Ammatoa Kajang

Salomo berjalan sedikit berjingkrak. Hamparan batu cadas yang memanjang sepanjang jalan memasuki kawasan adat Ammatoa Kajang, yang dilalui tanpa alas kaki membuatnya sesekali meringis. Meski terbiasa berjalan tanpa alas kaki, namun bebatuan menonjol sebegai pengeras jalan itu adalah hal baru baginya.

“Kalau di kampung sering berjalan di hutan tanpa alas kaki, namun jalannya hanya tanah. Paling kita injak dan ranting. Tak ada jalan batu seperti ini,” katanya sambil terus berjalan fokus melihat jalan di depannya.

Salomo adalah Kepala Kampung Ugo, Distrik Kombai, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Siang itu, di pertengahan Juni, perwakilan masyarakat adat dan aparat Pemkab Boven Digoel, Papua, berkunjung ke kawasan Ammatoa Kajang. Mereka ingin mengetahui kelembagaan adat dan hutan adat di komunitas adat yang identik dengan pakaian hitam itu.

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada November 2015 lalu memang memiliki Perda Masyarakat Adat, yang kemudian dilanjutkan dengan aturan lain berupa Hutan Adat. Proses penetapan Hutan Adat ini kini tengah berproses untuk ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Salomo mengakui sangat terkesan dengan pengelolaan hutan adat di kawasan Ammatoa Kajang serta bagaimana seluruh ritual dan tradisi yang masih terjaga dengan baik, termasuk struktur dan kelembagaan adat yang masih berfungsi.

“Kita puas dengan kunjungan ini dan semoga bisa juga dilakukan di daerah kami,” katanya setelah bertemu dan berdiskusi dengan Ammatoa, pemimpin adat tertinggi dan pemangku adat Kajang lainnya.

Kristian Ari, Direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari (SPL), NGO kehutanan di Papua yang menginisiasi kunjungan belajar ini mengakui mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman baru dari kunjungan ini. Kondisi yang ada di Kajang menurutnya tak jauh beda dengan apa yang ada di Papua, sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat adat di Papua dalam mempertahankan tradisi.

“Saya lihat tadi wajah-wajah mereka begitu puas dan antusias, baik dari masyarakat dan juga pihak pemerintahnya. Ini menjadi motivasi bagi kami untuk segera merealisasikan Perda Masyarakat Adat dan Hutan Adat di Papua,” katanya.

Mereka merasa termotivasi karena ada potensi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Papua. “Kalau di Kajang bisa maka seharusnya di Papua juga bisa. Dari kunjungan ini kita mendapatkan pengetahuan dan pengalaman bagaimana mengkonsepkan hutan adat dan bagaimana menata keberadaan masyarakat adat. Ini sangat penting bagi kita.”

Mereka terkesan dengan struktur dan kelembagaan masyarakat adat yang masih berfungsi. Di Papua sendiri kelembagaan adat perlahan menghilang seiring perkembangan zaman.

“Ini (lembaga adat) yang harus diperbaiki sedini mungkin sebelum terlambat. Fungsinya juga akan kita jalankan kembali. Demokrasi dan musyawarah harus dibangun. Apapun persoalan harus dibicarakan secara musyawarah dan melibatkan seluruh masyarakat.”

Perkumpulan Silva Papua Lestari kini berupaya melakukan pendampingan ekonomi dengan memperkenalkan budidaya tanaman sayuran dan perkebunan. Beberapa warga juga telah di sekolahkan. Foto: Kristian Ari/Silva Papua Lestari
Perkumpulan Silva Papua Lestari kini berupaya melakukan pendampingan ekonomi dengan memperkenalkan budidaya tanaman sayuran dan perkebunan. Beberapa warga juga telah di sekolahkan. Foto: Kristian Ari/Silva Papua Lestari

Menurut Kristian, di Kabupaten Boven Digoel sendiri masih terdapat masyarakat adat dan memiliki kriteria sebagaimana yang dipersyaratkan pemerintah, khususnya Permendagri No.52/2014.

Dua dari lima suku masih memegang adat istiadat dan pola hidup tradisional, yaitu Suku Korowae dan Kombae. Sementara tiga suku lainnya, yaitu Suku Awyu, Mandobo dan Muyu sudah mengalami banyak perubahan dan lebih maju karena letaknya yang dekat dengan ibukota kabupaten.

“Kita mendorong dan mencoba menghubungkan kepentingan masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adat Korowae dan Kombae menginginkan penguasaan hutan melalui skema hutan adat dan hutan hak.”

SPL dalam hal ini mendukung masyarakat adat di Boven Digoel agar dapat melestarikan budayanya, yang bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. “Dengan adanya desa dan hutan adat yang sedang kita gagas ini diharapkan dapat memproteksi masyarakat adat yang ada di Boven Digoel.”

Kristian sendiri berharap Perda Masyarakat Adat bisa segera hadir di Boven Digoel, sebagai pintu masuk untuk pengakuan hutan adat. Selama ini pengakuan masyarakat adat di Papua sudah termaktub dalam UU tentang Otonomi Khusus Papua, hanya saja pengakuan ini masih bersifat umum.

“Di UU Otsus situ hanya disebutkan masyarakat asli Papua secara global. Masyarakat asli Papua ini banyak, ada sekian banyak suku di Papua, sehingga kita turunan ke level yang lebih rendah yaitu Perda, yang nantinya akan mengidentifikasi siapa itu masyarakat asli Papua.”

Rumah tinggi, selain rumah pohon, masih banyak ditemukan di pedalaman Korowae, Boven Digoel, Papua. Kehidupan masyarakat adat dari suku Korowae, Boven Digoel, Papua, masih hidup dalam pola hidup tradisional. (Foto: Kristian Ari/Silva Papua Lestari)
Rumah tinggi, selain rumah pohon, masih banyak ditemukan di pedalaman Korowae, Boven Digoel, Papua. Kehidupan masyarakat adat dari suku Korowae, Boven Digoel, Papua, masih hidup dalam pola hidup tradisional. (Foto: Kristian Ari/Silva Papua Lestari)

Pengakuan hutan adat di Papua, menurut Kristian, sangat penting artinya karena bagi masyarakat adat di Papua keberadaan hutan melekat dengan hak.

“Filosofinya di Papua itu setiap jengkal tanah dimiliki oleh masyarakat adat. Tidak ada tanah di Papua yang tak bertuan. Sehingga masyarakat mengklaim bahwa semua jengkal tanah dan sumber daya di dalamnya adalah hak mereka dan terbagi dalam penguasaan oleh klan-klan. Sehingga di Papua jarang dikenal istilah hutan atau tanah negara, yang ada adalah tanah adat.”

Kristian selanjutnya berharap keberadaan Perda dan regulasi Hutan Adat ini bisa menjadi solusi konflik penguasaan untuk investasi, khususnya perkebunan sawit.

“Konflik ini muncul ketika kepentingan masyarakat tidak sinkron dengan kepentingan pemerintah. Kadang masyarakat tidak menginginkan adanya investasi tapi dari pemerintah melihatnya sebagai potensi.”

Selama ini penanganan konflik melalui pemberian ganti rugi kepada masyarakat, meski ternyata masih sering juga memunculkan ketidakpuasan dari masyarakat.

“Makanya harus diatur dulu pengakuan-pengakuan sampai pada mekanisme pelepasan. Pengelolaan hak harus secara dini diatur oleh pemerintah sehingga dari awal sudah dipahami. Sehingga ketika masyarakat menyatakan tidak mau melepaskan haknya, maka pemerintah tidak bisa memaksakan. Sebaliknya kalau masyarakat sadar melepaskan haknya berarti itu dilakukan secara sadar dan mereka siap menerima segala konsekuensinya.”

Perda Mayarakat Adat Menjaga Hutan dari Investor Perusak Hutan

Sehari sebelumnya, mereka diterima Bupati Kabupaten Bulukumba, Andi M Sukri Sappewali dikantornya. Sukri dalam sambutannya menjelaskan pentingnya Perda Masyarakat Adat untuk penyelamatan hutan.

Sukri menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Freeport Papua pada tahun 1990 ketika gunung dan hutan masih terjaga dengan baik. “Namun ketika kita datang 3 tahun lalu kita geleng-geleng kepala sudah habis. Dihabiskan untuk kepentingan industri tanpa masyarakat sekitar kebagian manfaat.”

Bupati Bulukumba, Sulsel, Andi M Sukri Sappewali di hadapan rombongan masyarakat adat dan Pemda boven Digoel menyatakan perlunya Perda Masyarakat Adat untuk melindungi hutan dari masuknya investasi yang merusak hutan. Perwakilan masyarakat adat dan Pemda Boven Digoel datang berkunjung untuk belajar ke masyarakat adat Ammatoa Kajang. Foto: Wahyu Chandra
Bupati Bulukumba, Sulsel, Andi M Sukri Sappewali di hadapan rombongan masyarakat adat dan Pemda boven Digoel menyatakan perlunya Perda Masyarakat Adat untuk melindungi hutan dari masuknya investasi yang merusak hutan. Perwakilan masyarakat adat dan Pemda Boven Digoel datang berkunjung untuk belajar ke masyarakat adat Ammatoa Kajang. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Sukri, hutan di Kajang memang sudah terjaga sejak dulu. Antara masyarakat dan Pemerintah Daerah Bulukumba juga telah ada kesepakatan dalam menetapkan hutan di Kajang sebagai hutan adat.

Meski demikian, tantangan internal dan eksternal akan selalu ada yang bisa menggerus adat istiadat yang ada di Kajang. Ini membuat adanya potensi hilangnya Hutan Adat sedikit demi sedikit, ketika lahan yang seharusnya bersifat komunal dijadikan lahan pribadi dari pihak internal masyarakat Kajang sendiri.

“Oleh sebab itu kita lindungi masyarakat itu dengan Perda. Dengan adanya Perda maka hutan-hutan akan dilindungi dari investor-investor yang datang untuk merusak hutan. Orang-orang di dalam bisa saja terpengaruh dari ekternal karena pengaruh duit. Namun kalau ada Perda maka siapa pun yang melakukan akan melanggar hukum adat dan siapapun yang melanggar harus dihukum secara adat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,