Demi Kelestarian Gambut, Warga Desa Ini Dukung Penuh Hadirnya Taman Sriwijaya

Penemuan berbagai artefak sejarah Kerajaan Sriwijaya di Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat dan negara. Gagasan hadirnya Taman Sriwijaya yang diusung sejumlah arkeolog, pekerja budaya dan lingkungan hidup ini disambut positif warga Desa Ulak Kedondong.

Taman Sriwijaya merupakan upaya restorasi gambut yang berbasis budaya yang diusung Tim Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup. Taman ini berupa kawasan cagar budaya Sriwijaya yang jenis tanamannya berdasarkan spirit Prasasti Talang Tuwo. “Selain sebagai cagar budaya, juga diharapkan mampu merestorasi lahan gambut, sumber ekonomi masyarakat, dan objek wisata sejarah,” kata Nurhadi Rangkuti, penggiat Tim Spirit Sriwijaya untuk Pelestarian Lingkungan Hidup.

“Kami sangat bangga dengan berbagai penemuan artefak Kerajaan Sriwijaya di desa kami. Kami pun berharap lokasi penemuan ini ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya,” kata Saryadi, Kepala Desa Ulak Kedondong, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu lalu.

Keuntungan yang didapat, kata Saryadi, selain Desa Ulak Kedondong dikenal masyarakat dunia sebagai lokasi situs sejarah Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kerajaan besar di dunia, yang mampu mempersatukan suku bangsa di Asia Tenggara dan sebagian besar menyatu menjadi bangsa Indonesia, juga menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat dan negara.

“Potensi ekonomi ini misalnya dari sektor pariwisata. Yang dapat dipastikan akan banyak turis lokal maupun international ke sini, juga melihat bukti-bukti kehidupan masyarakat Sriwijaya di masa lalu,” ujar Saryadi.

Selain itu, katanya, penetapan kawasan cagar budaya ini dapat menjadi solusi konflik antara masyarakat desa dengan perusahaan maupun dengan negara terkait lahan gambut yang diklaim masyarakat telah dirampas perusahaan PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) sebagai konsesinya seluas 8-10 ribu hektare. “Masyarakat mengklaim sebagai tanah komunal desa, sementara perusahaan mengklaim sebagai wilayah konsesi yang diberikan pemerintah yang sebelumnya bersastus hutan produksi (HP),” katanya.

Wilayah Kekuasaan Sriwijaya abad ke-8 Masehi yang membentang luas dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaysia. Sumber: Wikimedia commons

Terakhir, solusi ini juga menjadi upaya pencegahan kebakaran lahan gambut. “Jika masyarakat memaknainya sebagai cagar budaya, saya yakin masyarakat akan menjaga dan melindunginya sebab mereka takut kualat dengan para leluhur,” ujarnya.

Saryadi pun mendukung skema Taman Sriwijaya yang diusung sejumlah arkeolog, pekerja budaya dan lingkungan hidup di Palembang yang tergabung dalam Tim Spirit Sriwijaya untuk pelestarian lingkungan hidup, sebagai upaya restorasi lahan gambut yang terbakar di desanya, yang sebagian besar berada di konsesi perusahaan PT. BMH.

Menurut Saryadi, keberadaan situs-situs sejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan tersebut, hampir semuanya berada di lahan konsesi PT. BMH yang terbakar. Lahan tersebut merupakan lahan gambut yang diprotes masyarakat Desa Ulak Kedondong yang telah diambil PT. BMH. Masyarakat mengklaim lahan seluas 8-10 ribu hectare itu sebagai lahan komunal yang telah dimanfaatkan sejak puluhan tahun lalu.

“Kami yakin Taman Sriwijaya ini bukan hanya mampu merestorasi gambut, juga menjadi potensi wisata, ekonomi dari hasil hutan non-kayu, serta mengatasi konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan negara,” ujarnya.

Bandar (53), warga Dusun Talang Petai, juga setuju adanya Taman Sriwijaya di Desa Ulak Kedondong. “Semoga, Taman Sriwijaya memberikan dampak positif bagi kami, terutama sebagai sumber ekonomi. Terus terang keberadaan perusahaan di sini tidak memberikan dampak berarti. Tidak ada bantuan perusahaan untuk memperbaiki jalan di dusun kami yang terus rusak, pengadaan listrik, dokter atau tenaga kesehatan. “Sebagian kecil kami hanya dilibatkan sebagai tenaga pemadam api. Itu pun diajak karena adanya kebakaran lahan konsesi perusahaan yang tahun 2015 lalu membuat kami hidup susah karena asap dan sebagain kebun kami terbakar,” ujarnya.

Lokasi ditemukannya sebuah kapal dari masa Kerajaan Sriwijaya di Desa Ulak Kedondong. Saat musim kemarau kapal ini muncul di permukaan. Jika tergenang air, seperti saat ini, bangkai kapal ini tenggelam ke dalam gambut. Foto: Taufik Wijaya
Lokasi ditemukannya sebuah kapal dari masa Kerajaan Sriwijaya di Desa Ulak Kedondong. Saat musim kemarau kapal ini muncul di permukaan. Jika tergenang air, seperti saat ini, bangkai kapal tenggelam ke dalam gambut. Foto: Taufik Wijaya

Nain (40), warga Desa Cengal, yang lokasinya jauh dari Desa Ulak Kedondong, juga menyambut baik hadirnya Taman Sriwijaya. “Kami senang sekali. Meskipun keberadaan Taman Sriwijaya ini jauh dari desa kami, pasti memberikan dampak baik. Sebab, nama Cengal akan terkenal di dunia, dan kami juga mendapatkan keuntungan ekonomi dengan hadirnya banyak turis. Yang lebih penting tidak ada lagi kebakaran,” katanya.

Pernyataan dukungan juga disampaikan Rasid, warga Dusun Pasir, yang rumah dan lahannya berbatasan langsung dengan konsesi PT. BMH yang terbakar. “Wah senang sekali. Jelas lahan gambut ini akan kembali hijau. Juga kedatangan banyak turis ke dusun kami akan memberikan dampak ekonomi. Misalnya kami dapat berdagang makanan, atau penyedia jasa angkutan air,” kata Rasid.

Masyarakat, baik dewasa, anak-anak, termasuk para ibu nekad masuk ke lahan gambut terbakar untuk memburu harta karun. Foto: Sengguk
Masyarakat, baik dewasa, anak-anak, termasuk para ibu nekad masuk ke lahan gambut terbakar untuk memburu harta karun. Foto: Sengguk

Situs kian rusak

Meskipun masyarakat telah mengetahui lokasi penemuan benda-benda kuno merupakan situs sejarah Sriwijaya yang harus dijaga, tapi aktivitas pemburuan harta karun yang dilakukan masyarakat tetap berlangsung hingga saat ini.

Misalnya di Kanal 12. Saat dikunjungi Mongabay Indonesia, di lokasi ini terdapat dua tenda tempat menginap para pemburu harta karun. Sementara tiang-tiang rumah panggung kuno milik masyarakat Sriwijaya juga banyak yang dicabut atau dipotong.

Tiang-tiang rumah pemukiman masyarakat Sriwijaya yang rusak akibat terbakar atau dipotong para pemburu harta karun. Foto: Sengguk
Tiang-tiang rumah pemukiman masyarakat Sriwijaya yang rusak akibat terbakar atau dipotong para pemburu harta karun. Foto: Sengguk

Seorang pemburu harta karun di lokasi, yang melakukan penggalian tanah dan lumpur untuk mendapatkan serpihan emas, mengaku hadir di lokasi itu karena petunjuk mimpi. “Menurut mimpi saya di lokasi ini masih ada patung emas seberat 8 kilogram. Saya lagi memburu ini. Saya kasih tahu semua orang soal patung emas ini. Sebab kalau ketemu akan membantu banyak orang miskin,” katanya.

Pemburu ini membantah saat diinformasikan jika lokasi tersebut merupakan situs Kerajaan Sriwijaya. “Itu tidak benar. Menurut mimpi saya, ini lokasi pasar yang dibangun orang-orang dari Thailand, Vietnam. Mereka terbunuh akibat Perang Dunia II,” katanya penuh keyakinan.

Tiang rumah kuno tinggalan masyarakat Sriwijaya yang belum dirusak dari pemburu harta karun di Kanal 12. Foto: Yudi Semai
Tiang rumah kuno tinggalan masyarakat Sriwijaya yang belum dirusak pemburu harta karun di Kanal 12. Foto: Yudi Semai

Sementara lokasi situs Kerajaan Sriwijaya lainnya saat ini belum tersentuh para pemburu karena sebagian besar masih tergenang air yang dalam.

“Jika musim kemarau datang, lokasi situs tersebut pasti akan didatangi lagi para pemburu harta karun. Pemerintah harusnya menurunkan tim untuk menjaga situs berharga ini, agar tidak rusak,” kata Sengguk, warga Desa Cengal.

Jika ada yang menemukan benda kuno, warga pun berkerumunan menyaksikan. Peduli panas terik di lahan gambut. Foto Sengguk
Jika ada yang menemukan benda kuno, warga pun berkerumunan menyaksikan. Panas terik di lahan gambut tak dihiraukan. Foto: Sengguk
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,