Kala Greenpeace Gugat Kementerian LHK Berikan Peta Hutan dan Konsesi

Masalah transparansi peta hutan ternyaya belum selesai. Kalangan aktivis lingkungan hidup menilai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak transaparan memberikan informasi peta tutupan hutan dan izin konsesi, baik perkebunan sawit, HTI, HPH hingga tambang. Sebelumnya, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL), juga mengajukan gugatan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. Data format shapefile hingga kini tak kunjung diberikan. Terakhir, pada 7 September 2015, Greenpeace Indonesia mengajukan permohonan data shapefile ke KLHK. Permohonan tak dikabulkan. Greenpeace mengajukan gugatan atas sengketa informasi ke KIP. Persidangan sengketa masih digelar dipimpin Diah Aryani, anggota Evi Trisulo dan John Fresly.

“Materi gugatan sama dengan terdahulu. Tak masalah. Makin banyak menggugat, menunjukkan data shapefile memang perlu untuk memonitor kawasan hutan,” kata Yuyun Indardi, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia saat persidangan di Jakarta, Rabu (29/6/16).

Dalam sidang, agenda mendengarkan paparan Greenpeace selaku pemohon. Manajer Kampanye Hutan Grenpeace Indonesia Kiki Taufik dalam persidangan mengatakan, ada tujuh data diminta Greenpeace kepada KLHK, antara lain peta tutupan lahan Indonesia 2012, tutupan lahan 2013, izin dan lampiran peta konsesi HTI 2015, izin dan lampiran peta izin HPH 2015. Lalu izin dan lampiran peta pelepasan kawasan kebun sawit, izin pinjam pakai dan lampiran peta pertambangan, laporan hasil produksi  provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi 2015. Semua data peta dalam format shapefile.

“Peta shapefile penting untuk pemantauan wilayah konservasi, analisis atas izin sektor lingkungan hidup dan kehutanan, memberikan saran tepat dalam penyelesaian konflik kehutanan dan lingkungan hidup. Juga penyebarluasan info geospasial kepada masyarakat dengan data benar dan tepat,” katanya.

Peta shapefile, penting untuk memperbaharui data Greenpeace. Peta ini, katanya, akan menghasilkan data maksimal dan mutakhir sesuai kondisi terkini. Dengan data terbaru, Greenpeace dan masyarakat bisa bekerjasama memonitor komitmen perusahaan-perusahaan besar menuju nol deforestasi.

“Kami bergantung data shapefile. Misal dalam pemetaan partisipasi masyarakat. Ini bisa bantu masyarakat dalam ajukan ke KLHK melalui Dinas Kehutanan mengenai usulan hutan desa,” katanya.

Peta format shapefile perlu agar bisa mengidentifikasi rencana penanggulangan kebakaran hutan. Greenpeace bersama beberapa aktivis dan masyarakat di Kalteng, berupaya membangun sekat kanal. Guna menentukan dimana letak sekat kanal pas, juga perlu shapefile.

Peta ini juga untuk mengetahui letak persis batas konsesi perusahaan. Selama ini, sangat sulit karena data shapefile tak dibuka. Ia juga  bias memastikan jalur koridor satwa liar. Dalam peristiwa kebakaran yang terjadi, tentu mempengaruhi habitat satwa liar.

“Kita bisa melihat tahun lalu kebakaran begitu masif mempengaruhi habitat satwa endemic. Batas-batas konsesi tersebar di Kalimantan dan Sumatera, perlu kita analisis dengan wilayah habitat satwa liar.”

Dengan tak pakai format shapefile, kata Kiki, mengakibatkan mutu analisis rendah. Data dalam bentuk JPEG kurang akurat dan tingkat kesalahan bisa tinggi.

Sapta Ananda, aktivis Greenpeace mengatakan, data JPEG bukan sumber data, hanya produk turunan shapefile. JPEG, tak ada titik koordinat dan tak ada atribut untuk analisis yang melekat.

“Data JPEG tak terbaca jika di-overlay,berbeda dengan shapefile, mudah sekali overlay. JPEG statis dan kurang detail.”

Menanggapi ini, Kepala Biro Humas KLHK Novrizal Tahar mengatakan, peta shapefile merupakan data dikecualikan. Untuk format JPEG dan Pdf bisa diberikan berdasarkan ketetapan kepala pusat humas selaku PPID utama dalam surat nomor S.568/PHM/II/2014. Bahwa data dan informasi dikecualikan di unit Kementerian Kehutanan antara lain data peta shapefile kawasan hutan di Direktorat Jenderal Planologi. Ini juga tindak lanjut berita acara uji konsekuensi informasi publik yang dikecualikan nomor S410.1/PHM-II/2014 tanggal 2 Juli 2014. Apalagi,  katanya, ada keputusan Komisi Informasi Pusat 13 Februari 2015, diperkuat putusan PTUN 30 Juli 2015.

“Format JPEG dapat diakses melalui website kami. Map service diakses di Google earth, fungsi sama dengan shapefile,” katanya.

Mengacu UU Informasi Geospasial, pasal 46, katanya, menyatakan, informasi geospasial memiliki kekuatan hukum, wajib disahkan pejabat berwenang sebelum publikasi dan sebarluas. Pasal 62 menyatakan, setiap orang dilarang menyebarkan informasi geospasial yang belum sah.

“Pidana penjara paling lama dua tahun, denda Rp500 juta. Jika menimbulkan bahaya bagi orang atau barang, pelaku dipidana paling lama tiga tahun, denda Rp700 juta.”

Dia mengatakan, permohonan Greenpeace merupakan informasi geospasial tematik, bukan geospasial dasar. “Ini menggambarkan batas berkekuatan hukum, hingga wajib disahkan pejabat berwenang dulu.

Jika data informasi geospasial belum sah menyebar, tak bisa diproteksi hingga melanggar ketentuan UU dan bias kenai sanksi. Peta tak terproteksi, hingga rentan berubah atau diubah siapapun.

“Kami meminta majelis menolak seluruh permohonan dalam bentuk shapefile,” katanya.

Ketua Majelis Hakim KIP, Diah Aryani seusai persidangan mengatakan akan memeriksa semua hal terkait sengketa informasi.

“Pengecualian bersifat ketat dan terbatas atau memungkinkan dengan alasan tertentu. Apakah sesuai atau tidak dengan UU KIP. Apakah intinya ada kepentingan publik besar hingga informasi ini harus diberikan atau tidak. Ini akan kami periksa secara detil.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,