Tidak akan Ada Lagi Tanaman Sawit di Aceh Utara. Benarkah?

Pemerintah Aceh Utara mengajak masyarakat untuk tidak lagi menanam atau membuka perkebunan kelapa sawit. Masyarakat diimbau beralih ke tanaman lain seperti kakao, lada, karet, dan jenis lainnya.

Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib saat menghadiri silaturrahmi lintas tokoh se-Aceh Utara yang digagas LSM Bina Rakyat Sejahtera (BYTRA), 30 Juni 2016 mengatakan, Pemerintah Aceh Utara sangat mendukung moratorium kelapa sawit. Bahkan, di Aceh Utara sudah tidak boleh lagi pembukaan lahan untuk kebun sawit.

“Moratorium tersebut, tidak akan menghilangkan atau menghapus yang sudah ada, hanya menghentikan perluasan kebun atau kebun sawit tidak boleh dibuka lagi.”

Bupati yang kerap disapa Cek Mad itu mengatakan, untuk mendukung moratorium kelapa sawit, Pemerintah Aceh Utara tidak lagi menganggarkan biaya pengadaan benih sawit. “Alokasi anggaran difokuskan untuk bibit tanaman produktif lain seperti lada, kakao, dan karet.”

Cek Mad menjelaskan, Pemerintah Aceh Utara bersama elemen sipil tengah menyusun moratorium sawit, hal ini sesuai instruksi pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh. ”Aceh Utara ke depan adalah kawasan pertanian. Era Migas yang sempat membuat nama Aceh Utara populer sebagai salah satu kabupaten penghasil devisa terbesar, hanya kenangan,” paparnya.

Sawit yang tidak akan ada lagi perluasan wilayah dan pembukaan baru di Aceh Utara. Foto: Rhett Butler

Sebelumnya, 17 Juni 2016, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh telah mengirimkan surat edaran kepada Pemegang Hak Guna Usaha/Izin Usaha Perkebunan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun itu, disebutkan bila pemerintah sedang melakukan reviu izin perkebunan kelapa sawit dan mempersiapkan kebijakan moratoriumnya.

“Sembari menunggu keluarnya kebijakan pemerintah, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di seluruh kawasan ekosistem leuser (KEL) harus dihentikan,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga Maret 2015, luas perkebunan di Aceh mencapai 1.195.528 hektar. Dengan rincian, perkebunan besar atau hak guna usaha (HGU) mencapai 385.435 hektar, sementara perkebunan rakyat 810.093 hektar.

“Luas HGU di Aceh Utara mencapai 35.200 hektar dengan 12 perusahaan di sana. Sementara perkebunan rakyat sekitar 70.663 hektar,” sebut Muhammad Nur.

Sementara, data yang dikeluarkan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, luas kerusakan hutan atau deforestasi di Kabupaten Aceh Utara pada 2014-2015 mencapai 1.771 hektar. Deforestasi tersebut diantaranya disebabkan oleh beralihnya hutan menjadi perkebunan.

Pengolahan sawit, di salah satu pabrik yang berada di Aceh Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah

Rusak hutan lindung

Terkait keberadaan perusahaan sawit, jauh sebelumnya, 11 November 2014, ratusan masyarakat Kabupaten Aceh Utara yang berasal dari Kecamatan  Matang Kuli, Lhoksukon, dan Cot Girek, telah mendesak pemerintah untuk mencabut izin salah satu perkebunan kelapa sawit milik pengusaha Malaysia. Perusahaan tersebut dinilai merusak hutan tempat masyarakat menggantungkan hidup.

Menurut warga dari tiga kecamatan tersebut, akibat pembukaan kawasan Hutan Lindung Cut Mutia di Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, yang merupakan hulu DAS Sungai Keureuto dan Sungai Jambo Aye oleh perusahaan sawit PT. Mandum Payah Tamita (PT. MPT) itu, intensitas banjir di dua sungai tersebut semakin tinggi, setiap tahunnya.

Teungku Sarwaidi, tokoh masyarakat Got Girek, menyebutkan kehadiran perusahaan asing yang bertopeng pengusaha lokal tersebut, telah mengganggu aktivitas warga sekitar hutan. “Masyarakat kehilangan mata pencaharian akibat dibukanya hutan untuk perkebunan sawit, mereka sudah tidak bisa mencari rotan, madu dan lainnya,” ungkapnya.

Masalah lain, sambung Sarwaidi, Hutan Lindung Cut Mutia merupakan daerah lintasan gajah. Jika hutan tersebut dirusak, gajah akan turun ke perkampungan yang akan menyebabkan konflik dengan masyarakat terjadi.

Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk kawasan KEL di Aceh Tamiang, Aceh. Kawasan ini akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung. Foto: Junaidi Hanafiah

Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Selamatkan Isi Alam dan Flora-Fauna (SiLFA) juga mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah mencabut izin PT. MPT yang beroperasi di Aceh Utara. “Perusahaan tersebut dituding telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melakukan aktivitasnya,” sebut Direktur SiLFA, Irsadi.

PT. MPT memiliki izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang diberikan Pemerintah Aceh seluas 8.015 hektar. Perusahaan tersebut, berlokasi di Kecamatan Cot Girek dan Langkahan, Aceh Utara, dan berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureto dan Krueng Jambo Aye. Izin konsesinya bernomor 522/052/2003, dikeluarkan Pemerintah Aceh pada 23 Desember 2003 dan berlaku hingga 23 Desember 2053.

“Kalau IUPHHK-HTI PT. Mandum Payah Tamita mengajukan hampir 5.000 hektare lahannya sebagai kebun sawit, berarti Dishut Aceh salah besar dalam menerbitkan izin IUPHHK-HTI. Kawasan yang diajukan adalah hutan produksi, kenapa yang diberikan izin penanaman sawit,” papar Irsadi.

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma menambahkan, hasil penelusuran KPHA, setidaknya terjadi tiga pelanggaran dalam dalam proses penerbitan serta pemberian IUPHHK-HT kepada PT. MPT.

“Pelanggaran tersebut adalah penyalahgunaan wewenang penerbitan izin, pelanggaran tata cara dan persyaratan permohonan izin, serta pelanggaran kriteria areal konsesi yang dapat diberikan IUPHHK-HT.”

Menurut Efendi, wewenang memberi izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rekomendasi bupati atau walikota dan gubernur.

“Itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Namun, untuk PT. MPT, izin dikeluarkan oleh Gubernur Aceh saat dijabat oleh Abdullah Puteh melalui Surat Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 522/052/2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman kepada PT. Mandum Payah Tamita.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,