Opini: Kelahiran Badak Sumatera yang Sungguh Membanggakan

Lahirnya badak betina, anak ke dua dari pasangan Ratu dan Andalas di Suaka Rhino Sumatera (Sumatran Rhino Sanctuary, SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung, Kamis, 12 Mei 2016, pukul 05.40 WIB, bukan hanya membuat kita bangga. Tetapi juga menunjukkan kepada dunia internasional, kita mampu meningkatkan populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis).

Empat tahun sebelumnya, 23 Juni 2012, Andatu yang berkelamin jantan, lahir dari pasangan yang sama di tempat yang sama juga.

Bila kita simak, SRS yang telah ada sejak 1996 dan baru berhasil membiakkan anak badak pertama, Andatu di 2012, sempat menimbulkan pertanyaan. Rentang waktu kelahiran yang harus menunggu 16 tahun tersebut apakah keberhasilan yang dirancang atau tanpa sengaja?

Pertanyaan ini didasari pada keresahan para pihak yang menganggap konservasi badak dengan cara in situ adalah upaya terbaik untuk menyelamatkan badak sumatera. Alasannya, suatu spesies akan berkembang baik bila berada di habitat aslinya. Mereka menganggap, penangkaran badak bukan cara yang ideal. Para pemikir ini juga mengkritisi, apakah kelahiran Andatu itu, merupakan upaya serius SRS untuk menjaga badak sumatera.

Tahun 2016, lahir lah anak badak ke dua. Kabar gembira ini adalah pembuktian bahwa penangkaran badak yang dilakukan di SRS tidak semata mempertemukan badak jantan dan betina. Akan tetapi juga, menciptakan satu ekosistem kehidupan: bagaimana “memelihara” badak mulai dari pakan, kesehatan, ruang hidup, hingga hubungan harmonis antara badak dengan penjaganya (keeper).

Saya ingin katakan, keberhasilan terhadap lahirnya dua badak tersebut bukan tiba-tiba. Bukan “sesuatu” yang jatuh dari langit. Keberhasilan ini merupakan kesungguhan. Upaya berproses yang memang dirancang untuk sukses. Ada improvisasi pengalaman, ada keseriusan maksimal dalam perjalanannya. Sebuah sistem yang merupakan living ecosytem tersendiri di SRS.

Badak betina yang lahir Kamis, 12 Mei 2016, di Suaka Rhino Sumatera, Way Kambas, Lampung. Foto: YABI

Banyak ilmu yang kami dapatkan dari perjalanan waktu tersebut. Badak betina misalnya, ia hanya bisa didatangi badak jantan untuk kawin, kira-kira empat hari dari siklus estrous yaitu antara 20-27 hari yang rata-ratanya 24 hari. Di luar waktu itu, ia enggan, malah bisa jadi akan berkelahi adu cula bila disatukan.

Kini, para keeper sudah paham, dan akan memberitahukan kepada dokter hewan saat estrous tiba yang selanjutnya dokter menggunakan ultrasonografi memeriksa kondisi badak betina itu untuk dipertemukan dengan badak jantan. Ini hal rinci yang tidak bisa dipahami begitu saja.

Saat badak kawin pun, belum tentu keberhasilan akan dicapai. Ini proses istimewa. Sebagai gambaran, alat kelamin badak sumatera itu bercabang tiga, seperti trisula, ukuran yang satu lebih panjang dari dua yang ada. Bila sang betina belum siap, dipastikan perkawinan sempurna tidak akan terjadi. Hanya penjaga badak yang tahu pasti kapan waktunya. Ini mengartikan, untuk mencapai perkawinan sempurna hingga keberhasilan lahirnya satu individu badak dibutuhkan keahlian tersendiri. Bukan teori, praktik langsung. Bukan kebetulan, tapi belajar plus kesabaran.

Strategi

Lahirnya dua individu badak di SRS ini tentu saja sangat signifikan dari segi populasi. Jumlah keseluruhan badak sumatera yang sekarang diperkirakan 100 individu mengartikan, adanya pertambahan dua persen.

Memang, di alam ada juga badak sumatera yang lahir, tapi apakah kita bisa memastikan melihatnya? Meskipun, di Way Kambas kami menemukan badak kecil yang menunjukkan adanya perkawinan, namun dapat dipastikan probabilitasnya kecil. Populasinya yang terbatas, belum tentu saat badak jantan dan betina bertemu akan melakukan perkawinan. Lagi-lagi bila tidak sesuai jadwal estrous tersebut.

Pertanyaan muncul, apa yang harus dilakukan agar badak sumatera yang ada di alam liar tetap terjaga? Kita paham, ada strategi konservasi badak, baik badak sumatera maupun badak jawa (Rhinoceros sondaicus).

Ratu dan Andatu, anak pertamanya di Juni 2012. Foto: YABI

Untuk badak jawa di Ujung Kulon, lokasinya sudah jelas dan termonitor. Sehingga dari komposisi jantan dan betina yang ada kita dapat mengetahui keberhasilan perkawinan itu. Lahirnya 7 badak jawa dalam 3 tahun terakhir mengindikasikan, peningkatan 10 persen dari populasi tersebut telah ada dari perkirakan jumlahnya sebanyak 60 individu.

Badak sumatera? masih banyak pekerjaan serius yang harus dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian kehidupan populasi badak sumatera terlihat ada 10 kantong populasi yang terisolasi satu sama lain. Di antara populasi itu, hanya ada dua populasi yang mungkin bisa berlanjut dengan perlindungan baik yaitu di Way Kambas. Sisanya, badak yang ada di kantong populasi itu jumlahnya di bawah 30 individu per kantong, bahkan ada yang 5 badak dalam satu kantong.

Badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera, TN Way Kambas. Foto: International Rhino Foundation

Berdasarkan rujukan ke IUCN Conservation Breeding Species, bila jumlah populasi badak dalam satu kantong kurang dari 40 individu, harus dilakukan upaya pembenahan populasi agar pertemuan badak jantan dan betina untuk berbiak terjadi. Tentu saja wilayah ini harus mendapat perlindungan penuh dan tidak ada perburuan atau intensive protection zone.

Sementara, bila populasinya lebih kecil dari 15 individu, harus ada upaya khusus membuat intensive management zone, artinya badak dipersatukan dalam satu zona intensif. Sedangkan badak yang jumlahnya kurang dari 5 individu dalam satu kantong harus dipersatukan untuk menjadi populasi minimum, tujuannya agar berbiak.  

Untuk mengerjakan itu semua, tentu saja YABI tidak bisa sendirian. Badak-badak ini milik Indonesia, karena itu pemerintah harus berada di garda depan, meskipun ada bantuan dari pihak lain, pemerintah sudah seharusnya selalu di depan. Berikutnya, kerja sama. Kita harus membuat sistem yang baik dalam hal konservasi badak. Dengan begitu, kita mengerti apa yang harus kita lakukan dan tujuan yang hendak dicapai, dengan cara belajar bersama.

Widodo S. Ramono. Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad
Widodo S. Ramono. Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Keberhasilan

YABI telah membuat Population and Habitat Viability Assessment yang diharapkan bisa menjadi kesepahaman bersama untuk konservasi badak sumatera, berdasarkan saran berbagai pihak dari sejumlah lokakarya yang dilakukan. Di sini sudah dituangkan langkah-langkah yang harus dilakukan terkait upaya penyelamatan badak sumatera.

Keberhasilan melahirkan dua badak sumatera, membuat YABI terus berupaya melestarikan badak sumatera di seluruh habitat yang memadai dan berkelanjutan. Langkah nyata, bila badak di SRS terus bertambah, tentunya akan dikembalikan lagi ke habitatnya, setelah melalui kajian. Saat ini, ada habitat yang sudah tidak ada lagi badaknya seperti di Taman Nasioanl Kerinci Seblat, yang dulunya disebut gudangnya badak.

Luasan SRS yang 100 hektar, kini menampung 3 badak jantan (Andalas, Andatu, dan Harapan) dan 4 betina (Ratu, Bina, Rosa, dan yang baru lahir, adiknya Andatu). Dengan metode penangkaran in situ, satu badak saat ini memerlukan 20 hektar untuk ruang jelajahnya. Perluasan pastinya penting dilakukan agar kehidupan badak selalu nyaman.

Penting diketahui, SRS merupakan wilayah yang meyakinkan kita akan jumlah badak sumatera yang pasti. Wilayah ini dipagar, dijaga, dan dimonitor 24 jam penuh. SRS diharapkan menjadi pusat breeding dan juga pusat pembelajaran terbaik, center of excellence, konservasi badak sumatera. Semua keilmuan, kita pusatkan di sini, ke depannya. Semoga!

*Widodo S. Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI). Email: [email protected]. Tulisan ini opini penulis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,