Fokus Liputan: Ketika Sumber Air Gunung Sewu Terancam Tambang Semen (bagian 1)

Setelah Rembang, Pati, Gombong, satu lagi kawasan karst yang menjadi sumber kehidupan warga terancam tambang semen, yakni karst Gunung Sewu di Wonogiri. Izin eksplorasi sudah keluar. Perusahaan mulai mengambil sampel. Warga banyak menolak karena khawatir sumber air mereka hilang.

Malam itu, pada Februari 2011,  Karmin, warga Sejati, Giriwoyo, Wonogiri, Jawa tengah,  kedatangan puluhan warga. Dia menerima laporan dari para petani.

Karmin, pensiunan kepala sekolah. Kini, memilih bertani. “Tegalmu diburi, jatimu dibabati (ladangmu dibor, jatimu ditebang),” kata seorang warga.

Warga lain melaporkan pematang sawah mereka dirusak, padi diinjak-injak. Tanaman perindang ditebang. Setelah mendapat laporan, bersama warga dia mendata kerusakan di beberapa desa di Kecamatan Giriwoyo.

Baca Juga:  Fokus Liputan: ‘Madu’ Tambang Bikin Karst Gunung Sewu Wonogiri jadi Incaran (Bagian 2)

“Mereka mengantar saya ke lokasi-lokasi itu. Ternyata benar. Di luar Giriwoyo juga ada,” katanya. Karena sebaran titik kerusakan luas, dia hanya mendata yang di Giriwoyo.

Purmiyanto, petani, warga Tirtosuworo, Giriwoyo, bercerita bagaimana orang-orang tak dikenal beraktivitas di kebun warga tanpa izin. Warga ada yang melihat beberapa pekerja berseragam oranye memakai topi proyek mengebor di sejumlah lokasi.

Kedalaman tanah boran ada sampai 200 meter. Saat ditanya untuk apa mengebor para pekerja itu hanya menjawab disuruh atasan mengambil sampel tanah.

“Awalnya mereka datang beberapa orang. Jalan kaki dari gunung ke gunung, kampung ke kampung. Bahkan ada warga yang mengantar. Mereka tak menjelaskan untuk apa. Setelah itu, mereka datang lagi memakai kendaraan dan alat-alat bor,” katanya.

Spanduk penolakan tambang di Giriwoyo. Foto: Nuswantoro
Spanduk penolakan tambang. Foto: Nuswantoro

Purmiyanto menceritakan, ada sosialisasi pada 2011 di Balai Desa Tirtosuworo terkait rencana tambang dan pendirian pabrik semen. Kala itu, sejumlah warga mewakili dusun diundang. Bupati Wonogiri kala itu, Danar Rahmanto, hadir. Belakangan mereka baru tahu, PT Ultratech Mining Indonesia (UMI), perusahaan yang sudah mendapat izin eksplorasi di Wonogiri.

“Banyak warga tak ikut sampai selesai. Mereka keluar. Dari awal kami sudah tidak yakin. Kami bukan antipembangunan atau antikemajuan, semata-mata melindungi lingkungan, utamanya sumber-sumber alam di desa kami,” katanya.

Dia menyesalkan,  sikap aparat desa terkesan sembunyi-sembunyi waktu itu. Warga tahu kedatangan orang-orang proyek. Saat bertanya kepada perangkat desa selalu mendapat jawaban tak memuaskan. Padahal, mereka mengambil sample tanah menginap di rumah kepala desa. Jadi, katanya, mustahil perangkat desa tak tahu.

Stalagtit yang masih meneteskan air di Goa Gong Pacitan. Foto: Nuswantoro
Stalagtit yang masih meneteskan air di Goa Gong Pacitan. Foto: Nuswantoro

* * *

Pada 25 Januari 2013, Karmin dan warga sepakat mendirikan paguyuban. Mereka menamakan diri Aja Kwatir, singkatan dari Arga Jati Kwandaning Tirta Agung.

“Artinya kurang lebih gunung jati dipertahankan sampai titik darah penghabisan demi sumber air,” kata Karmin, lantang. Badan pria ini mulai renta,  tetapi buat menyelamatkan alam karst Wonogiri, dia penuh semangat.

Sedikitnya ,  ada 60 sumber mata air, delapan telaga, 48 ponor, 27 goa, 15 sumur, tersebar di Tirtosuworo, Guwotirto, Sejati dan Girikikis, yang masuk kawasan karst Gunung Sewu. Sumber-sumber mata air ini, banyak berada di dalam patok yang dipasang perusahaan.

Baca juga: Fokus Liputan: Kala Izin Tambang Semen Wonogiri Masuk Wilayah Terlarang (Bagian 3)

Bersama Aja Kwatir, bergabung beberapa paguyuban dari desa-desa lain. Mereka adalah Paguyuban Peduli Gunung Seribu, Paguyuban Guo Kisworo, Paguyuban Sendang Bodro Sejati, Paguyuban Manunggal Roso, Paguyuban Guo Agung Sejati, dan Kelompok Tani Ngupoyo Boga.

Tekad itu mereka buktikan ketika spanduk-spanduk penolakan penambangan kapur dan pendirian pabrik semen secara sepihak dicopoti polisi, tentara, dan satpol Pamong Praja.

“Ibu-ibu keluar rumah menutup jalan, mencegah aparat keluar kampung sebelum mengembalikan spanduk yang telah dicopoti. Mereka membawa apa saja yang bisa diambil dari dapur. Centong, serok, hingga pisau dapur. Sementara bapak-bapak menghadang pakai bambu runcing,” kata Karmin, mengenang kejadian Oktober 2013.

Warga sudah berhadap-hadapan dengan aparat, siap bentrok. Suasana tegang. Kata Karmin, beberapa orang terlihat menangis melihat kegigihan warga. Akhirnya konflik berhasil diredam setelah aparat berjanji mengembalikan spanduk.

“Besoknya, warga memasang spanduk kembali. Bahkan meluas hingga keluar Giriwoyo,” kata Karmin.

Berkas sinar yang masuk di gua Ngantap. Sangat indah. Foto: Nuswantoro
Berkas sinar yang masuk di gua Ngantap. Sangat indah. Foto: Nuswantoro

Perlawanan memusat di tiga desa, yaitu Guwotirto, Girikikis, dan Tirtosuworo di Kecamatan Giriwoyo. Warga Giriwoyo menolak tambang karena khawatir tambang akan merusak lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagian besar warga menggantungkan penghasilan dari pertanian. Air untuk pertanian dari sejumlah mata air di karst, juga telaga-telaga yang menjadi tandon alami air hujan. Apa jadinya kalau sumber air dihancurkan tambang, begitu pemikiran mereka.

Data BPS Wonogiri 2014 menyebutkan, luas pertanian pangan berupa padi sawah di Giriwoyo berada di 10 besar dari 25 kecamatan di Wonogiri, dengan luas 2.544 hektar, hasil panen 151,800 kwintal. Padi gogo berada di dua besar dengan luas 3.161 hektar dan produksi 148.000 kwintal. Artinya, hasil pertanian pangan dari Giriwoyo menjadi andalan Kabupaten Wonogiri.

Ning Fitri, aktivis Walhi Jateng berpendapat, banyak kerugian penambangan di karst. Dari perubahan vegetasi penutup, topografi, pola hidrologi, hingga kerusakan tanah hingga mengancam sumber air.

“Perubahan vegetasi penutup berupa hilangnya vegetasi alami, perubahan iklim mikro, berkurangnya keragamanragaman hayati dan habitat satwa, serta erosi dan sedimentasi.” Perubahan topografi, katanya,  antara lain memperbesar laju aliran permukaan dan merusak bentang alam dengan cepat.

Perubahan pola hidrologi meliputi vegetasi sebagai siklus utama hidrologi hilang, tersingkirnya batuan yang mengandung sulfida, dan potensi air tercemar. Kerusakan tanah berupa top soil dan sub soil tercampur hingga rentan erosi, dan top soil terkikis berakibat mikroba potensial penyedia unsur hara hilang.

armin di pinggir sebuah telaga di Bayemharjo, Giritontro. Foto: Nuswantoro
armin di pinggir sebuah telaga di Bayemharjo, Giritontro. Foto: Nuswantoro

* * *

Karmin mengajak saya melihat goa, ponor, mata air, telaga, dan patok yang dipasang PT UMI, pada 24 Juni lalu. Melewati jalan berliku dan membelah bukit, serta kanan kiri pemandangan ladang terasiring berbatu kapur.  Kami tiba di Gua Ngantap, Desa Bayemharjo, Kecamatan Giritontro. Kami berada di salah satu lembah Bengawan Solo, purba.

Udara sejuk, sinar matahari belum menyengat. Jam menunjuk pukul 8.00 pagi. Mulut goa menghadap timur, memberi kesempatan sinar matahari masuk ke dalam. Berkas sinar indah tiada tara. Air menetes perlahan dari stalagtit gua. Gemericik air mengalir di dasar goa.

Dalam klasifikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini termasuk goa aktif. Saya jadi teringat Goa Jomblang di Gunung Kidul yang jadi incaran turis mancanegara karena ingin menyaksikan “sinar surga.”  Saya melihatnya, di sini. Di Goa Ngantap.

Baca juga:  Fokus Liputan: Kala Warga Wonogiri Terusik Tambang dan Pabrik Semen  (Bagian 4)

Di Telaga Pindul, Bayemharjo, saya menyaksikan warga mandi dan mencuci. Telaga Pindul adalah tempat penampung air di kala musim penghujan. Pada kemarau, air telaga menjadi harapan warga sekitar karena biasa air sulit di daerah ini. Telaga itu terletak di cekungan di kelilingi bukit-bukit kapur, bagian dari sistem karst Gunung Sewu. Menggunakan bantuan peta dari geonames.org, ditemukan tak kurang 20 nama telaga dalam radius lim kilometer dari Telaga Pindul.

Saya bertemu Sutino, warga Girikikis. Dia baru memanen kedelai. Tanah pertanian dia bergantung air yang disediakan bukit-bukiit karst. Di kejauhan, bukit kapur terlihat banyak ditumbuhi pohon jati. Karmin mengajak saya membayangkan seandainya bukit kapur itu hilang menjadi tambang. Bagaimana nasib keberadaan telaga, sumber air, dan gua yang ada di sana?

“Saya menyekolahkan anak sampai S3 juga dari hasil menjual pohon jati itu,” katanya pelan. Mata menerawang jauh. Dia punya lima anak, salah satu doktor, kini di Amerika. Sangat beralasan jika dia berutang budi kepada Gunung Sewu yang menjadi tempat tumbuh pohon-pohon jati itu.

Karmin menunjuk peta IUP PT UMI. Banyak sumber air ditemukan di dalam peta IUP perusahaan ini. Foto: Nuswantoro
Karmin menunjuk peta IUP PT UMI. Banyak sumber air ditemukan di dalam peta IUP perusahaan ini. Foto: Nuswantoro

Setelah melihat ponor di Tameng dan Kalibatu, Girikikis, kami sampai di mata air Tirtosuworo, Guwotirto, Giriwoyo. Saat tiba saya mendengar suara cukup keras dari desakan udara dan air yang masuk ke pipa dari arah dalam gua. Ini menandakan debit air cukup deras.

Hanya beberapa puluh langkah dari mata air itu seonggok patok bercat merah milik UMI. Patok itu menjadi tanda bahwa kawasan itu masuk ke izin usaha pertambangan. Ada sesak di dada.

* * *

Arif Jauhari, pegiat Indonesian Speleological Society (ISS), yang saya temui di markas pecinta alam Giri Bahama, UMS, Solo, mengatakan mata air banyak di Eromoko. Kecamatan ini diberitakan menjadi calon alternatif lokasi tapak pabrik Semen Wonogiri.

“Di sana ada 50-an goa dan mata air, hanya di dua desa saja. Kalau ponor belum kami data karena saking banyaknya. Di Pucung bagian utara dengan memakai foto udara ada 30-an ponor,” katanya.

Selama ini,  para pecinta alam membantu memetakan keberadaan sungai bawah tanah di karst Wonogiri. Tujuannya, agar bisa dimanfaatkan saat kemarau.

“Fokus kita di Pucung, Eromoko. Yang sudah berhasil di sana. Menemukan sumber air bawah tanah kemudian diangkat untuk dimanfaatkan warga,” katanya.

Dia risau jika karst Wonogiri benar-benar ditambang. Arif melihat, dari sisi sosial budaya, belum ditambang saja sudah muncul disharmoni di masyarakat. Apalagi kalau benar-benar dieksploitasi. Arif menggambarkan, sebelum ada isu semen kalau ada sambatan membangun rumah, warga satu kampung keluar semua. Kini, kalau ada hajatan meski rumah saling berhadap-hadapan, penghuni jadi urung diundang karena berbeda pendapat soal pabrik semen.

“Siapa yang sempat berpikir menghitung berapa rupiah nilai kerugian sosial ini?”

Dari sisi lingkungan, pabrik semen selalu mengatakan dampak lingkungan kecil. Dia menilai dampak lingkungan pendirian pabrik semen di Pulau Jawa selalu buruk.

“Khusus di Wonogiri mereka mengatakan zero run off. Air hujan yang menjadi limpasan akan nol karena ditampung di kolam atau embung buatan. Saya tidak yakin,” katanya.

Arif berpendapat, seharusnya pabrik semen tak ada di Jawa. Sebab akan memunculkan polusi debu dan kebisingan di tengah-tengah permukiman. Belum nanti dampak ke pertanian, perkebunan, dan perikanan.

Sebenarnya, dengan alasan melindungi karst dari aktivitas merusak, pemerintah lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 1456 tahun 2000 tentang Pengelolaan Karst telah mengklasifikasikan menjadi tiga kelas. Karst kelas I sama sekali tak boleh ditambang, kelas II boleh ditambang terbatas, dan kelas III boleh ditambang.

Kuswaji Dwi Priyono, doktor dan pakar geomorfologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memastikan, Giriwoyo dan Eromoko adalah kawasan karst kelas I, tak boleh ditambang.

“Karena di sana ada sumber air yang dimanfaatkan penduduk. Begitupula Kecamatan Eromoko, banyak mata air. Gombong, di mana banyak investor tertarik bermain di situ ada sumber daya air yang sejak zaman Belanda dimanfaatkan rakyat. Di Pati juga sama,” katanya.

Dalam pandangan dia, meski suatu kawasan karst masuk kelas III, berarti boleh ditambang, tetap harus ekstra hati-hati. Sebab, sistem goa dan sungai bawah tanah tak tampak dan sering saling berhubungan.

“Boleh jadi di kawasan karst kelas III ditemukan gua atau sungai bawah tanah.”

Dia mengingatkan, ekosistem karst adalah ekosistem yang mudah sekali berubah. Jadi, perlu hati-hati sekali merekomendasikan penambangan di karst, seperti di Wonogiri. (bersambung)

Ladang dan Gunung Sewu dari kejauhan. Foto: Nuswantoro
Ladang dan Gunung Sewu dari kejauhan. Foto: Nuswantoro

Artikel Lanjutan:

Fokus Liputan: ‘Madu’ Tambang Bikin Karst Gunung Sewu Wonogiri jadi Incaran (Bagian 2)

Fokus Liputan: Kala Izin Tambang Semen Wonogiri Masuk Wilayah Terlarang (Bagian 3)

Fokus Liputan: Kala Warga Wonogiri Terusik Tambang dan Pabrik Semen  (Bagian 4)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,