Opini : Keniscayaan Transformasi menuju Perbankan Berkelanjutan di Indonesia

“You can resist an invading army;

you cannot resist an idea whose time has come.”

Victor Hugo

Bank-bank yang beroperasi di Indonesia tampak baru mulai menapaki isu-isu keberlanjutan beberapa tahun belakangan.  Kalau disimak dengan baik, mereka mulai menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, disingkat CSR) belakangan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di industri lainnya.

Kekecualiannya adalah bank-bank asing yang kebetulan telah memiliki kebijakan keberlanjutan/CSR dari markas besar mereka.  Itupun, pengejawantahannya di Indonesia tentu tidak sama dengan apa yang mereka lakukan di negara asal mereka.  Studi dari Responsibank di Indonesia menunjukkan bahwa kinerja bank-bank asing pun masih jauh panggang dari api.

Jelas hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.  Bank-bank di Indonesia perlu untuk berubah, karena keberlanjutan adalah keniscayaan yang tak terhindarkan, dan pilihan lainnya adalah kepunahan.  Seluruh kekuatan global dan lokal sangat tegas menunjukkan dukungan bagi dunia yang semakin ramah dan adil dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Dan dukungan itu bisa dirasakan sebagai tekanan oleh pihak-pihak yang enggan berubah, termasuk perusahaan perbankan.  Jadi, pilihannya adalah mengikuti—atau bahkan mendahului—arus  yang pasti datang, atau melawannya sekuat tenaga.

CSR dan Keberlanjutan Perbankan

Pertanyaannya adalah sebesar apa sesungguhnya komitmen bank-bank di Indonesia untuk mengadopsi keberlanjutan itu?  Komitmen itu sangatlah berat karena akan mensyaratkan seluruh proses bisnis ditinjau ulang untuk memastikan bahwa dampak yang timbul dari bisnis inti perbankan adalah keberlanjutan dan keadilan ekonomi-sosial-lingkungan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

CSR, sebagai proses untuk mencapai tujuan tersebut, mensyaratkan perusahaan untuk bertanggung jawab penuh atas dampak dari keputusan dan tindakannya.  Tidak seperti yang kebanyakan perusahaan di Indonesia yakini, CSR bukanlah donasi atau kegiatan filantropis, melainkan manajemen dampak bisnis.  Kalau bank memanfaatkan dana masyarakat untuk melakukan pembiayaan projek komersial dan konsumtif, maka tanggung jawab sosialnya adalah memastikan dampak dari pembiayaan itu.

Perusahaan yang baru belajar CSR memang sebagian besarnya akan mulai dari sekadar menjalankan beberapa projek sosial atau lingkungan.  Mereka yang lebih maju akan mulai mengelola beberapa projek sejenis menjadi program.  Tapi, CSR pada pengertian yang utuh adalah menjadikan seluruh operasi perusahaan—bukan sekadar proyek dan program—sebagai cara untuk mencapai tujuan keberlanjutan perusahaan, serta menyumbang pada pencapaian tujuan keberlanjutan Bumi.  CSR, karenanya, bukanlah cara untuk berbagi sebagian dari keuntungan yang diterima oleh perusahaan; melainkan cara yang benar dan baik untuk mendapatkan keuntungan itu.

Secara umum, pengertian bahwa CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak—positif dan negatif—yang ditimbulkannya, dengan tujuan mencapai keberlanjutan, sesungguhnya sudah dianut oleh para pakar sejak beberapa dekade lampau.  Namun, kesepakatan global untuk definisi itu dicapai di tahun 2010 dengan diberlakukannya ISO 26000 Guidance for Social Responsibility.  Dalam petunjuk itu, sangatlah jelas bahwa organisasi manapun yang hendak bertanggung jawab sosial harus mengetahui secara persis seluruh potensi dampak dari bisnis intinya, dan mengelolanya secara optimal.

Dalam bidang perbankan, yang bisa dirujuk dengan pengertian yang sama adalah beberapa kesepakatan global, terutama United Nations’ Principles for Responsible Investment (UNPRI), The Equator Principles (EP), serta IFC’s Standards on Social and Environmental Sustainability (IFC PS).

Yang disebut pertama adalah beberapa prinsip dan penjelasan dari PBB yang menyatakan bahwa lembaga finansial—termasuk bank—yang mengacunya berjanji untuk memperhatikan aspek-aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social and governance, disingkat ESG) dalam mengambil keputusan investasi.  Ini adalah rujukan yang paling ringan.

The Equator Principles dinyatakan sebagai “A financial industry benchmark for determining, assessing and managing environmental and social risks in a project” dalam versi mutakhirnya (Juni 2013), dan diberlakukan untuk menilai kelayakan dan mengelola projek bernilai minimal USD10 juta yang dibiayai oleh penanda tangan The Equator Principles.

Yang terakhir adalah standar paling ketat untuk menilai keberlanjutan sosial dan lingkungan sebuah projek yang dikembangkan oleh International Finance Corporation (IFC), namun sangat banyak diadopsi oleh bank-bank yang lain.  Seluruh dokumen tersebut sepakat bahwa demikianlah seharusnya bank-bank mengelola investasinya, terutama dalam projek-projek pembangunan skala besar.

Inti dari beragam dokumen tersebut secara umum adalah kalau tadinya bank-bank dalam mengambil keputusan investasi itu menyandarkan diri pada kelayakan ekonomi semata—bahkan lebih sempit lagi, kelayakan finansial—dokumen-dokumen itu meluaskan lagi dari penapisan untuk keputusan investasi menjadi layak ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Hal ini bukan saja disebabkan oleh tujuan keberlanjutan secara teoretis, namun juga disandarkan pada kenyataan praktis di lapangan bahwa aspek sosial dan lingkungan adalah aspek yang sangat menentukan keberhasilan bisnis yang dibiayai bank.

Berbagai kasus industri ekstraktif, misalnya, menunjukkan bahwa dari seluruh risiko yang dihadapi, risiko sosial menempati jumlah terbesar, hingga 70% dari seluruh risiko.  Ini menunjukkan bahwa ancaman yang datang terhadap bisnis datang dari hubungan yang tidak baik dengan masyarakat; namun di sisi lain peluang keberhasilan bisnis juga akan sangat besar bila perusahaan dapat mengelola hubungan baik dengan masyarakat.

Kerusakan hutan mangrove Teluk Benoa, terus terjadi untuk berbagai alih fungsi. Kini, ancaman terbesar di depan mata. Hutan mangrove Teluk Benoa bakal direklamasi menjadi beragam fasilitas pariwisata. Layakkah pariwisata mengorbankan alam? Foto: Anton Muhajir
Kerusakan hutan mangrove Teluk Benoa, terus terjadi untuk berbagai alih fungsi. Kini, ancaman terbesar di depan mata. Hutan mangrove Teluk Benoa bakal direklamasi menjadi beragam fasilitas pariwisata. Layakkah pariwisata mengorbankan alam? Foto: Anton Muhajir

Oleh karena itu, kelayakan sosial dan lingkungan kemudian menjadi sangat kuat perannya dalam penapisan investasi.  Ini bukan sekadar pengecekan apakah sebuah projek sudah memiliki dokumen AMDAL atau belum, melainkan hingga penilaian mendalam soal bagaimana perusahaan calon penerima investasi mengelola seluruh dampak sosial dan lingkungannya, apakah perusahaan tersebut memiliki seluruh perangkat yang dibutuhkan—misalnya beragam standar social and environmental safeguards, SDM yang memadai, program peningkatan kapasitas, dan seterusnya.

Demikian juga, bank-bank diharapkan melihat dengan detil apakah perusahaan yang hendak dibiayai itu memiliki pengetahuan mendalam soal isu-isu keberlanjutan yang harus dikelolanya, sesuai dengan bisnis yang mereka jalani.

Dalam dunia yang semakin diwarnai perubahan iklim antropogenik, sangat penting bagi bank-bank untuk mengecek bagaimana, misalnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang hendak dibiayainya itu mengelola gas rumah kacanya.  Oleh karena itu, bank-bank juga penting untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang mumpuni soal isu-isu paling material dari setiap industri, serta beragam standar keberlanjutan yang berlaku di masing-masing industri.

Keuntungan dari Keberlanjutan

Apakah benar berkomitmen pada keberlanjutan memang akan menguntungkan?  Bukankah biaya yang harus ditanggung oleh bank-bank karena kerepotan di atas menjadi besar? Bukankah dengan memperhitungkan juga kelayakan sosial dan lingkungan, maka potensi penyaluran kredit investasi menjadi menyusut?  Tidakkah ini akan membuat bank yang memperhatikan keberlanjutan akan dikalahkan oleh mereka yang cuek terhadapnya?

Beragam pertanyaan seperti itu sangat sering terlontar ketika argumentasi tentang pentingnya keberlanjutan diutarakan kepada perusahaan. Pada kenyataannya, beragam studi telah menunjukkan bahwa  perusahaan yang memperhatikan keberlanjutan bukan saja tidak kalah kinerja keuangannya dibandingkan dengan mereka yang tidak memperhatikan; bahkan sebaliknya, kinerja keuangan mereka yang berkomitmen keberlanjutan tinggi telah dibuktikan jauh lebih kokoh dibandingkan perusahaan secara rata-rata, apalagi dibandingkan dengan mereka yang mengabaikannya.

Memang, di masa lalu ada banyak studi yang menyatakan bahawa hubungan antara kinerja keberlanjutan perusahaan dengan kinerja finansialnya tidaklah jelas (mixed, spurious).  Namun, dengan semakin banyaknya kasus yang dituliskan, dan semakin banyaknya perusahaan yang memperhatikan keberlanjutan, hubungan di antara keduanya menjadi semakin jelas.

Kalau tadinya hubungannya tidak jelas, kemudian bergeser menjadi “setidaknya, perusahaan yang memperhatikan keberlanjutan tidak kalah kinerja finansialnya dibandingkan rata-rata”, dan kini semakin kokoh pendirian yang menyatakan bahwa bukan saja keberlanjutan dan kinerja finansial memiliki hubungan erat, perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja keberlanjutan tinggi adalah perusahaan-perusahaan yang paling menguntungkan.

Dua studi skala raksasa yang terbit di tahun 2014 menunjukkan hal tersebut.  Pertama, sebagaimana yang termuat dalam edisi kedua Firms of Endearment (Sisodia, Wolfe, and Sheth, 2014) perusahaan-perusahaan yang kinerja komposit lingkungan, sosial dan tata kelolanya tertinggi menunjukkan kinerja finansial paling kokoh, bahkan bila dibandingkan dengan daftar perusahaan yang masuk ke dalam daftar Good to Great (Collins, 2001) sekalipun.

Dalam kurun waktu 10 tahun, kinerja finansial perusahaan-perusahaan S&P500 tercatat meningkat 107%, GtG meningkat 176%, sementara FoE meningkat 512%.  Dalam kurun 15 tahun, angkanya lebih impresif lagi: S&P500 meningkat 118%, GtG meningkat 263%, sementara FoE meningkat 1.180%.

Demikian juga, penelitian Serafeim (2014) yang diterbitkan oleh Brookings Institution di akhir tahun membuktikan hal yang sama.  Kalau perusahaan-perusahaan hanya dibagi menjadi mereka yang berkinerja keberlanjutan tinggi dan rendah, dengan batasan tertentu, maka dalam 20 tahun kinerja keuangannya sangat tampak berbeda.

Kalau kita mengivestasikan USD1 pada perusahaan yang berkinerja keberlanjutan rendah di tahun 1994, maka di tahun 2014 uang tersebut akan menjadi USD14,46.  Sementara, kalau uang tersebut diinvestasikan pada yang berkinerja keberlanjutan tinggi, akan tumbuh menjadi USD28,36, atau hampir 2 kali lipatnya.

Kalau itu yang terjadi pada perusahaan-perusahaan apapun yang memiliki komitmen tinggi dalam keberlanjutan, apakah yang demikian juga terjadi pada bank-bank yang berkomitmen?  Apakah bank-bank yang menerapkan, misalnya, The Equator Principles, kemudian menunjukkan kinerja yang lebih moncer dibandingkan yang tidak menerapkannya?

Tiga dari sembilan perempuan dari Pegunungan Kendeng, yang aksi menyemen kaki mereka. Ini sebagai protes pabrik dan tambang yang akan maupun sudah mulai dibangun di karts Kendeng yang mengancam kehidupan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Tiga dari sembilan perempuan dari Pegunungan Kendeng, yang aksi menyemen kaki mereka. Ini sebagai protes pabrik dan tambang yang akan maupun sudah mulai dibangun di karts Kendeng yang mengancam kehidupan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Dalam sebuah artikel bertajuk Sustainable Project Finance, the Adoption of Equator Principles and Shareholder Value Effects yang ditulis oleh Eisenbach, et al., (Business Strategy and the Environment, Vol. 23, 2014) dinyatakan bahwa setelah 10 tahun penerapan Equator Principles (2003-2013), tampak jelas bahwa bank-bank penanda tangan The Equator Principles kinerja keuangannya mengungguli mereka yang tidak menandatanganinya.  Keunggulan tersebut datang dari dua hal, yaitu peningkatan jumlah projek yang dibiayai, serta peningkatan pangsa pasar.  Demikian juga, risiko reputasi mereka yang menandatanganinya jauh lebih terjaga.

Jadi, alih-alih penapisan dengan kriteria sosial dan lingkungan itu membuat jumlah projek yang dibiayai dan pangsa pasar menyusut, yang ada adalah peningkatan di keduanya.  Bagaimana ini dijelaskan?

Hal ini terutama karena seluruh sektor industri memang sedang bergerak mengarah kepada keberlanjutan.  Perusahaan-perusahaan yang berkomitmen kepada keberlanjutan di industri lain cenderung untuk bekerjasama dengan bank-bank yang memiliki level komitmen yang sama, yang dalam hal ini ditunjukkan dengan pemanfaatan The Equator Principles untuk menapis keputusan investasi.

Dengan penapisan itu, lalu kerjasama yang erat dalam menjaga investasi sepanjang usia proyek, jelas tata kelola projek yang dibiayai itu menjadi lebih baik, dan seluruh risikonya menjadi lebih terkelola.  Ini membuat kesuksesan finansial di kedua belah pihak yang menjadi lebih besar peluangnya.  Di periode pra- dan awal investasi, memang pekerjaan menjadi lebih banyak, namun jaminan kesuksesan investasi yang risikonya dikelola dengan baik juga menjadi jauh lebih besar.  Karenanya, penapisan yang hati-hati oleh perbankan adalah sebuah bentuk investasi yang sangat masuk akal.

Respons Otoritas Jasa Keuangan dan Komentar atasnya

 Terkait dengan perkembangan tersebut di penghujung 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan delapan bank di Indonesia menandatangani green banking pilot project.  Penandatanganan itu bersamaan dengan dilaksanakannya seminar internasional bertajuk Sustainable Finance to Support Sustainable Development Goals.  Peristiwa tersebut merupakan perwujudan dari apa yang telah dicanangkan OJK melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang diluncurkan hampir persis setahun sebelumnya.

Kesadaran OJK tentang perlunya mengarahkan sektor finansial untuk membiayai upaya mencapai keberlanjutan—dan menjauhi segala hal yang menyebabkan ketidakberlanjutan—memang tampak semakin menguat beberapa tahun belakangan.  Hal ini terutama memang terkait dengan perkembangan level global, di mana OJK adalah salah satu anggota Sustainable Banking Network (SBN).

Puncaknya, pada bulan Oktober 2015 United Nations Environment Programme (UNEP) meluncurkan dokumen The Financial System We Need, yang menguraikan secara rinci bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai oleh otoritas perbankan di masing-masing negara. Jadi, perhatian OJK tentu sangat penting untuk disyukuri dan diapresiasi.

Namun, ada berbagai hal yang penting untuk diperhatikan agar Roadmap tersebut membawa Indonesia kepada tujuan keberlanjutan.  Yang pertama-tama harus diperhatikan adalah bahwa Roadmap tersebut masih menggunakan model keberlanjutan paling tradisional: model pilar.

Dunia telah bergeser dua kali sejak model tersebut diperkenalkan, yaitu menjadi model triple bottom line, lalu sekarang menjadi model nested.  Pada model paling mutakhir, aspek ekonomi, sosial dan lingkungan tidaklah setara; melainkan ekonomi dipandang sebagai bagian dari sosial, dan sosial menjadi bagian lingkungan.  OJK perlu mengadopsi model ini bila tak ingin tertinggal di level global.

Kedua, dasar segala perhitungan OJK yang menetapkan perlunya pembiayaan berkelanjutan sejumlah Rp500 triliun per tahun antara 2015-2019 disandarkan pada dokumen Greenhouse Gas Abatement Cost Curve 2009.

Padahal, perhitungan ulang telah dilakukan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) di tahun 2014, yang hasilnya lebih detail dan jauh berbeda dari sebelumnya.  Agar asumsi pembiayaan keberlanjutan menjadi lebih mendekati kenyataan dan sesuai dengan keperluan seluruh sektor ekonomi di Indonesia, sebaiknya OJK memperbaiki perhitungannya berdasarkan dokumen yang lebih baru itu.

Pulau Bangka, Sulut, bak berukir-ukir alias mulai botak karena operasi tambang. Foto: Save Bangka Island
Pulau Bangka, Sulut, bak berukir-ukir alias mulai botak karena operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

Ketiga, Roadmap OJK menggunakan dua pendekatan untuk pendanaan keberlanjutan, yaitu persentase tertentu dari total seluruh portofolio investasi, dan penugasan kepada bank tertentu.  Pendekatan ini sangatlah berbeda dengan apa yang telah diperkenalkan, dan menunjukkan keberhasilan, di banyak negara.

Industri jasa keuangan, sama dengan industri lainnya, sangat sensitif dengan peluang dan risiko bisnis, dan karenanya pengelolaan peluang dan risiko bisnis itu yang menjadi tulang punggung keuangan berkelanjutan.  Oleh karena itu, yang sangat penting untuk dibuat oleh OJK adalah menunjukkan business case dari keuangan berkelanjutan, bukan sekadar mewajibkan persentase dan memberi penugasan khusus.

Keempat, alih-alih sekadar menyatakan bahwa sekian persen dari total kredit yang digelontorkan harus terdiri dari sektor-sektor tertentu, OJK perlu menciptakan sistem insentif untuk pembiayaan bagi projek-projek dari sektor ekonomi hijau.  Ini jauh lebih sesuai dengan model keberlanjutan mutakhir.  Sementara, kalau terus berkutat di persentase, maka akan tetap ada proporsi pembiayaan yang terus saja akan menggagalkan keberlanjutan.

Energi fosil, misalnya, sudah seharusnya tak lagi dibiayai dalam beberapa tahun ke depan, karena membahayakan keberlanjutan.  Sementara untuk energi terbarukan harus disediakan insentif yang membuatnya signifikan dalam bauran energi Indonesia.

Kelima, OJK sangat perlu membuat kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola yang benar-benar melindungi masyarakat dan lingkungan.  Bukan saja dengan memberikan petunjuk penapisan pembiayaan berdasarkan kriteria-kriteria itu, melainkan juga sistem regulasi untuk memastikan bahwa kinerja tersebut benar-benar dicapai oleh bank-bank di Indonesia, serta dipantau dan dievaluasi oleh seluruh komponen masyarakat, serta sanksi yang setimpal dengan pelanggarannya.  Kerjasama yang erat dengan beragam kementerian dan penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan transformasi perbankan ini.

Terakhir, rencana untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan perlu diwujudkan segera.  Tak ada pilihan yang lebih baik, perbankan Indonesia perlu melakukannya dengan standar Global Reporting Initiative 4.0 serta Financial Services Sector Disclosure.  Mungkin pada tahun 2016 dan 2017 bisa disosialisasikan terlebih dahulu secara massif lewat beragam pelatihan bagi bankir, karena belum banyak bank di Indonesia yang memahami praktik yang sudah lumrah di level global ini.  Pewajibannya dilakukan dalam jangka waktu yang tak terlampau lama setelahnya.  Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pelaporan keberlanjutan itu memaksa perusahaan untuk menjadi lebih baik.

Apa yang Perlu Dipersiapkan Bank?

Tentu, bank-bank di Indonesia bisa mengambil pilihan untuk menunggu hingga OJK selesai membuat regulasi detilnya di Indonesia.  Namun, tampaknya menunggu pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan penapisan sosial dan lingkungan dalam investasi bukanlah tindakan bijak.

Seperti yang telah dinyatakan di bagian terdahulu, pemangku kepentingan global telah menunjukkan arah yang pasti: keberlanjutan adalah keniscayaan di masa mendatang.  Apakah bank-bank di Indonesia mau menunggu hingga dipaksa berubah, ataukah mau menyiapkan dirinya terlebih dahulu, sehingga perubahan bisa dimanfaatkan menjadi peluang bisnis, bukan sekadar keterpaksaan?

Bagi bank yang ingin memanfaatkan gelombang keberlanjutan ini untuk transformasi bisnisnya, beberapa hal mungkin bisa dilakukan.  Pertama, membuat kebijakan dan strategi untuk memastikan bahwa komitmen keberlanjutan itu benar-benar diwujudkan menjadi peta jalan bagi transformasi bank menjadi alat untuk membiayai masa depan yang berkelanjutan.

Itu berarti bank-bank perlu secara eksplisit menyatakan mana saja sektor ekonomi yang menjadi prioritas pembiayaannya (mis. energi bersih), mana yang hendak dihindari karena bertentangan dengan tujuan keberlanjutan (mis. industri rokok), dalam beberapa tahun mendatang, dan bagaimana model bisnis dan skema pembiayaannya yang sesuai dengan karakter sektor yang hendak dijadikan prioritas tersebut.

Kedua, melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara prosedur keputusan kredit yang berlaku sekarang dengan yang ditunjukkan dalam praktik terbaik internasional.  Ada banyak sekali materi yang bisa diunduh di dunia maya bagi bank-bank yang ingin mempelajari kebijakan, strategi, dan prosedur terkait keberlanjutan perbankan.  Semua itu akan bisa menunjukkan kesenjangan serta aspirasi perbaikannya. Kesenjangan yang ditemukan kemudian bisa ditutup dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan kesiapan dan ambisi manajemen bank untuk berubah.

Ketiga, mengubah indikator kinerja kunci (key performance indicator) bagi para pengambil keputusan kredit dan unitnya secara keseluruhan.  Kalau tadinya mereka terutama hanya dinilai dari jumlah kredit yang digelontorkan, maka perbaikan indikatornya bisa ditekankan pada proses pengambilan keputusan, kualitas keputusan yang diambil (kinerja ekonomi-sosial-lingkungan projek yang dibiayai, dampak positif bagi masyarakat umum), serta kinerja pengembalian kredit yang keputusannya diambil.  Yang jelas, indikator yang nantinya dipergunakan untuk menilai person dan unit harus sejalan dengan komitmen keberlanjutan itu.

Eskavator perusahaan tambang emas tengah beraksi di hutan Garini. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu
Eskavator perusahaan tambang emas tengah beraksi di hutan Garini. Foto: Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu

Keempat, mulai menyiapkan sumberdaya manusia yang memahami konteks keberlanjutan untuk bisnis perbankan.  Ini bisa dilaksanakan dengan membuat bahan-bahan ajar yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesadaran para pengambil keputusan kredit.  Namun, yang terbaik tentu saja adalah mengikutsertakan SDM dalam pelatihan-pelatihan eksternal atau membuat pelatihan-pelatihan internal secara regular yang bisa memberikan pemahaman komprehensif bagi pengambil keputusan kredit.  Kurikulumnya bisa dengan mudah dipelajari dari yang selama ini sudah ada di level global.

****

Kalau kita menginginkan Indonesia menjadi berkelanjutan, tak masuk akal kalau bank-bank yang bekerja di sini dibiarkan bekerja menuju arah yang berlawanan.  Setiap rupiah yang digelontorkan untuk aktivitas ekonomi yang melawan tujuan sosial dan lingkungan akan menjauhkan kita dari keberlanjutan.

Jadi, bank-bank memang harus ditransformasikan menjadi alat keberlanjutan, dengan membuat setiap keputusan investasinya bekerja secara koheren untuk tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan sekaligus.  Juga, karena waktu yang kita miliki tidaklah banyak, maka transformasinya perlu dilaksanakan segera dan dengan kecepatan yang tinggi.

Seperti yang telah dinyatakan argumentasi dan buktinya di bagian terdahulu, transformasi ini tidak akan menjadikan perbankan kita merugi. Sebaliknya, ini akan menjadikan bank-bank berkinerja lebih baik, dan tujuan keberlanjutan Indonesia dan dunia pun bisa lebih lekas tercapai.

Jalal* Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability

Rahmawati Retno Winarni **– Program Director Transformasi untuk Keadilan Indonesia

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,