Rata-rata Masyarakat Kota “Nyampah” 2,5 Kg Setiap Hari

Kota adalah pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Ungkapan yang disampaikan Louis Wirth tersebut tampaknya pas menggambarkan wajah Kota Bandung. Kota dengan julukan kota kembang tersebut dihuni lebih dari 2.7 juta jiwa. Dan sebagaimana kota-kota besar lainnya, persoalan sampah merupakan masalah yang cukup komplek.

Dirut Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, Deni Nurdiana, mengatakan produksi sampah tiap harinya di kota kembang mencapai 1500-1650 ton perhari. Dia menambahkan selalu tejadi peningkatan volume sampah setiap memasuki bulan Ramadan dan libur lebaran. Dia juga memproyeksikan kenaikan volume sampah berkisar antara15-20 persen atau sekitar 300 ton per hari.

“Sektor penghasil sampah diawal Ramadan kebanyakan berasal dari restoran dan perhotelan. Namun, ketika libur lebaran justru banyak sampah non-organik yang berasal dari pusat pembelanjaan kaya mal,” kata Deni saat di hubungi Mongabay beberapa waktu lalu.

Dia melanjutkan membludaknya masyarakat yang berkunjung ke Bandung pasca lebaran memicu peningkatan volume sampah. Dia menyebutkan kawasan komersil dan wisata merupakan tempat yang paling banyak mengasilkan sampah plastik.

Untuk mengantisipasi itu, kata Deni, pihaknya telah menerjunkan 1119 personil untuk membersihkan sampah dan 105 armada truk dikerahkan agar menekan penumpukan sampah di 165 titik Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang tersebar ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Anggaran sampah yang digelontorkan Pemkot Bandung terkait pengolahan sampah sebesar Rp105 miliar per tahun dinilai belum cukup untuk mengakomodir secara tuntas. Deni menilai anggaran tersebut dinilai masih belum cukup untuk pengolaan sampah yang optimal. “Kalau berbicara cukup ya dicukup cukupkan. karena truk kami dalam mengangkut sampah masih kurang,” paparnya.

Jika berbicara ideal, kata Deni, untuk melengkapi sarana dan prasana pengelola yang ideal dan optimal diperlukan anggaran sekitar Rp165 miliar. Dia menerangkan retribusi sampah dari masyarakat sebesar Rp3.000– 20.000 juga dinilai belum cukup.

“ Karena memang idealnya berdasarkan kajian kami. Retribusi sampah dari perumahan Rp50.000 agar persoalan bisa ditanggulani dan pengelolaanya bisa bertanggung jawab. Tetapi pemerintah melakukan subsidi. Dan sekarang kami sedang merevisi UU Retribusi sampah mungkin akan ada kenaikan tarif,” tuturnya.

Masalah Sampah Sensitif

“Isu sampah di Bandung itu sensitif sejak longsornya sampah di TPA Leuwigajah dan baru-baru ini pembatalan PLTSa sampah oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang dinilai belum tepat,” Kata David Sutasurya, Ketua YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi) Bandung.

David menyebutkan permasalahan sampah di kota yang pertama adalah sampahnya banyak. Kedua, konsumsi masyarakat yang relatif tinggi dan masyarakatnya yang padat. Dia menambahkan di kalangan masyarakat sendiri masalah besar adalah masalah sampah ketimbang persoalan macet.

“Sebetulnya jika dilihat dari skala prioritas penanganan di sektor tranfortasi, pendidikan dan kesehatan.Masih lebih tinggi ketimbang permasalahan sampahrelatifkecil dari segi komitmen dan anggaran,” ucap David.

Dia menjelaskan kenapa masalahnya tidak pernah selesai-selesai? Karena pada dasarnya orang berpikir masalah sampah itu maunya hilang tapi ingin dengan murah. Itulah paradigma yang berkembang, kata David, para pemangku kebijakan masih belum serius membuat regulasi aturan yang sistematis terkait pengelolaan sampah.

“Cara berpikir orang-orang di DPR sama, katakanlah dengan perumahan miskin yang buang sampah ke sungai.Orang di pemukiman miskin buang sampah ke sungai terus hilang dan bisa dilupakan begitu saja. Kesannya sampah itu selesai kalau tidak ada yang melihat,” gumamnya.

Seorang pembeli berberbelanja kebutuhan rumah di sebuah toko ritel di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Pemberlakuan tarif Rp200 per kantong plastik dinilai kurang efektif oleh kalangan pemerhati lingkungan. Foto: Donny Iqbal
Seorang pembeli berberbelanja kebutuhan rumah di sebuah toko ritel di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Pemberlakuan tarif Rp200 per kantong plastik dinilai kurang efektif oleh kalangan pemerhati lingkungan.
Foto: Donny Iqbal

David menyesalkan DPRD dan Birokat beranggapan bahwa sektor sampah belum jadi prioritas untuk didanai. “Pokoknya sampah ini harus diselesaikan semurah mungkin. Terus sepeti itu akhirnya malah jadi polemik yang berkepanjangan. Masalah yang selalu ditanyakan kepada pemerintah kota ini sampah bagaimana?,” jelasnya.

Seharusnya persoalan sampah apabila mau selesai harus ada komitmen dan anggaran yang cukup serta ditunjang oleh program relevan. Dia menyebutkan meskipun ada aturan Peraturan Daerah Kota Bandung No.3/2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3).

Substansi perda tersebut mengatur tentang ketertiban jalan, fasilitas umum, jalur hijau, lingkungan, sungai, saluran air, sumber air, penghuni bangunan, tuna sosial, anak jalanan, udara, dan sampah, dengan denda yang di dalamnya menggunakan pengertian biaya penegakan hukum.

Tetapi menurut David, K3 hanyalah bagian kecil dari pengolahan sampah yang bertujuan bagaimana sampah itu bisa terwadahi. Lanjut dia K3 itu isinya hanya anjuran membuang sampah pada tempatnya dan ada larangan membakar sampah dikawasan strategis dan perumahan.

Menurutnya, hal yang mendasar adalah regulasi sistem dan komitmen dari pemerintah.Dia mencontohkan masyarakat disuruh memilah sampah antara organik dan non-organik, sebelum dibuang ke tempat samapah.Namun dalam praktiknya, kata dia, sampah yang telah dipilah tersebut ketika masuk truk itu disatukan.

Hematnya, yang menjadi acuan pengolahan sampah tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2008.Sampah itu kata David, harus ditangani sedekat mungkin dengan sumber dan secepat mungkin di reduksi.

“Bahasa dalam amanat UU tersebut adalah kita ingin merubah pengolahan sampah yang kumpul angkut buang menjadi pengelolaan dari hulu ke hiir berdasarkan penanganan berbasis lingkungan. Berarti harus mengutamakan pengawasan dan daur ulang bukan di buang,“ katanya.

Mengolah Dan Memilah Sampah Di Sumber

David menjelaskan, belum ada kota di Indonesia yang berhasil mengolah dan memilah sampah di sumber. Dia mengatakan tidak adanya komitmen merupakan salah satu faktor penghambat.

Dalam pengelolaan sampah, lanjut David, hendaknya melihat kebijakan nasional dan mengikuti tren global yang mengolah sampah dimulai dari sumbernya dan mulai hulu hingga hilir. Dia mengatakan kota di negara berkembang persentasi sampah yang dihasilkan 60 persen adalah organik dan 40 persen non-organik.

“Ketika sampah dihasilkan bisa langsung diolah dekat dengan sumbernya. Desentralisasi sampah bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Nanti sampah organiknya bisa diolah jadi kompos.Nah nanti yang non-organiknya bisa diambil oleh pemulung dan dijual didaur ulang,” terangnya.

Senada dengan itu, pengamat lingkungan, M Bijaksana Juneserano mengungkap masyarakat Indonesia rata – rata nyampah 2.5 kilogram per hari. Dia menambahkan hal ini tentu perlu perhatian pemerintah sebelum menjadi permasalahan yang cukup serius nantinya.

Dia menyebutkan harus dilakukan langkah-langkah konkrit jangka pendek maupun panjang. Dia menegaskan pemerintah harus serius dalam mengurusi sampah dan mesti ada pembenahan di semua lini. Masyarakat juga harus tertib dalam artian buang serta memilah sampah dan membayar iuran kebersihan yang layak.

Juneserani yang lebih akrab dipanggil Sano menyebutkan ada beberapa syarat pokok yang bisa dijadikan referensi bagi pemerintah mengatasi sampah.

“Pertama penegakan aturan.Pengelolaan kelembagaan profesional yang tidak korup. Lalu strategi pembiayaan, misalnya kalau pembiayaan kurang harus ada pola untuk mengatasinya. Harus diinformasikan kepada masyarakat bila dana iuran kurang tetapi harus sesuai kajian. Kemudian diberitahukan ke DPRD, jika mereka menganggap menekan rakyat. Ya jangan protes kalo sampah berantakan toh dananya juga kurang,” paparnya ketika dihubungi Mongabay via telepon.

Dia menambahkan setelah ranah aturan sudah benar dan sesuai, baru berbicara teknologi teknik operasinal sebagai proses akhir. Dia menegaskan dalam hal ini menyangkut aspek dana dan biaya.

“Jangan bilang mau bangun incenerator kalau dananya kurang. Inceneratot itu harganya mahal. Di Jepang saja harganya mencapai Rp4,3 triliun untuk menghancurkan sampah 600 ton per hari. Jika mau pemerintah harus investasi seharga tadi supaya tidak mencemari lingkungan,” kata Sano.

Dia melanjutkan hitungan belum dengan biaya operasional yang perlu Rp700.000 per ton.Dia menjelaskan bila target kota Bandung mau mengolah sampah 1000 ton per hari maka harus menyiapakan Rp700 juta per hari. ”Siapa yang bayar? dananya dari mana? Jadi balik lagi penerapan teknologi operasianal mengikuti kemampuan finansial,” pungkasnya.

Terakhir kata Sano, diperlukan peran serta dari semua pihak sesuai amanah UU dan Perda yang sudah ada supaya lingkunga menjadi bersih. Dia menambahkan demi terciptanya perubahan perlu usaha  kuat dari pemerintah maupun masyarakat  agar permasalahan sampah tidak menjadi bom waktu di masa mendatang.

Artikel yang diterbitkan oleh
,