Kabar Duka…Dua Anak Harimau Mati di Kebun Binatang Bukittinggi

harimau mati1-Sarinah dan Thamrin saat masih hidup. Foto dokter hewan Idham fahmi

Sarinah dan Thamrin, semasa hidup. Foto: Idham Fahmi

Kabar duka datang dari Taman Marga Satwa Budaya dan Kinantan (TMSBK) atau Kebun Binatang Bukittinggi, Sumatera Barat. Dua anak harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae) bernama Thamrin dan Sarinah, lahir 14 Januari 2016,  mati. Belum ada keterangan resmi dari TMSBK maupun BKSDA Sumbar soal penyebab kematian dua anak harimau hasil perkawinan si Bancah dan Sean, yang lahir bertepatan dengan bom di Sarinah, Jakarta ini.

Matinya satwa langka ikon Taman Margasatwa ini menambah daftar harimau mati di kebun binatang ini. Sebelumnya, akhir April dan Mei lalu dua anak macan dahan (Neofelis diadi) juga mati.

Meski sempat bungkam, Ikbal,  Kepala Bidang TMSBK Bukittinggi akhirnya membenarkan jika dua anak harimau ini. Dugaan awal keempat satwa mati karena penyakit sama, yakni, kelainan genetik.

“Pertama mati anak macan dahan, satu mati akhir April, satu awal Mei. Dari hasil pemeriksaan awal dokter hewan kita, kedua anak macan dahan ini mengalami kelainan genetik,” katanya saat dihubungi Mongabay, Sabtu (16/7/16).

Kelainan anak harimau dahan sebenarnya diketahui sejak dalam kandungan. “Induk macan dahan memiliki tiga anak dalam kandungan, satu mati, satu prematur, dan satu lumayan sehat namun tak bertahan lama.”

Kebun binatang berusaha melakukan berbagai upaya menolong keselamatan anak macan dahan itu.“Kita sudah bawa berobat ke klinik Dinas Peternakan Sumbar di Padang, sempat dirawat. Hanya bertahan hingga akhir April. Saat dirawat anak macan dahan sempat sehat, bisa bermain-main dalam kandang. Akhirnya, meninggal down, tak tertolong lagi,” ucap Ikbal.

Hal sama terjadi pada dua anak harimau Sumatera. Dugaan awal mengidap penyakit sama. Kondisi kedua anak harimau ini menurun drastis.Yang satu mati 30 Juni, satu lagi 1 Juli. Keduanya mati di kandang.

Ketidakterbukaan TMSBK terhadap anak harimau mati menyebabkan publik bertanya-tanya. Berhembus kabar kematian Sarinah dan Thamrin karena mengalami tindak kekerasan oleh oknum pawang, hingga menyebabkan cidera tulang punggung.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah I, Margo Utomo membenarkan kematian empat satwa di Taman Margasatwa Bukittinggi. Penyebab kematian, katanya,  masih menunggu hasil autopsi yang diperkirakan keluar Senin atau Selasa, pekan depan.

“Dugaan sementara kematian sakit atau faktor genetik lain. Apakah ada indikasi kekerasan, kita masih menunggu hasil autopsi,” katanya.

Pasca kematian anak-anak satwa ini, BKSDA akan mengevaluasi menyeluruh profesionalitas petugas Taman Margasatwa Bukittinggi mengingat banyak satwa dilindungi dititipkan di sana.

Dokter hewan Idham Fahmi dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar yang intens menangani harimau Sumatera menyebutkan, informasi kematian anak harimau ini harus benar-benar dipastikan karena persoalan sensitif.

Soal kabar kematian diduga cidera punggung karena tindak kekerasan, katanya, harus dibuktikan lewat visum. Cidera punggungpun, katanya,  tak sertamerta disebut penyebab utama kematian (bukan primer). Bisa saja sebagai pemicu kematian.

Berdasarkan teori dan pengalaman, harimau cedera punggung tak langsung mati, bahkan proses bisa berlangsung lama. Harimau cedera punggung akan mengalami fase lumpuh dan berdampak pada respon lambung dan usus. Tentu, akan terjadi penurunan nasfu makan berakibat kondisi fisik dan kesehatan menurun.

Kematian satwa langka apapun penyebabnya, bagi Idham,  sangat mengecewakan mengingat harimau ikon Taman Margasatwa Bukittinggi.

Jika terbukti kematian karena kekerasan, katanya, pelaku dapat dijerat UU Kehutanan, bahkan diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

WWF: TMSBK tak layak

Suhandri, Sumatera Regional Leader WWF Indonesia menyayangkan kematian anak-anak harimau ini. Dia mendesak, BKSDA segera meneliti dan investigasi kematian ini.

Dia menilai, kelangsungan hidup harimau seharusnya dipertahankan sejak kelahiran beberapa bulan lalu, betul-betul dirawat dengan kandang layak dan tenaga profesional.

Dia menduga, kematian harimau ini karena faktor alam dan kesalahan manusia. Untuk itu, perlu penelitian penyebab kematian hingga menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tak terulang.

Jika hasil autopsi menemukan indikasi kekerasan (human error), kepolisian bisa masuk ranah ini untuk penyelidikan. Juga menentukan tingkatan human error, hingga dapat menentukan langkah hukum.

WWF akan membuka ruang, jika perlu mengevaluasi atau merekomendasikan langkah tepat agar kejadian serupa tak terulang. “Kita punya tim ahli khusus harimau, jika dibutuhkan kita siap. Terpenting penelitian dan menunggu autopsi, tak dalam saling tuduh-menuduh.”

Dia berharap, evaluasi menyeluruh sistem pengelolaan TMSBK Bukittinggi. Berdasarkan catatan WWF, TMSBK Bukittinggi termasuk daftar harus mendapat pembenahan serius. “Kelayakan Kebun Binatang Bukittinggi kurang, sudah waktunya dipindahkan ke tempat lebih bagus.” “Persoalannya, mau dipindahkan kemana?”

Kala tak bisa pindah atau tak memungkinkan lagi, katanya, pemerintah harus mengevaluasi keberadaan kebun binatang ini.

harimau mati3-Para anak-anak sedang melihat anak harimau di kebun binatang Bukittinggi. Foto Dokter Hewan Idham (1)

Anak-anak kala melihat anak harimau di Kebun Binatang Bukittinggi. Foto: Idham Fahmi

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,