Fokus Liputan: Kala Warga Wonogiri Terusik Tambang dan Pabrik Semen (Bagian 4)

“Mata airmu dari Solo. Terkurung Gunung Seribu. Air meluap sampai jauh. Akhirnya ke laut,…”

Begitulah penggalan lagu Bengawan Solo, karya Gesang, sang maestro keroncong, sebagai wujud kekaguman pada Bengawan Solo. Mata air Bengawan Solo, sebenanya tak dari Solo. Di ujung paling selatan air mengalir justru dari Wonogiri. Dari sana, sumber air berkumpul dengan aliran beberapa sungai kecil, bertemu di Bengawan Solo. Di Wonogiri, bagian selatan itupula letak rencana tambang PT Ultratech Mining Indonesia (UMI) berada.

Arif Jauhari, pegiat Indonesian Speleological Society menjelaskan, melihat lokasi terdampak tambang semen UMI bakal langsung mengancam Sungai Bengawan Solo.

“Posisi di hulu Sungai Bengawan Solo. Di sana banyak mata air besar. Berderet-deret, dari Guwokikis sampai Guwotirto. Semua mengarah ke daerah aliran sungai Bengawan Solo, hanya sebagian kecil ke Selatan,” katanya.

Data Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Bengawan Solo menyebut, ada 47 sumber air di Wonogiri. Sumber air itu tersebar di Kecamatan Pracimantoro, Wuryantoro, Baturetno, Eromoko, Giriwoyo, dan Giritontro. Sebagaian besar sumber air berada di hulu Sungai Bengawan Solo, di Wonogiri, bagian selatan membentuk pola huruf U.

“Soal rencana pemindahan tapak pabrik, ada yang mengatakan karena penolakan warga. Ada juga berpendapat karena potensi dampak ke Bengawan Solo. Meski dipindah dampaknya tetap sama karena lokasi penambangan tetap, hanya tapak pabrik yang dipindah,” katanya.

Gunung Sewu dalam pelukan kabut di pagi hari. Foto: Nuswantoro
Gunung Sewu dalam pelukan kabut di pagi hari. Foto: Nuswantoro

Menurut Purmiyanto, petani Desa Tirtosuworo, aktif menolak penambangan. Bengawan Solo Purba di desa itu masuk wilayah UMI.

“Bahkan persis di tengah, yang di Tirtosuworo. Tempat saya kebetulan di Lembah Bengawan Solo Purba, hanya berjarak beberapa ratus meter dari pengambilan sampel.”

* * *

Kuswaji, pakar geomorfologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), mengatakan, Bengawan Solo Purba terbentuk dari pengangkatan lempeng tanah.

“Dulu di bawah laut. Pelan-pelan terangkat hingga Sungai Bengawan Solo, dulu hulu mengalir ke selatan, kini ke utara. Kekhasan bekas Bengawan Solo menarik dilestarikan sebagai geopark,” katanya.

Dari buku panduan Museum Kars Indonesia, proses pengangkatan itu yang membentuk formasi pegunungan karst Gunung Sewu, dari Pantai Parangtritis sebelah barat Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri, dan Teluk Pacitan, sebelah timur.

Karst Gunung Sewu berkembang pada lapisan batu gamping terbentuk tiga hingga 15 juta tahun lalu. Pelarutan membentuk karst, terjadi setelah cekungan tempat batu gamping terangkat dari laut sekitar 1,8 juta tahun lalu.

Bentukan karst fenomenal di Gunung Sewu adalah lembah kering di Giritontro dan Teluk Sadeng. Panjang puluhan kilometer, berkelok-kelok. Saat musim hujan, sebagian digenangi air dan menjadi telaga musiman. Inilah Bengawan Solo Purba itu.

Menurut buku itu, proses pengangkatan di Selatan, yaitu di Sadeng, masih berlangsung hingga kini,  membentuk undak sungai dan undak pantai. Laju pengangkatan berkisar 1-1,5 cm per tahun. Selain membentuk ratusan gua, ponor, dan telaga, tersebar di tiga kabupaten, karstifikasi Gunung Sewu ini di Pacitan membentuk sistem gua terpanjang di Jawa yaitu Luweng Jaran di Pacitan sepanjang 18 kilometer! Bengawan Solo sendiri panjang 600 kilometer, melewati 20 kabupaten, yang menjadikan sungai terpanjang di Jawa.

Koral pembentuk karst koleksi Museum Karst Indonesia. Foto: Nuswantoro
Koral pembentuk karst koleksi Museum Karst Indonesia. Foto: Nuswantoro

* * *

Keresahan warga karena rencana tambang, dengan keluar IUP untuk UMI ditanggapi dengan berbagai unjuk rasa, dan audiensi pada para pejabat daerah. Mereka juga mendata potensi air, dan sistem yang mendukung karst.

Dengan bantuan pelatihan dari Acityacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta, di antaranya oleh Sunu Widjanarko, speleolog senior, warga mendata potensi air secara swadaya. Purwiyanto mengisahkan, inventarisasi dilakukan 21 Desember hingga 23 Januari 2014, di tiga dusun.

“Dari hasil pendataan itu, kami menemukan banyak mata air, ponor, gua kebanyakan berbentuk vertikal, dan telaga karst di dalam maupun sekitar IUP.”

Ada 28 goa mereka temukan. Di Dusun Darmosito, Tirtosuworo, ada goa berpotensi menjadi tempat wisata karena keindaham. Goa Langse memiliki stalagtit, stalagmit, dan dinding goa indah. Selain itu goa masih aktif.

Mereka juga menemukan delapan telagadua permanen musim kemarau tak pernah kekeringan,  yaitu Telaga Jambu dan Pindul.

“Darmosito, tempat saya lahir dan dibesarkan kawasan perlintasan Bengawan Solo Purba. Mengebor 22 meter sudah mendapat air, cukup untuk 20 keluarga. Meskipun kemarau debit masih besar,” katanya.

Kondisi ini mematahkan anggapan menyebut Wonogiri Selatan sering kekeringan. Padahal tak semua kering. Apalagi ada 62 mata air, semua belum dimanfaatkan efektif. Dari survei, mereka juga mendata banyak ponor dan telaga bukti sistem sungai bawah tanah.

“Ada warga memasukkan kinang di Ponor Sengon, Guwotirto yang masuk lokasi IUP UMI, muncul di lokasi lain. Ponor Ngampel, Tirtosuworo muncul Sumber Puring. LalupPonor di Manggung Tirtosuworo, masuk ke Ponor Karang, keluar di Sumber Air Kakap.”

Dulu masyarakat Giriwoyo, masih menganggap luweng sebagai tempat sampah. Akibatnya, banyak ponor tertutup plastik, limbah rumah tangga, juga botol pestisida. Syukurlah, kini kebiasaan sudah berubah.

Dari peta temuan itu, warga lalu menyandingkan dengan peta lokasi IUP UMI. Hasilnya, banyak lokasi telaga, sumur, mata air, dan ponor akan jadi tempat pengambilan gamping.

“Kalau ditambang, ada dampak ke Waduk Gajah Mungkur dan berimbas ke Bengawan Solo,” katanya. “Air mengalir ke persawahan di sebelah utara, bermuara di Waduk Gajah Mungkur.”

Di Girikikis, Giriwoyo saya bertemu Ngadiyem. Dia mengantar saya melihat ponor yang pernah menenggelamkan rumah. Lubang selebar lima meter sebagian tertutup semak. Ponor merupakan bagian sistem sungai bawah tanah.

Ngadiyem, menunjuk ke arah ponor yang menenggelamkan sebuah rumah di Girikikis. Foto: Nuswantoro
Ngadiyem, menunjuk ke arah ponor yang menenggelamkan sebuah rumah di Girikikis. Foto: Nuswantoro

* * *

Ning Fitri, aktivis Walhi Jawa Tengah, berpendapat karst adalah sistem penyimpan dan penata kelola air terbaik dan alami yang tak bisa tergantkan. Kini, di banyak karst pulau Jawa terancam industri semen.

“Cara pandang kawasan karst sebagai mesin uang menjadi ancaman utama,” katanya.

Hal itu pula yang membuat izin-izin eksplorasi dan eksploitasi mudah terbit, meski bertentangan dengan aturan. Beberapa UU melindungi kawasan karst, misal, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati ,UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Lingkungan hidup, dan UU Otonomi Daerah.

Pada Desember 2015, warga Giriwoyo tergabung dalam Aja Kwatir melayangkan Surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat pengaduan itu dikirim ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Lingkungan Hidup, Gubernur Jteng, Bupati Wonogiri, dan beberapa pejabat terkait lain.

Dalam surat itu, mereka menyatakan ketidaksetujuan rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen.

“Kami tak setuju dan menolak karena sebagian besar petani mengandalkan tanah sebagai lahan untuk bertani. Bertani sudah menghidupi kami,” bunyi surat itu. “Upaya mempertahankan tanah kami dari kerusakan lingkungan kami lakukan dengan swadana dan swadaya masyarakat, sebagai kekayaan khas di kawasan karst masuk geopark dunia.”

Mereka mengerti, Presiden bertekad Indonesia harus swasembada pangan dalam tahun-tahun mendatang. Itu sebabnya pengelolaan lahan pertanian intensif dan mencegah alih fungsi lahan pertanian. Warga Giriwoyo telah hidup di karst Gunung Sewu sebagai petani itu berjuang mempertahankan sawah mereka agar tak menjadi tambang.   “Sampai kini tak ada jawaban,” kata Karmin. (Habis)

Stalagtit dan tetesan air di Goa Gong, Pacitan. Foto: Nuswantoro
Stalagtit dan tetesan air di Goa Gong, Pacitan. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,