Siapapun Dilarang Membakar Lahan di Kabupaten OKI. Wujud Antisipasi Karhutlah?

Meski berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Selatan No.8 Tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutlah) perusahaan atau warga boleh membakar lahan asalkan mendapatkan izin dari pemerintah, namun Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), tetap tidak akan mengeluarkan izin membakar lahan selama musim kemarau berlangsung.

“Kita tidak akan mengeluarkan izin kepada siapapun untuk membakar lahan. Baik perusahaan maupun perorangan,” kata M. Rosidi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Rabu (20/07/2016).

Kenapa? “Kita tidak mau mengambil risiko sedikit pun selama musim kemarau ini. Apalagi, kita tahu bagaimana sensitifnya lahan gambut selama kemarau. Sulit menjamin pembakaran dapat dikendalikan meskipun dimulai dari lahan yang kecil.”

Selain itu, Rosidi tidak mau adanya preseden buruk terhadap pengeluaran izin tersebut. Jika perusahaan diberikan izin untuk membakar, kemudian ada warga yang ditangkap karena tidak memiliki izin lantaran dia malas atau tidak tahu, jelas kami akan mendapat banyak kritik dan kecaman. Jadi, lebih baik selama musim kemarau ini kami tidak akan mengeluarkan selembar izin pun,” ujar Rosidi.

Kecemasan Kabupaten OKI, terhadap kebakaran cukup masuk akal. Pada 2015 lalu, OKI menjadi sorotan dunia international. Hutan dan lahannya yang terbakar seluas 377.333 hektare. Saat ini luas kerawanan kebakarannya sekitar 475.281 hektare. Dengan kondisi ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) menargetkan lahan terbakar di Kabupaten OKI sebagai wilayah pertama restorasi gambut di Indonesia, bersama daerah lainnya.

Dalam Perda No.8 Tahun 2016 disebutkan, membakar diperbolehkan setelah mendapatkan izin, sesuai Pasal 3 ayat (2), “Pelaksanaan pembakaran hutan dan atau lahan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain untuk pengendalian kebakaran, pembasmian hama, dan pembinaan habitat tumbuhan dan satwa dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang.”

Lahan gambut di Sepucuk, OKI, yang sebelumnya dimanfaatkan masyarakat untuk bersawah sonor, saat ini terbengkalai. Mereka tidak paham bagaimana mengelola lahan gambut untuk menanam padi tanpa membakar. Mereka pun tidak membakar karena terancam masuk penjara dan denda Rp50 juta. Foto: Taufik Wijaya
Lahan gambut di Sepucuk, OKI, yang sebelumnya dimanfaatkan masyarakat untuk bersawah sonor, saat ini terbengkalai. Mereka tidak paham bagaimana mengelola lahan gambut untuk menanam padi tanpa membakar. Mereka pun tidak membakar karena terancam masuk penjara dan denda Rp50 juta. Foto: Taufik Wijaya

Ancaman kriminalisasi petani

Edi Saputra, Ketua Serikat Petani Perigi Bersatu, Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten OKI, menilai kebijakan pemerintah Kabupaten OKI tersebut dapat menimbulkan kriminalisasi terhadap para petani.

“Kenapa? Sebab sulit mencegah para petani tidak melakukan pembakaran selama musim kemarau ini. Baik untuk meremajakan kebunnya atau untuk bercocok tanam. Sebab membakar  sudah mereka lakukan selama puluhan tahun. Mereka tidak punya dana atau pengetahuan bagaimana mengelola lahan tanpa membakar. Jadi, saya yakin akan banyak petani yang ditangkap karena aturan ini,” kata Edi.

Oleh karena itu, kata Edi, larangan tersebut juga dibarengi dengan langkah-langkah pemerintah untuk membantu petani dalam mengelola lahan tanpa membakar. “Misalnya bantuan alat berat atau bantaun obat-obatan atau teknik untuk mempercepat pembusukan rumput atau kayu, sehingga waktu bertanam mereka tetap terjaga,” kata Edi.

Terkait usulan ini, Rosidi menjelaskan Pemerintah OKI akan memberikan bantuan atau dampingan terkait pengelolaan lahan tanpa bakar. “Ini dapat dilakukan melalui kelompok tani atau organisasi-organisasi yang melakukan pendampingan terhadap para petani, yang selama ini berkomitmen mencegah kebakaran hutan dan lahan,” kata Rosidi.

Sudarto Marelo, Ketua Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Selatan, mengatakan organisasinya mendukung apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten OKI. “Kami terus melakukan sosialisasi kepada warga yang kami dampingi untuk tidak membakar dalam mengelola lahan. Tapi risikonya warga tidak dapat beraktivitas berkebun dan bertani. Sebab, mereka tidak paham atau tidak memiliki teknologi mengelola lahan tanpa membakar,” kata Sudarto.

Jadi, Pemerintah Kabupaten OKI harus segera memberikan bantuan peralatan atau obat-obatan atau lainnya terhadap para petani dalam mengelola lahan tanpa bakar. “Kalau hanya melarang tanpa membantu, ya sama saja menyiksa petani. Bukan tidak mungkin akan banyak petani yang ditahan karena terpaksa membakar,” katanya.

Di sisi lain, Sudarto juga yakin para petani maupun perusahaan tidak tahu isi dari Perda No.8 Tahun 2016 tersebut. “Kami yang mendampingi saja baru dapat setelah mengunduh dari Mongabay Indonesia, apalagi mereka. Artinya, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,