, , ,

Beginilah Nasib Masyarakat Adat Talang Mamak (Bagian 1)

Saya bersama beberapa rekan wartawan mengunjungi masyarakat adat Talang Mamak, di Komunitas Anak Talang dan Ampang Delapan, Kecamatan Indragiri Hulu, Riau, pada Mei lalu. Dari Pekanbaru, menggunakan mobil, perjalanan memakan waktu antara tujuh sampai delapan jam.

Selama lima jam, kami melalui jalan beton memanjang. Tak jarang jalan bergelombang mungkin karena beban kendaraan terlalu berat.

Tampak beberapa truk pembawa tandan buah segar (TBS) sawit  ataupun kayu gelondongan lalu lalang. Sesekali, duakali, makin jauh dri pusat kota, makin sering dijumpai. Selebihnya, kami melalui jalan hanya dengan pemadatan tanah. Kala hujan,  mobil seringkali tergelincir karena tanah lempung menyulitkan ban berjalan. Sebagian jalan juga berlubang. Beruntung, kami datang kala kemarau.

Inilah akses jalan keseharian masyarakat adat Talang Mamak. Ada jalan lain, jalur perusahaan. Jalan berupa padatan tanah, sesekali aspal, tertata rapi dan sangat mulus untuk dilalui. Sepanjang jalan, perkebunan sawit hampir di kiri kanan jalan.

Suku Talang Mamak berada di sepanjang Sungai Indragiri, Indragiri Hulu, Riau. Masyarakat ini tergolong Melayu Tua (Proto Melayu). Mereka suku asli Indragiri dan sering menyebut sebagai Suku Tuha. Berarti, suku pertama datang di Indragiri Hulu.

Asal muasal sejarah Talang Mamak beragam. ”Katanya awalnya Datuk Pepatih berakit kulim (kayu tua,red.) berlayar dari Kerajaan Paranguyung (Sumatera Barat, red),” kata Abu Sanar, masyarakat Talang Mamak sekaligus Ketua AMAN Indragiri Hulu.

Datuk Pepatih menyusuri aliran Sungai Indragiri. Dalam perjalanan itu, dia mengenalkan budaya, adat dan puasaka. Budaya terakulturasi juga dari Malaysia karena Pepatih memiliki silsilah keluarga dari Johor.

Kondisi Sungai Cenaku, sumber air masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, hari demi hari, sungai ini mulai tercemar...Foto: Lusia Arumingtyas
Kondisi Sungai Cenaku, sumber air masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, hari demi hari, sungai ini mulai tercemar…Foto: Lusia Arumingtyas

Wilayah jelajah Pepatih di empat kecamatan, yakni Kecamatan Batang Gangsal, Batang Cenaku, Kelayang, Rakit Ulu dan Renggat Barat. Ada satu kelompok di Jambi, di Dusun Semaratihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumai, Tebo Jambi.

Suku yang berbahasa Melayu Tinggi ini memiliki tiga Balai besar sebagai pusat pemerintahan. Ada Talang Durian Cacar dipimpin Patih Bunga, Talang Parit dipimpin Patih Besi, dan Talang Perigi dipimpin Patih Kelopak. Batin merupakan pimpinan adat di suatu komunitas yang memiliki hak otonom atas wilayah adat, lembaga adat dan tatanan adat.

Suku Talang Mamak, ada sekitar 29 komunitas. ”Lima belas komunitas dipetakan luasan wilayah mencapai 195.000 hektar terletak di Batang (sungai, red.) Ekok.”  Sebanyak 22 komunitas bergabung di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), meski dua tak aktif. Kini, ada empat komunitas mengajukan pemetaan wilayah ke AMAN terletak di Batang Gangsal.

 

 

Sosial ekonomi

Mata pencarian warga Talang Mamak, sebagian besar berladang dan berkebun. ”Mereka berpindah-pindah dalam berladang,” kata Abu.

Karet, komoditas utama mereka dengan sistem tumpang sari.”Sebelum pohon karet besar, mereka biasa menanam padi, ladang atau tanaman semusim.”

Kondisi mereka makin terjepit, kala wilayah hidup sebagian menjadi sawit ‘milik’ perusahaan. Sebelumnya, diawali konsesi hak pengusaan hutan (HPH) pada 1970-an di Indragiri Hulu. Penebangan hutan makin masif.

Data Sajogyo Institute, menyebutkan, kondisi ini erat kaitan dengan kebijakan ekonomi Indonesia menjadikan Riau sebagai provinsi penyedia kayu log. Hingga perusahaan berizin pemanfaatan kayu menebang kayu lebih banyak ketimbang HPH.

 Datuk Rajo Penghulu, bersama keluarga. Foto: Lusia Arumingtyas
Datuk Rajo Penghulu (berbaju orange), bersama keluarga. Foto: Lusia Arumingtyas

Data Eye On The Forest, menyebutkan, pada 2000, tutupan Riau tersisa 41%. Kondisi ini, berimbas pada wilayah Talang Mamak.

Transmigrasi pemerintah pemerintahpun jadi menambah masalah. ”Sekitar 1980-an dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, saat itu masih melalui pertanian palawija,” katanya.

Nurman, anak Talang, menceritakan, transmigran ke Talang Mamak, banyak meninggalkan rumah karena merasa tak cocok. Saat inilah mulai ada perampasan wilayag adat.

Lahan transmigrasi banyak jadi kebun sawit mandiri. Masyarakat mulai menyerahkan lahan untuk mendapatkan satu kapling kebun sawit. ”Meningkatkan perekonomian juga, namun kadang tanah yang dijanjikan tak kunjung datang,” katanya mengingat cerita sang ayah.

Pada 1990-an, perambahan lahan buat sawit makin terasa. Perusahaan-perusahaan mulai menduduki wilayah Talang Mamak. Kesenjangan terjadi. Saat inilah, muncul konflik, kerusakan lingkungan meski tak dipungkiri segelintir orang menikmati peningkatan ekonomi.

Batin Gunduk, penguasa adat Kebatinan Ampang Delapan mengatakan, soal pelestarian adat, katanya, dilakukan dalam pertemuan adat disebut Rayo Penghulu. Ia biasa setelah Lebaran Haji.

Kepala Adat, Batin Pemangku, Monti, Bubungan, katanya, tokoh adat yang berbicara disana. ”Itu juga tempat jika ada aturan yang perlu direvisi,” kata Aan Pradinata, pemuda sembilan atau Dubalang Anak Talang.

Aan menceritakan, sejak teknologi masuk ke Talang Mamak, banyak merasa adat tak lagi penting. Beberapa pihak tak terima dikritik. Bersama dubalang lain, Aan pun sering diskusi dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Batin kekhawatiran identitas maupun adat istiadat Talang Mamak yang makin luntur. Dia mencontohkan, dulu dalam pertemuan warga masih bergotong royong masak bersama, kini tinggal catering. “Adat jangan sampai hilang.”

Sungai Cenaku yang melintasi wilayah Anak Talang. Kini, air mulai keruh, tak lagi jernih seperti dulu. Foto: Lusia Arumingtyas
Sungai Cenaku yang melintasi wilayah Anak Talang. Kini, air mulai keruh, tak lagi jernih seperti dulu. Foto: Lusia Arumingtyas

Penjaga Talang Mamak

Pada Suku Talang Mamak, ada istilah Dubalang. Ia alat lembaga adat atau bisa disebut alat pertahanan adat. Guna memperkuat pertahanan adat inilah, komunitas Anak Talang, sub Suku Talang Mamak, ini membentuk Anggota Pemuda Sembilan. Patroli hutan, salah satu tugas mereka.

”Patroli hutan dengan Pak Batin dan masyarakat, mengajak pemuda peduli lingkungan,” kata Aan Pradinata.

Sejak dua tahun ini, anggota Pemuda Sembilan membantu Datuk Raju menjaga hutan adat seluas empat kilometer persegi. Dia bilang, hutan adat itu tak boleh diganggu. Untuk menggunakan lahan itu, perlu berunding dengan tetua kampung.

Mengenai nama Pemuda Sembilan, katanya, dari bentukan awal berjumlah sembilan. Mereka diresmikan secara adat Talang Mamak. Kini, jumlah mereka sudah 70 orang dari 15 kebatinan.

Selain pemuda dari Anak Talang, ada juga pemuda Kebatinan Rakit Kulim. ”Mereka tergabung dalam BPAN.”

Mereka penjaga lini terluar hutan Talang Mamak. Para emuda ini juga menjadi wadah penggerak ekonomi masyarakat.

”Kita penghubung masyarakat dengan koperasi,” katanya.

Mereka menjadi penghubung dengan koperasi, katanya, agar masyarakat tak terlibat dengan tengkulak. “Kalau terlibat tengkulak, bisa terjerat utang.”

***

Kala saya ke Talang Mamak Kebatinan Ampang Delapan dan Anak Talang, kondisi miris. Perusahaan-perusahaan masuk, hutan adat tergerus. ”Manusia tanpa air, apa bisa hidup, tanpa hutan tak bisa makan, tak ada obat,” kata Datuk Rajo Pengulu, pimpinan adat dan Panglima Dubalang Anak Talang.

Sumber kehidupan di hutan menipis, hasil kebun seperti karetpun menurun. Beragam masalah ini bikin masyarakat adat makin terjepit.

Sedang warga transmigran banyak berkebun sawit dan dinilai hidup lebih layak. Warga adat Talang Mamak, berkebun karet dan kesulitan kala harga produk terus menurun.     ”Mereka (transmigran,red.) bisa menyekolahkan anak. Kita petani karet, tak bisa,” kata Supriyadi, warga Komunitas Anak Talang.

Kesenjangan itulah menjadi salah satu alasan masyarakat Talang Mamak ada yang beralih dari karet ke sawit.

Harga karet, katanya, seringkali tak stabil menyebabkan warga, seperti Supriyadi enggan terus noreh.”Kalau sedang musim hujan, ya jarang bisa memanen,” katanya.

Pada 2007-2009, harga karet bisa Rp 12.000 per kilogram. Harga segitu, cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dulu, transaksi masyarakat dengan barter barang. Semua kebutuhan sehari-hari dipenuhi dengan berladang dan kebun. Hanya bahan energi untuk penerangan dan garam yang beli.

”Sekarang harga karet Rp4.500, bahkan pernah Rp2000 per kilogram,” katanya. Biaya hidup rata-rata per bulan bisa Rp2 juta hingga hasil karet tak mencukupi.

Supriyadipun mencari pekerjaan lain. Selain bertani sawit, dia membantu mengangkut tandan buah segar (TBS) sawit dari desa ke koperasi. Biaya Rp500.000,  sekali angkut.

Masalah tak sampai disitu. Perusahaan masuk ke hutan adat, konflikpun terjadi.

Kebun sawit PT Mega Nusa Inti Sawit yang mengelilingi Desa Anak Talang. Foto: Lusia Arumingtyas
Kebun sawit PT Mega Nusa Inti Sawit yang mengelilingi Desa Anak Talang. Foto: Lusia Arumingtyas

Konflik lahan

Salah satu konflik antara Anak Talang dan PT. Runggu. Komunitas adat di Kecamatan Batang Cenaku ini, resah dengan kehadiran Runggu. Luas wilayah adat mereka 17.000 hektar, 1.000 menjadi kebun sawit.

Runggu berada di Kecamatan Peranap hingga Batang Cenaku, Indragiri Hulu. ”Memang agak jauh dari komunitas, bisa pake mobil tapi ada yang harus jalan kaki,” kata Akhwan BInawan dari Hakiki, organisasi pendamping warga.

Datuk Rajo Penghulu, pimpinan adat dan Panglima Dubalang Anak Talang mengatakan, perusahaan ada sejak 2010, tetapi mulai menanam 2013. Selama itupun, perusahaan tak pernah sosialisasi kepada masyarakat.

Bahkan, temuan warga, sekitar 100-an hektar kebun sawit perusahaan di Hutan Lindung Bukit Betabuh. Komunitas Talang Mamak melaporkan kasus kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kapolri, KPK, Kepala Desa Anak Talang, Camat, Kapolsek, Dinas Perkebunan sampai Dinas Kehutanan. ”Tapi belum ada tindakan hingga sekarang,” katanya.

Konflik tak ada penyelesaian hingga membuat warga kesal. Pada 2014, warga Anak Talang, Muska Bujang Hadi dipenjara karena menghadang perusahaan. Intimidasipun seringkali diterima para pejuang hak tanah adat ini.

Awal 2014, masyarakat adat sempat menyetop alat buldozer perusahaan kala menggali tanah. ”Tak  sampai seminggu, ada orang datang dengan senjata api rakitan meminta kami melepas.”

Pada 20 Februari 2016, terjadi pertemuan antara Runggu dengan atas permitaan masyarakat adat. Tak tercapai kesepakatan. Dua buldozer kembali ditahan masyarakat dengan harapan kejelasan izin Runggu.

Selang dua hari, alat berat menghilang. ”Ya oknum bermain, sebenarnya juga dari masyarakat Anak Talang.” Perusahaan ini diketahui tak memiliki izin beroperasi di Talang Mamak.

”Mereka hanya punya surat keterangan tanah surat keterangan ganti rugi dari oknum mafia tanah tanpa sepengetahuan Datuk Dubaang dan Batin serta masyarakat sekitar,” ucap Ketua Pengurus Daerah AMAN Inhu, Abu Sanar.

 

Lingkungan rusak

Tak hanya lahan adat terampas, lingkunganpun rusak, seperti air bersih tercemar. ”Hutan lindung kami tergerus, sumber air sulit,” kata Datuk Rajo Panghulu. Sebelum 2014, masyarakat masih mudah mendapatkan air bersih kebutuhan sehari-hari, kini sulit.

Pada 70-an, Sungai Cenaku di hulu dekat Komunitas Talang Anak sangat bersih. ”Surut lama, dan dalam.” Kini, sungai beraih bersih hanya cerita. ”Sering gatal-gatal.”  Bukan itu saja. Sejak 2015, banjir kerap datang berulang kala hujan lebat setengah hari saja. (Bersambung)

Tandan Buah Segar Kelapa Sawit milik masyarakat Komunitas Anak Talang, Indragiri Hulu, Riau. Foto: Lusia Arumingtyas
TBS sawit milik masyarakat Komunitas Anak Talang, Indragiri Hulu, Riau. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,