, ,

Mongabay Travel : Menyusuri Solaria di Pesisir Lamongan Utara

Hari masih pagi, sekitar pukul 7, di pesisir utara Lamongan, Jawa Timur, pada awal Juli 2016. Namun, Farah Natasya dan sebelas temannya sudah bersemangat untuk naik perahu nelayan dari bawah jembatan Solaria di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong.

Bersama teman-temannya, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang sedang liburan di rumah neneknya itu, naik perahu milik salah satu nelayan, Nur Kholis. Mereka kemudian menyusuri sungai pada dua hari setelah Idul Fitri 1437 lalu dari arah hilir ke hulu.

Selama sekitar 1,5 jam mereka melihat keindahan dan keasrian kawasan muara kanal untuk mengurangi banjir di sekitar Bengawan Solo tersebut.

Deretan rimbun pohon-pohon bakau membentang di kanan kiri sungai selebar sekitar 20 meter itu. Belasan burung bangau dengan bulu putihnya hinggap di atas bakau, baik jenis Rhizophora apicuata maupun Rhizophora stylosa.

Beberapa ekor di antaranya terbang ketika perahu nelayan dengan mesin itu mendekati mereka. Lebih tinggi di atas mereka, gerombolan burung lain terbang berseliweran. Suasana terlihat asri di antara segarnya udara pesisir di pagi hari.

“Waaah, ternyata asyik juga ya susur sungai di sini. Benar-benar tidak menyangka,” kata Farah. Dia dan teman-temannya tentu saja tidak lupa mengabadikan suasana itu dengan latar belakang berbeda-beda. Ada Jembatan Solaria di sisi utara. Ada Gunung Menjuluk di sisi selatan. Menambah indah foto-foto yang mereka unggah di media sosial, terutama Facebook dan Instagram.

Deretan mangrove di Solaria Lamongan, Jatim. menjadi rumah bagi ekosistem baru termasuk bangau, kepiting, dan ikan. Foto Falahi Mubarik
Deretan mangrove di Solaria Lamongan, Jatim. menjadi rumah bagi ekosistem baru termasuk bangau, kepiting, dan ikan. Foto Falahi Mubarik

Bagi Farah yang pertama kali menyusuri sungai tersebut, asrinya pemandangan itu menyenangkan. Karena itu, menurutnya, susur sungai bisa menjadi salah satu atraksi wisata di kawasan tersebut. “Biar tidak hanya WBL yang dikenal,” katanya merujuk ke salah satu objek wisata populer di kawasan tersebut.

Pariwisata Baru

 Wisata Bahari Lamongan (WBL) di Kecamatan Paciran, Lamongan berjarak sekitar 10 km ke arah timur dari tempat Farah dan teman-temannya menyusuri sungai. Kawasan wisata seluas 17 hektar tersebut diresmikan pada 14 November 2004 oleh Bupati Lamongan saat itu, Masfuk.

Sejak itu, WBL pun menjadi alternatif pariwisata tak hanya bagi warga Lamongan tapi juga warga kabupaten atau bahkan provinsi lain.

Pada hari-hari libur, seperti libur sekolah atau Idul Fitri 1437 lalu, kawasan seluas 17 hektar di tepi jalan penghubung Jawa di sisi pantai utara ini dipenuhi pengunjung.

Di WBL terdapat berbagai fasilitas permainan ataupun hiburan. Salah satu andalannya adalah Tanjung Kodok, daratan menjorok ke laut berbentuk kodok raksasa persis di pinggir laut yang sering menjadi lokasi pengamatan matahari ataupun bulan.

Gunung Menjuluk di kejauhan menjadi latar belakang bagi pemandangan di kawasan Solaria, Lamongan, Jatim. Foto Falahi Mubarok
Gunung Menjuluk di kejauhan menjadi latar belakang bagi pemandangan di kawasan Solaria, Lamongan, Jatim. Foto Falahi Mubarok

Selain WBL, tak ada lagi lokasi yang serius dikembangkan sebagai tempat wisata di pantai utara Lamongan. Padahal, kabupaten ini memiliki pantai sepanjang 47 km sekaligus menjadikannya sebagai salah satu pusat perikanan laut di Indonesia. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong menjadi pelabuhan bagi nelayan-nelayan di pesisir utara Jawa Timur, termasuk Tuban dan Gresik.

Karena itulah, Lamongan sebenarnya bisa mengembangkan wisata berbasis alam terutama pesisir di daerah sini sekaligus menjadi pelengkap atau pilihan objek wisata lain yang sudah ada seperti WBL.

Melihat potensi itu beberapa warga pun mencoba membuat kegiatan wisata baru yaitu menyusuri sungai kawasan Solaria, singkatan dari Sodetan Lamongan Ceria. Seperti namanya, Solaria memang berada di sodetan atau sudetan, kanal buatan di pesisir utara Lamongan. Lokasinya di Pelabuhan Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, sekitar 85 km dari Surabaya ke arah barat laut.

Sejarah Sudetan

Menurut beberapa catatan, sudetan di pesisir utara Lamongan ini bagian dari proyek sejak zaman kolonial Belanda. Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda sudah membuat kanal di sisi utara Bengawan Solo sebagai salah satu cara mengatasi banjir saat sungai terpanjang di Jawa itu. Semacam Banjir Kanal Timur (BKT) di Jakarta. Namun, karena alasan biaya, rencana pembuatan kanal itu pun batal.

Kawasan di mana akan dibangun itu kemudian disebut Solo Valley yang oleh lidah warga setempat menjadi Solo Palei, merujuk pada lokasi yang akan dikeruk untuk menjadi kanal.

Pada 2000, pemerintah membangun kembali kanal tersebut sepanjang 13,4 km. Lahan-lahan yang semula berupa tanah kosong, sawah, ataupun kebun itu pun berubah menjadi kanal yang membentang dari Desa Plangwot, Kecamatan Laren sampai Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong di pantai utara Jawa.

Taman Mangrove menjadi pelengkap setelah menyusuri sungai di kawasan Solaria Lamongan. Foto Anton Muhajir
Taman Mangrove menjadi pelengkap setelah menyusuri sungai di kawasan Solaria Lamongan. Foto Anton Muhajir

Pembangunan kembali kanal atau sudetan itu kemudian disertai dengan pembangunan infrastruktur lain di bagian hilir Sudetan Bengawan Solo. Jembatan Sedayulawas yang terletak persis di Jalan Raya Daendels, penghubung utama di sepanjang pantai utara Jawa, pun diperbaiki. Jembatan lama yang datar, diubah bentuknya menjadi busur, melengkung di atas sudetan dan menambah indahnya pemandangan di hilir Sudetan Bengawan Solo. Pelabuhan Sedayulawas ditata lebih bagus sehingga makin nyaman sebagai tempat jalan-jalan.

Dengan suasana baru itu, sebagian warga pun memiliki sebutan baru, Solaria, yang lebih populer dan modern. Kawasan Solaria ini selain pelabuhan dan jembatan juga termasuk estuari di hilir sudetan. Mereka juga memanfaatkan untuk jalan-jalan menikmati wisata lingkungan.

Belum Rapi

Sebagai kegiatan wisata baru, susur sungai di Solaria memang belum terlalu populer. “Paling hanya dua rombongan yang pernah minta saya antar jalan-jalan menyusuri sungai,” kata Kaselan, nelayan yang juga menyewakan perahunya. Pangkalan perahu-perahu pun belum rapi karena dekat dengan tempat pembuangan sampah desa.

Tidak ada papan informasi ataupun loket khusus jika mau menyusuri sungai Solaria. Namun, nelayan-nelayan yang menyandarkan perahu di bawah jembatan biasanya sigap melayani jika ada peminat dan air laut sedang pasang. Tarifnya antara Rp150 ribu hingga Rp200 ribu untuk satu perahu berisi 10-15 orang dengan lama perjalanan sekitar 1 jam.

Rute perjalanan bolak-balik dari Pelabuhan Sedayulawas ke arah hulu sampai di Dusun Mencorek yang berjarak sekitar 2 km. Nur Kholis, nelayan yang menjalankan perahu mengaku tidak berani melewati batas hingga 2 km karena nelayan setempat percaya ada “penunggu” yang sering membuat celaka jika melewati batas tersebut.

“Sering ada orang tenggelam kalau dia berani melewati batas itu,” katanya sambil menunjuk patok di pinggir sungai. Mitos ini bisa menjadi bagian tersendiri serunya perjalanan susur sungai Solaria.

Untuk melengkapi perjalanan ini bisa juga dengan mampir ke Taman Mangrove yang dikelola warga lokal, Arifin Jamian. Tempat ini berjarak sekitar 1 km dari pelabuhan sekaligus menjadi tempat belajar budi daya ataupun konservasi bakau. Gubuk-gubuk di antara rimbunnya bakau menjadi tempat rehat nyaman sambil minum kopi setelah menyusuri sungai.

“Saya sih berharap pemerintah mau memfasilitasi biar wisata sungai dan mangrove di sini bisa makin dikenal dan berkembang,” kata Arifin berharap.

Artikel yang diterbitkan oleh