Fokus Liputan : Ketika Warga “Menantang” Erupsi Bromo Saat Kasada (Bagian 1)

Satuin, pria tua hampir 65 tahun ini menyulut kretek untuk mengusir dingin. Sudah seharian ia tinggal sementara di lereng kawah Gunung Bromo, Jawa Timur, yang erupsi, bersama puluhan orang lainnya.

Beberapa meter di bawahnya, kawah mengeluarkan asap tebal bercampur abu vulkanik. Namun para pemburu rejeki atau disebut marit ini tak gentar berada di dalam kawah, berteman asap dan abu erupsi. Satuin beradu kecepatan tangan dengan rekannya menangkap sesajen berupa makanan, hasil pertanian, ternak, dan uang yang dilempar warga Tengger saat ritual Yadnya Kasada, 20-21 Juli lalu.

Padahal Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Bromo menjadi waspada atau level 2. Bandara di Kota Malang pun buka tutup karena letupan materialnya ke udara. Salah satu rekomendasinnya, warga sekitar Bromo dan pengunjung tidak diperbolehkan memasuki kawasan dalam radius 1 km dari kawah aktif gunung.

Dengan catatan, untuk acara ritual ada perlakuan khusus dengan melihat faktor keamanan serta memperhatikan rekomendasi dari PVMBG. Misalnya dengan memberikan rambu-rambu larangan bagi  yang tidak punya kepentingan dengan ritual Kasada adalah imbauan keras untuk tidak mendekat ke kawah.

Namun, di puncak gunung ribuan warga berbaur dengan pengunjung lalu lalang naik turun kawah. Demikian juga di kaki gunung dan seputar ladang pasir, ribuan warga tumpah dengan aneka aktivitasnya. Ada yang memang melakukan Kasada, berjualan makanan atau mainan, trek-trekkan dengan motor cross, pemandu wisata yang hilir mudik mengantar tamu dengan jeep atau motor.

Kebijakan atau aturan kesiapsiagaan kebencanaan tak bisa mutlak diterapkan di Indonesia, ketika tradisi sosial budaya dan keyakinan lokal masih kuat.

Misalnya yang paling berisiko dalam erupsi adalah pelaku marit ini. Mereka bisa hampir dua hari tinggal sementara dengan tutup terpal di lereng kawah.

Bahkan sebagian adu nyali di kemiringan tajam. Sementara Satuin, salah satu yang tertua memilih membuat tenda darurat di bibir terluar kawah, samping beton pembatasatau keamanan.

“Tidak pernah ada yang jatuh ke lubang kawah, aman-aman saja,” seru pria kelahiran 1952 ini. Ia mengenakan jas hujan tipis hijau dan topi untuk menghalau abu erupsi dan hujan yang tumben datang di ritual Kasada ini.

Warga suku Tengger tidak melakukan persembahan atau yadnya di bulan Kasada bersamaan. Sejak 20 Juli, ribuan warga sudah memulai rangkaiannya sampai terakhir melarung sesajen ke kawah. Sementara puncak perayaan usai tengah malam sampai dini hari pada 21 Juli. Warga masih terlihat melarung sesajen sampai sore.

Sukandar, kenalannya yang mengikuti Kasada menghampiri dan menanyakan kabar, dalam bahasa Jawa suku Tengger. Kedua pria tua yang berpengalaman marit ini mendiskusikan kondisi gunung dan seberapa rejeki yang didapat dari menangkap sesajen. “Kalau saya sudah tak mampu marit, perlu keberanian dan tenaga,” ujar Sukandar. Usianya lebih mudah sekitar 10 tahun dari Satuin.

Pemandangan titik ribuan orang di laut pasir sekitar gunung Bromo saat Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani
Pemandangan titik ribuan orang di laut pasir sekitar gunung Bromo saat Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani

Bromo memang memberi banyak untuk warga sekitar, tak hanya dari beberapa desa dekat gunung, tetapi juga kawasan yang meliputi Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang.

Lahan-lahan pertanian terlihat subur dan ada sekitar 50 ribu hektar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS) dengan aneka satwa dan bentang pasirnya yang menjadi arena petualangan. Juga rejeki bagi warga yang marit.

Warga yang melarung sesajen juga terlihat tak ada yang marah atau mengeluarkan makian jika sesajennya sudah ditangkap beberapa detik setelah dilempar. Tidak sampai lubang kawah, jika tujuannya memberi persembahan untuk gunung.

Misalnya dua perempuan tengah baya, Tarsi dan Suen. “Seger waras, akeh rejekiku,” ucapnya diikuti menyebutkan nama-nama keluarganya saat bersiap melempar. Beberapa pelaku marit ada yang berteriak, “Bu, sini ae. Sini ae,” meminta Tarsi dan Suen mengarahkan langsung ke alat penangkap mereka. Terutama saat melemparkan uang-uang koin. Alat penangkap rejeki ini dibuat dari karung beras bekas yang dijarit mirip jadi penyaring ikan dengan tongkat lebih dari satu meter agar jangkauannya lebih luas.

Tarsi mempersembahkan hasil kebun seperti kentang, bawang prei, kol dan sejumlah uang. “Gak banyak, yang penting sudah berterima kasih sama Gusti Gunung,” kedua petani perempuan ini terlihat bahagia. Sesajennya dengan mudah ditangkap alat tangkap marit di sampingnya karena ia juga seperti hendak membaginya. Menurut Tarsi, persembahan ini sudah cukup dengan didoakan oleh para dukun. Yang tersisa hanya keikhlasan, ini mungkin salah satu penyebab kehadiran ratusan pelaku marit.

Ratusan pedagang memenuhi laut pasir, dari kaki sampai lereng gunung Bromo, Jatim meski berstatus waspada saat ritual Yadya Kasada. Foto : Luh De Suriyani
Ratusan pedagang memenuhi laut pasir, dari kaki sampai lereng gunung Bromo, Jatim meski berstatus waspada saat ritual Yadya Kasada. Foto : Luh De Suriyani

Para penangkap rejeki ini memang harus terus siaga, terutama mata. Yang paling beruntung adalah jika berada dekat warga yang akan mempersembahkan ternak seperti kambing, domba, dan ayam. Para marit ini tak bisa berlarian menyongsong sesajen, karena situasi dan juga rapatnya barisan antar mereka.

Saat seseorang melempar ternak, tak mungkin terlalu jauh, jadilah pelaku marit terdekat yang mendapatkan. Sementara mereka yang berada paling dekat lubang kawah memilih rejeki berupa uang, dominan koin karena bisa terlempar lebih jauh. Nah, orang-orang yang terlihat lebih muda ini bisa bergerak lebih lincah menyongsong uang atau ayam karena barisan orang longgar. Namun, paling berisiko. Mudah tergelincir atau paling dekat dekat dengan asap.

Persepsi bencana

Kesiapsiagaan bencana selama ritual Kasada memang terlihat cukup menonjol secara kasat mata. Banyak spanduk dan baliho dipasang pengelola taman nasional, pemerintah kabupaten Probolinggo, dan pihak lainnya.

Umumnya baliho pemerintah, yang paling menonjol adalah foto pejabatnya. Menghabiskan setengah bagian informasi luar ruang ini. Misalnya soal peringatan erupsi Bromo. Ada 2 baliho di pertigaan jalan utama desa menuju kawasan objek wisata gunung Bromo. Pertama peringatan untuk wisatawan karena pemerintah kabupaten sudah menjadikan ritual ini sebagai agenda wisata, namanya Festival Yadnya Kasada.

Isinya, waspada jika asap terlihat pekat dan menjauh, menghormati adat masyarakat, dan mengenakan baju hangat, masker, selop tangan, dan lainnya. Foto pejabat memenuhi sebagian sementara teks kurang dominan.

Baliho kedua lebih jelas terbaca dan informatif ditujukan untuk warga sekitar. Misalnya mengenakan masker terutama bagi anak dan lansia mengurangi paparan abu vulkanik. Mengenakan baju tertutup badan agar abu tak membuat iritasi pada kulit. Kemudian membersihkan abu di atap rumah karena jika menebal ditambah air hujan menjadi berat dan berisiko merusak rumah.

Di beberapa sudut lain terpasang spanduk kewaspadaan. Sejumlah petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah, PMI, SAR, dan pengelola taman nasional terlihat. Juga terpasang semacam police line radius 1 km dari kawah sebagai petanda.

“Statusnya naik, tapi pengunjung tetap naik, petugas vulkanologi cenat cenut,” ujar Agus Dwi Andono, Kepala Resort Pengelolaan Nasional Tengger Laut Pasir bagian dari TN BTS, ditemui di kantornya saat Yadnya Kasada.

Menurutnya sebelum Februari kawasan gunung Bromo sempat ditutup total namun dibuka kembali ketika aktivitas vulkanik menurun.

Peringatan kebencanaan di kawasan Gunung Bromo, Jatim, ditandai sejumlah baliho dan spanduk yang dipasang pemerintah. Pelaksanaan ritual Yadnya Kasada pada 2016, bertepatan dengan Gunung Bromo yang aktif erupsi. Foto : Luh De Suriyani
Peringatan kebencanaan di kawasan Gunung Bromo, Jatim, ditandai sejumlah baliho dan spanduk yang dipasang pemerintah. Pelaksanaan ritual Yadnya Kasada pada 2016, bertepatan dengan Gunung Bromo yang aktif erupsi. Foto : Luh De Suriyani

Ahmad Arif, pelaksana Ekspedisi Cincin Api koran Kompas dalam sebuah pelatihan kebencanaan di Denpasar, Bali, pekan lalu, mengatakan walau peristiwanya alam, tapi konstruksi sosial budaya, bagaimana respon masyarakat pada bencana menentukan responnya.

“Kesalahan memahami persepsi risiko bencana membuat salah tentang rantai peringatan dini,” kata wartawan koran Kompas yang mendalami sosiologi masyarakat sekitar rawana bencana ini.

Ia mencontohkan kasus alm Mbah Maridjan saat letusan Merapi 2010 di Jogjakarta. Mbah Marijan rumahnya di Kinahrejo, area paling berisiko. Ia menolak dievakuasi mengungsi yang diikuti warga lainnya yang percaya. Kemudian ada letusan besar dan Mbah Maridjan meninggal dalam rumahnya karena wedhus gembel atau awan panas.

“Jangan-jangan warga tak menganggap bahaya. Saya kenal dan beberapa kali ketemu karena naik Merapi harus mampir ke rumahnya. Cara memahami gunung Merapi berbeda. Dia mau mati di sana,” ujar Arif.

Ia menirukan ucapan Mbah Maridjan, “kalau saya turun meninggalkan rumah akan ditertawakan ayam, mau enaknya saat Merapi beri kesuburan saja.” Salah satu kesalahan penanganan menurut Arif adalah fokus tim penanggulangan bencana menurunkan Mbah Maridjan, harusnya warga.

Ini juga terjadi saat letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, pada 1963. “Saya ketemu saksi hidup yang selamat. Awan panas turun dan perintah evakuasi tapi ada 2 desa dekat aliran panas memilih tinggal dan menabuh gamelan. Perempuan dan anak diminta turun. Banyak yang meninggal. Persepsi masyarakat soal risiko tak selinear yang kita kira,” cerita Arif.

Ada kepercayaan jika kematian karena letusan gunung bukan hal buruk. Seperti berkurban untuk menyelamatkan yang lebih besar. Ada konsepsi kebudayaan yang lebih besar.

Konsep merapi sebagai gunung bukan semata ilmu vulkanogi, mewarnai keyakinan warga seputar gunung api di Indonesia. Dari analisis Arif, hampir semua daerah yang pernah dilanda bencana, dihuni lagi, seperti Merapi, Galunggung, Agung, dan pesisir bekas bencana tsunami Aceh.

Menurut Arif sangat beda dengan Jepang, karena daerah pasca tsunami cenderung ditinggalkan. Mereka memperbaiki mitigasi, daya tahan pulihnya lambat. Angka bunuh diri meningkat karena kesedihan kehilangan anggota keluarga, ekonomi yang dilanda tsunami cenderung menurun.

Sementara di Indonesia menurutnya, mitigasi pasca bencana kurang cepat seperti memindahkan pemukiman ke tempat tinggi, tanggul pencegah, dan lainnya. Namun juga bermakna positif seperti upaya pemulihan atau risiliensi tinggi.

Secara umum, Arif merangkum respon warga pada bencana terbagi 3, secara antropologis cenderung tunduk pada alam, transformatif memperhatikan keselarasan alam, dan modern yang meyakini manusia mampu menguasai alam dengan teknologi atau manipulasi.

Survei Kompas pada 2011 yang melibatkan 800-an responden menyebutkan sekitar 48% cenderung tradisional bahwa bencana tak bisa dihindari, 42% transformatif mengakui mekanisme alam dan bisa melakukan pencegahan.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah mendorong transformasi pengetahuan lokal tentang kebencanaan untuk mengubah perilaku. Arif meyakini banyak teks-teks atau budaya lisan tentang tanda-tanda bencana di Indonesia.

Pelajaran dari Pulau Simeulue, pengetahuan lokal menyelamatkan warga pada 2004. Setelah gempa bisa ada smong atau ombak laut (tsunami). Pengetahuan ini disebarluaskan dengan nyanyian atau dongeng. Ribuan rumah rusak tapi “hanya” 7 warga meninggal karena sebagian besar sudah lari ke gunung.

****

Tulisan ini merupakan bagian pertama. Tulisan kedua yaitu Ritual Kasada, Ritual Selaras Alam Suku Tengger bisa dilihat disini 

Artikel yang diterbitkan oleh
,