Belajar dari Adi Putra: Sekolah Bayar dengan Sampah

Matahari mulai menghangat, ketika saya menginjakkan kaki di sebuah bangunan sederhana. Dari depan, sudah disambut spanduk bertuliskan “ Sekolah Bank Sampah Paud Al-Kautsar.” Tampak satu motor roda tiga berisi tumpukan sampah kardus tersusun rapi.

Suasana riuh terdengar dari sekitar 20-an anak bernyanyi riang dipandu seorang guru. Halaman berlantai semen dengan bangunan berukuran 6×6 meter ini, sekaligus kediaman sang pendiri sekolah,  Adi Putra.

Pria inilah yang memiliki ide mendirikan sekolah dengan memunguti sampah sebagai bayaran. Ide ini sempat dianggap aneh, bahkan oleh sang istri, Astuti.

Astuti meragukan keinginan Adi. “Awalnya sempat ragu dengan keinginan mendirikan sekolah mengandalkan sampah. Saya sempat bilang, sekolah dengan sampah apa iya bisa terwujud.” Alumni FKIP Bahasa dan Sastra Universitas Jambi ini pantang menyerah.

Tekad memberikan manfaat bagi sesama sekaligus kecintaan pada dunia pendidikan dan lingkungan membuat dia terus berjuang mewujudkan mimpi.

Meskipun ide Sekolah Bank Sampah, muncul sejak 2010, tak lantas terealisasi. Kekurangan biaya dan kehidupan serba sulit membuat Adi harus menunda keinginan.

Beberapa hasil kerajinan tangan berbahan sampah dari kumpulan orangtua murid. Kreasi sampah inidibuat oleh lembaga bentukan Adi, Lembaga Keterampilan Keliling. Foto: Elviza Diana
Beberapa hasil kerajinan tangan berbahan sampah dari kumpulan orangtua murid. Kreasi sampah inidibuat oleh lembaga bentukan Adi, Lembaga Keterampilan Keliling. Foto: Elviza Diana

“Saya mau semua anak dapat bersekolah. Sampah yang selama ini diaggap tidak bermanfaat bisa menjadi modal untuk bersekolah. Itu menjadi tujuan awal saya mendirikan sekolah ini. Semua aspek baik pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan dan agama menjadi satu konsep sekolah Bank Sampah ini,“ katanya.

Saat itu, dia agen koran lokal di Jambi. Sebelum bisa mendirikan Sekolah Bank Sampah, Adi mencoba memanfaatkan limbah koran bekas untuk membayar tagihan bulanan.

“Pikiran saya gimana pembaca tetap bisa berlanggan koran, karena harga langganan naik. Ide saya sederhana, hanya menawarkan kepada mereka memberikan koran bekas sebagai penutup biaya tambahan berlangganan koran.”

Pada 2014, tepatnya 28 Mei Adi berhasil mendapatkan izin mendirikan Sekolah Bank Sampah PAUD dan TK  AL-Kausar. “Berkat dukungan banyak teman-teman khusus alumni Universitas Jambi, sekolah ini bisa didirikan.”

Kala itu, dia hanya memiliki dana Rp150.000 dan timbangan, yang menjadi modal pertama membuka sekolah.

“Karena konsepnya membayar sekolah dengan sampah, jadi saya mengandalkan sampah-sampah ini untuk biaya operasional,” ujar dia.

Awal buka, murid hanya 30 orang. Untuk membayar tagihan uang sekolah Rp30.000 setiap bulan, Adi membuka peluang orangtua murid membayar dengan sampah. Setiap hari, ada saja yang membawa satu kantong sampah dan menyerahkan untuk ditimbang. Sampah-sampah dikumpulkan ini lalu ditimbang dan dihargai sebagai cicilan uang sekolah. Biaya gaji guru dan operasional lain menjadi kendala, saat pasokan harga sampah turun.

Adi bahkan pernah menggunakan sisa uang gajinya untuk membayar gaji guru-guru di sekolah.

Niat baik Adi berbuah kebaikan juga dari orang-orang yang selalu ada menjadi donatur sampah hingga beberapa peralatan. Beberapa donatur, juga meringankan para orangtua murid dari keluarga tak mampu.

“Donatur yang membantu kami memberikan sampah-sampah  setiap minggu. Juga meringankan orangtua murid tak mampu. Kendala gaji guru juag teratasi.”

Kini, sekolah ini punya enam guru untuk pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak. Bukan hanya unik dan murah, sekolah ini dipilih orangtua karena banyak nilai, terutama kepedulian lingkungan.

Metty (30) orangtua murid mengatakan, menyekolahkan kedua anak di siini. Anak pertama sudah tamat, saat ini mendaftarkan mereka di sekolah sama.

“Satu kebaikan diajarkan di sini, anak-anak lebih peduli lingkungan, misal anak saya, kalau ketemu sampah, selalu bilang jangan dibuang sembarangan bisa dikumpulin buat bayar sekolah, “ katanya tersenyum.

Guna meningkatkan keinginan orangtua murid mengumpulkan sampah, sekolah juga menyiapkan buku tabungan penjualan sampah dari orangtua yang berlebih bayar biaya bulanan. “Kalau ada sisa kami tabung, jadi orangtua murid bersemangat,” kata Adi.

Gudang sampah yang menampung sampah kering untuk biaya sekolah bulanan di Sekolah Bank Sampah. Foto: Elviza Diana
Gudang sampah yang menampung sampah kering untuk biaya sekolah bulanan di Sekolah Bank Sampah. Foto: Elviza Diana

Sampah membawa ke Amerika

Sang istri, Astuti,  kaget mengetahui suami diundang ke Amerika selama 25 hari. Pada April 2016, menjadi bulan bersejarah bagi Adi. Dia mendapat undangan Kedutaaan Besar Amerika Serikat berkunjung ke negeri Paman Sam.

“Saya merasa tak percaya, suami bisa berangkat ke Amerika berkat sampah yang dinilai tak berharga. Saya langsung sujud syukur… ” cerita Astuti.

Adi mengenang, kunjungan Mr. Edward, dari  Kedutaan Besar Amerika ke Sekolah Bank Sampah dua tahun lalu, berlanjut undangan ke AS.

Saat ini, Adi sudah mengembangkan metode serupa di beberapa tempat, seperti sekolah bank sampah perempuan di Desa Penyengat Olak, kerjasama dengan perangkat desa dan salah satu sekolah tinggi di Kota Jambi. Juga Sekolah bank sampah Pasar Wisata Lumut Berseri SMA Arradal Haq Desa Pematang Lumut,  Kecamatan Betara,  Tanjung Jabung Barat.

Sekolah bank sampah juga mengambangkan peluang sampah-sampah ini dengan membuka Lembaga Keterampilan Keliling diikuti perempuan di sekitar Kelurahan Payo Lebar Kecamatan Jelutung.

Lembaga ini mendidik, perempuan untuk mendapatkan keterampilan megubah sampah menjadi berbagai barang, seperti tas, dompet. Ada juga peralatan rumah tangga berbahan paralon bekas.

Jam dinding ini berbahan dasar paralon bekas yang disulap menjadi bermanfaat. Foto Elviza Diana (2)
Jam dinding ini berbahan dasar paralon bekas yang disulap menjadi bermanfaat. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,