ICW: Data Pusat-Daerah Tidak Sinkron, Penyebab Munculnya Potensi Kerugian Negara Sektor Kehutanan

Organisasi watchdog Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Sumber Daya Alam Kehutanan, khususnya yang berasal dari provinsi-provinsi seperti Jambi, Kalimantan Tengah dan Riau. Penyebabnya adalah ketidaksinkronan data perhitungan jumlah produksi kayu baik pada level kabupaten/kota, provinsi maupun nasional.

Studi ICW ini sendiri dilakukan antara Februari hingga Mei 2016 yang didasarkan pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Badan Pusat Statistik.

Hasil kajian ICW, berdasarkan LKPP tahun 2012-2014, negara hanya menerima Rp 2,5 Triliun dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Rp 5,09 Triliun dari Dana Reboisasi (DR). “Padahal, negara punya potensi menerima anggaran PSDH hingga Rp 3,6 triliun,” jelas Siti Juliantari, Kepala Proyek Divisi Riset ICW, di kantornya (28/7).  Dengan demikian potensi kerugian penerimaan negara dari PSDH adalah lebih dari 1 triliun rupiah.

PNBP dalam sektor kehutanan dibedakan menjadi tiga jenis kategori. Yakni, PSDH, DR dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan/ Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IHPH/IIUPH). Dalam penelitian ini, ICW fokus pada kajian budget tracking khususnya PNBP di sektor kehutanan yang dibagihasilkan ke daerah, yaitu PSDH dan DR.

Menurut Siti, data LKPP dan BPS memiliki karakteristik yang sama, yaitu didasarkan pada data produksi kayu yang ada di kabupaten/kota, provinsi dan nasional yang berbeda dengan data dari KLHK (d/h Kemenhut).  Selain itu, data produksi kayu yang diberikan tidak mencakup rincian jenis kayu.

Selain itu, ICW pun menemukan banyak ketidaksesuaian antara jumlah produksi kayu dan penerimaan dari PNBP. Diantaranya, data 2012-2014. BPS mencatat produksi kayu dari hutan alam sebanyak 129,731 juta m3, sedangkan data Kemenhut 17,511 juta m3. Sama halnya data tahun 2010-2014 terkait jumlah produksi kayu HTI, data BPS melansir 180,889 juta m3, sedangkan Kemenhut 114,294 juta m3.

“Perbedaan data ini jelas mempengaruhi besaran PSDH yang berasal dari hutan alam dan HTI, dan DR berasal dari kayu hutan alam. Bagaimana bisa membagi hasil yang jelas jika data kayunya tidak rinci, itu yang kami pertanyakan,” ucap Siti.

Pengelolaan Data Minim, Transparansi Dipertanyakan

Selisih jumlah yang begitu besar tersebut menjadi sebuah fakta terkait tidak berjalan dengan baiknya pengelolaan data produksi kayu, baik di Dinas Kehutanan maupun Kementerian Kehutanan. Hal ini menjadi sebuah potensi kekurangan penerimaan PNBP SDA Kehutanan.

Hal ini pun diakui oleh Juandi, salah satu auditor Badan Pemeriksa Negara (BPK), ”Berdasarkan temuan kami, KLHK masih sangat lemah dalam pengawasan terhadap pengelolaan, penghitungan dan pendataan PNBP SDA Kehutanan,” jelas Juandi.

Menurutnya, kendalanya disebabkan adanya faktor otonomi daerah yang menimbulkan sebuah pandangan bahwa pemda tak harus melaporkan PNBP SDA Kehutanan kepada pemerintah pusat. ”Ini penting untuk sinkronisasi data dari pemerintah pusat dan daerah, Sehingga, bagi hasil dari PNBP SDA bisa maksimal dan adil,” tuturnya.

Tak hanya itu, dana ini menjadi bagian dalam pembangunan daerah dan menjadi sumber dana kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Setiap kota/kabupaten wajib menyerahkan Laporan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LRPIK) dan Laporan Gabungan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LGRPIK) secara bertahap dari kabupaten, ke provinsi dan ke KLHK.

Faktanya, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 10 provinsi diantaranya yang memberikan LGRPIK tersebut meski tidak rutin dalam setiap bulannya. Sisanya, tidak melaporkan sepanjang tahun 2015. ”Memang data SDA Kehutanan ini seringkali wajar dengan pengecualian, mayoritas disebabkan karena PNBP,” ungkapnya.

Di sisi lain, Tenaga Ahli Komisi Informasi Publik, Tya Tirta Sari menyebutkan bahwa kementerian ataupun lembaga pemerintahan tidak sepatutnya khawatir dengan penyalahgunaan terkait persoalan transparansi data pemerintah. ”Seharusnya tidak ada dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan,” tuturnya.

Berdasarkan peringkat di KIP, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup memang tidak masuk dalam 10 besar lembaga yang memberikan transparansi data, sebagai perbandingan Kementerian Keuangan menduduki peringkat 1 dengan nilai 100.

”Jika di pusat saja tidak transparan, apalagi di daerah,” tutup Tya mengilustrasikan bagaimana sulitnya memperoleh data dari institusi pemerintah.

Artikel yang diterbitkan oleh
,