Fokus Liputan : Menikmati Bromo Tanpa Nyampah Sembarangan (Bagian 3)

Manto, supir salah satu angkutan desa meminta calon penumpangnya sabar sampai 15 kursi Elf-nya terisi. Turis dan pengunjung yang akan menuju kawasan Bromo duduk di sekitar tempat mangkal angdes di dekat terminal kota Probolinggo. Banyak angkutan menuju Bromo berjejer dalam antrean.

Kami menunggu lebih dari 30 menit. Dhuha, salah seorang pelancong asal Kalimantan bersua dengan Dias dari Bandung saat menunggu ini. Demikian juga pelancong lain, domestik atau asing bisa saling berkenalan bahkan berbagi akomodasi jika rute perjalanan cocok.

Manto menghitung untuk kali terakhir sebelum penumpang masuk kendaraan. Ransel besar harus ditaruh di atap Elf, karena penumpang saja sudah berdesakkan dalam mobil tua ini. Beberapa orang asing tertawa karena ukuran kursi tak sesuai dengan ukuran badan mereka.

Perjalanan dengan Elf ini perlahan karena jalan terus menanjak. Udara segar dan pemandangan kebun menghijau menyegarkan mata, sekitar satu jam sebelum sampai Cemoro Lawang, pusat akomodasi dan area melihat area Gunung Bromo dari jauh.

Total perjalanan 2 jam dengan Elf dari Kota Probolinggo. Dari Ngadisari, jalan mulai menanjak dan berkelok tajam. Jalan sempit ini akan kesulitan jika dilewati oleh pengendara dengan pengalaman pertama ke sini.

Elf pengangkut pelancong berhenti di kawasan ini yang juga dekat dengan Cemoro Lawang, pintu masuk menuju lautan pasir Gunung Bromo, Jawa Timur. Foto : Luh De Suriyani
Elf pengangkut pelancong berhenti di kawasan ini yang juga dekat dengan Cemoro Lawang, pintu masuk menuju lautan pasir Gunung Bromo, Jawa Timur. Foto : Luh De Suriyani

Jangan khawatir jika belum memesan penginapan. Ada banyak guest house, sebuah rumah yang dikhususkan untuk penginapan pelancong. Harganya sekitar Rp150-500 ribu per kamar saat ritual Kasada. Tergantung jauh dekatnya dari Cemoro Lawang. Saya sarankan melihat-lihat 2-3 lokasi sebelum memutuskan menginap di mana. Misalnya akses kamar mandi, fasilitas air hangat, dan kondisi kamar.

Beberapa warga membuka warung dengan menu mayoritas soto, bakso, dan nasi campur. Cuaca dingin kawasan ini membuat sering berkunjung ke warung untuk mencari minuman hangat.

Pada siang hari sebelum puncak ritual Kasada yang dimulai dari tengah malam, lautan pasir Bromo sudah terlihat sangat ramai. Sebagian adalah warga yang akan melaksanakan ritual Kasada. Pusat keramaian sudah terlihat di areal Cemoro Lawang. Seperti pasar malam, pedagang menawarkan mainan, topi, makanan, dan lainnya.

Juga ada puluhan ojek menawarkan jasa angkut melewati laut pasir sampai ke beberapa titik seperti pura Ponten Bromo dan kaki gunung Bromo. Saat Kasada, harga ojek motor ditawarkan Rp75 ribu per orang. Sementara untuk jeep Rp400 ribu berisi sekitar 5 orang.

Pria dengan sarung terlihat jamak di pemukiman warga yang sebagian arsitektur gerbangnya mirip dengan di Bali Di Cemoro Lawang, kawasan Gunung Bromo, Jatim. Foto : Luh De Suriyani
Pria dengan sarung terlihat jamak di pemukiman warga yang sebagian arsitektur gerbangnya mirip dengan di Bali Di Cemoro Lawang, kawasan Gunung Bromo, Jatim. Foto : Luh De Suriyani

Mereka berpakaian biasa, misalnya pria dengan sarung membawa hasil pertanian ke pura Ponten Bromo di kaki gunung. Sementara perempuan sebagian besar berkerudung walau ada yang beragama Hindu. Inilah adaptasi sosial warga Tengger yang tersebar di Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Malang, dan Pasuruan.

Sesaji diberikan mantra dulu oleh dukun-dukun yang standby. Mereka menghaturkan sesajen hasil bumi di beberapa tugu seperti sedikit nasi, lauk, dan sayuran. Kemudian sesajen paling berharga dibawa naik ke puncak kawah untuk dilarung. Namun nyaris semuanya ditangkap oleh puluhan pelaku marit atau pencari rejeki yang adu nyali di lereng kawah.

Atraksi ini mendebarkan sekaligus menarik perhatian. Pelaksana marit siaga menampung uang atau ternak yang dilempar ke kawah.

Sebagian yang tak menjalankan ritual adalah warga sekitar yang menyukai standing dengan motor di lautan pasir. Anak-anak muda menonton atau membuat arena dadakan menonton motor-motor digeber dengan suara knalpot meraung-raung. Juga puluhan pedagang mainan, es krim, dan lainnya di sekitar pura sampai bahu Bromo.

Aneka sampah bertebaran, bekas snack, minuman botolan, kresek, dan lainnya. Tempat sampah memang tak terlihat, kemudian pengunjung malas mengantongi sampahnya sendiri.

“Tiap minggu kita mungut sampah sekitar satu Tossa (motor roda tiga),” kata Agus Dwi Andono, Kepala Resort Pengelolaan Nasioal Tengger Laut Pasir. Ia mengakui belum ada sistem pengelolaan sampah sementara perilaku pengunjung masih banyak nyampah sembarangan.

Peningkatan sampah seturut membludaknya pengunjung ke areal Bromo. Saat Kasada, volume sampah 2-3 kali lebih banyak.

Titik ramai Cemoro Lawang melihat lautan pasir dari Kejauhan, Gunung Bromo (berasap), Jatim berdampingan dengan gunung Batok. Foto : Luh De Suriyani
Titik ramai Cemoro Lawang melihat lautan pasir dari Kejauhan, Gunung Bromo (berasap), Jatim berdampingan dengan gunung Batok. Foto : Luh De Suriyani

Tantangan lain di kawasan ini adalah kebakaran ketika musim kemarau. Agus menyontohkan di padang Savana karena sulutan punting rokok atau warga yang membakar ilalang untuk mendapat rumput yang lebih banyak di musim penghujan.

Savana Bromo

Keistimewaan kawasan Bromo Tengger Semeru ini adalah banyaknya tempat dengan pemandangan alam indah. Setelah mengarungi laut pasir atau titik lokasi syuting film Pasir Berbisik yang dominan abu-abu berdebu dengan asap erupsi, ojek motor atau jeep bisa diarahkan ke kawasan hijau. Di balik gunung Bromo dari arah Cemoro Lawang kita menjumpai rerumputan, semak menghijau.

Beberapa titik berhenti misalnya padang Savana dan puncak menuju Desa Ranu Pani. Mulai lah di pagi hari, ketika mentari mulai naik dan memantulkan cahaya ke lembah-lembah kawasan ini. Sekalian menghangatkan badan.

Rutenya tak terlalu sulit dilalui saat musim kemarau. Berbeda jika musim hujan karena jalanan tanah berpasir akan mudah membuat terjerambab. Dalam laman badan pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menyebut sejumlah fauna yang terlihat di sini adalah elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) yang merupakan satwa ikonik dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

Di kawasan TNBTS, elang jawa masih sering dijumpai pada beberapa lokasi. Monitoring jumlah dan keberadaan elang jawa disebut rutin dilakukan tiap tahun oleh TNBTS. Juga ada burung pemalu ceret jawa/Javan Bush-warbler (Bradypterus montis Hartert, 1896)

Tugu tempat menaruh sesaji sebelum naik ke puncak kawah Gunung Bromo Jatim. Foto : Luh De Suriyani
Tugu tempat menaruh sesaji sebelum naik ke puncak kawah Gunung Bromo Jatim. Foto : Luh De Suriyani

Di kawasan TNBTS terdapat sekitar 1.025 jenis flora. Penelitian yang dilakukan oleh LIPI dan BBTNBTS mengungkapkan pada zona inti kawasan TNBTS didominasi oleh beberapa famili tumbuhan tropis, yaitu: Moraceae, Araliaceae, Meliaceae, Euphorbiaceae dan Apocynaceae. Pada tingkatan semak belukar, hutan didominasi oleh famili Solanaceae, Rubiaceae, Verbenaceae dan Zingiberaceae serta beberapa jenis liana yang termasuk dalam anggota famili Piperaceae, Araceae dan Polypodiaceae.

Di kawasan ini disebut terdapat 158 jenis Anggrek yang 40 jenis di antaranya tergolong langka, di antaranya yaitu Malaxis purpureonervosa (endemik Semeru Selatan) dan Habenaria tosariensis (endemik TNBTS). Kawasan TNBTS juga dikenal sebagai Land of Edelweiss. Di kawasan ini telah teridentifikasi 3 jenis bunga edelweiss, yaitu: Anaphalis longofilia, Anaphalis javanica dan Anaphalis viscida.

Ketika sudah mencapai pertigaan arah ke Desa Ranu Pani, lembah-lembah savana terlihat sangat indah. Kendaraan yang hilir mudik seperti titik. Sejumlah papan peringatan tertulis dilarang buang puntung rokok sembarangan karena kerap memicu kebakaran.

Jika pertama kali ke Bromo dan sekitarnya, jangan khawatir karena akan banyak bertemu teman baru dalam perjalanan. Angkutan umum menuju Bromo dari Kota Probolinggo cukup banyak seharga Rp35 ribu per orang dan langsung mengantarkan sampai pusat keramaian akomodasi Cemoro Lawang. Angkutan ini juga akan menunggu penumpang di sini ketika balik ke kota Probolinggo.

Lembah menghijau di belakang Gunung Bromo, Jatim, yang tak terkena letusan atau erupsi. Foto : Luh De Suriyani
Lembah menghijau di belakang Gunung Bromo, Jatim, yang tak terkena letusan atau erupsi. Foto : Luh De Suriyani

Tips:
– Wajib kantongi sampah sendiri karena tong sampah sangat terbatas

– Perlengkapan pribadi: pakaian hangat yang cukup, sangat dingin jika hujan, sarung tangan dan penutup hidung. Ada banyak toko yang menjual di Cemoro Lawang jika kelupaan.

– akomodasi banyak seperti guest house, villa, penginapan. Jika mencari langsung, cek 2-3 lokasi untuk mencari yang pas sesuai kebutuhan dan harga. Misal air panas, kondisi toilet, ruang tamu untuk ngobrol, tempat tidur, sampai kesediaan outlet listrik. banyak  guest house sediakan wifi gratis.

– Sejumlah pengunjung terlihat kemping, namun selalu melihat kondisi erupsi Bromo.

****

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan. Tulisan pertama yaitu Ketika Warga “Menantang” Erupsi Bromo Saat Kasada bisa dilihat disini.

Tulisan kedua yaitu Ritual Kasada, Ritual Selaras Alam Suku Tengger bisa dilihat disini

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,