Mongabay Travel: Biduk-Biduk dan Sensasi Danau Dua Rasa

Biduk-Biduk kini bukan lagi wilayah asing bagi masyarakat Kalimantan Timur. Kecamatan di pesisir selatan Kabupaten Berau ini, beberapa tahun terakhir, namanya mencuat sebagai salah satu destinasi pariwisata andalan.

Memasuki Biduk Biduk, setelah menempuh perjalanan enam jam dengan mobil dari Tanjung Redep, Ibu Kota Kabupaten Berau, kita akan disambut jajaran pohon kelapa di sepanjang tepian pantai.

“Biduk-Biduk seperti punya orang Sanggata,” kata Hairul, guru yang juga berprofesi sebagai pengepul ikan hasil pancingan nelayan.

Penyataan Hairul ini ingin menegaskan bahwa kunjungan wisatawan dari Kabupaten Kutai Timur dan sekitarnya cukup dominan. “Anak muda dari Sangatta, Bontang, bahkan Samarinda sering datang rombongan mengendarai motor,” tambahnya.

Apa yang disampaikan Hairul ini diamini Marwan dari Pokja REDD Kabupaten Berau. Menurutnya, pada liburan lebaran lalu, wisatawan yang menyerbu Biduk-Biduk membludak. “Emperan rumah dan masjid jadi tempat menginap. Ada juga yang mendirikan kemah di pinggir pantai karena penginapan penuh. Kini, Berau tak hanya terkenal karena Pulau Derawan.”

Labuan Cermin merupakan danau dua rasa, asin dan tawar. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Labuan Cermin merupakan danau dua rasa, asin dan tawar. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Wisata berbasis masyarakat dan koservasi

Salah satu destinasi andalan di Biduk-Biduk adalah Danau Labuan Cermin yang berada di Kampung Labuan Kelambu. Danau ini unik, air permukaannya tawar (2 -3 meter) karena bersumber dari pegunungan karst. Sementara air di bawah tiga meter asin karena masuknya air pasang laut. Percampuran air tawar dan laut ini menghasilkan tampilan air jernih berwarna hijau kebiruan pada danau seluas 1,36 hektare ini.

Sohornya Danau Labuan Cermin tak lepas dari peran kelompok masyarakat yang tergabung dalam Lekmalamin atau Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Labuan Cermin. Mereka menyadari, Labuan Cermin adalah potensi besar yang harus dijaga.

Ancaman yang akan menggores keindahan Danau Labuan Cermin memang bukan kasat mata. Dari dalam, ada pembukaan hutan untuk perkebunan dan penebangan kayu liar. Sementara dari luar, ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah terlihat gelagatnya.

Mahsud, anggota BPK Kampung Biduk-Biduk yang sebelumnya aktif di Lekmalamin mengatakan, masyarakat di tiga kampung yaitu Biduk-Biduk, Giring-Giring, dan Teluk Sulaiman menolak kehadiran perkebunan sawit. Alasannya, di beberapa kampung tetangga yang ditanam sawit, sumber air bersih warga berkurang. Imbasnya, warga tidak bisa bercocok tanam di kebun.

Upaya perlindungan Danau Labuan Cermin telah dilakukan Lekmalin dengan mengusulkan hutan di sekitar danau tersebut sebagai kawasan lindung. Usulan ini diterima oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau sebagai kawasan dengan nilai konservasi tinggi. “Bupati menerbitkan SK Bupati No. 290 Tahun 2013 tentang Penunjukan Kawasan Lindung dan Wisata Alam Labuan Cermin,” terang Mahsud.

Labuan Cermin yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga sensasi danau dua warna. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Labuan Cermin yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga sensasi danau dua warna. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Berdasarkan hasil studi  yang dilakukan TNC (The Nature Conservancy ), Dinas Kehutanan Kabupaten Berau, dan Lekmalamin, diketahui kawasan ini memiliki lebih dari 22 jenis mamalia (10 jenisnya dilindungai), 104 jenis burung (6 jenis endemik), 164 jenis tumbuhan yang sebagian asli Kalimantan, serta 15 jenis ikan dan 13 jenis moluska.

Kasimuddin, Sekretaris Lekmalamin mengatakan, dengan keluarnya SK Bupati itu sekitar 2.000 hekare hutan yang dilindungi. “46,72 hektare adalah kawasan inti.”

Meski telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, namun ancaman penebangan liar untuk memasok kayu pembuatan kapal atau perahu, perburuan satwa liar, dan pembukaan lahan untuk perkebunan masyarakat masih terjadi. “Kami tidak bisa langsung melarang, melainkan melakukan upaya persuasif,” ujarnya.

Kini, pengelolaan Danau Labuan Cermin ditangani Lekmalamin. Masuk ke danau tidak ditarik retribusi. Pengunjung hanya membayar ongkos perahu (pulang-pergi) dari dermaga ke Danau Labuan Cermin sebesar Rp100.000 per rombongan.

Pengelolaan oleh Lekmalamin dilakukan agar masyarakat setempat memperoleh manfaat dari berkembangnya wisata tersebut. “Banyak investor yang datang, namun kami tolak karena kawasan ini adalah tanggung jawab warga sehingga warga yang harus mendapat keuntungan juga,” tegas Kasimuddin.

Danau Labuan Cermin yang kini menjadi wisata andalan di BErau, selain Pulau derawan. Sumber: Wikipedia
Danau Labuan Cermin yang kini menjadi wisata andalan di Berau, selain Pulau Derawan. Sumber: Wikipedia

Berbenah

Lokasi wisata di Biduk-Biduk bukan hanya Labuan Cermin, ada juga Pantai Teluk Sulaiman, Hutan Mangrove Sigending, Pulau Kaniyungan dan pantai lain yang berjajar mulai dari Tanjung Harapan hingga Teluk Sumbang.

“Potensi wisata hutan, pesisir dan laut di Kecamatan Biduk Biduk sudah diakui, namun kami masih berbenah,” ujar Risno, Ketua Forlika (Forum Peduli Pelestarian Alam) yang juga Sekretaris Kampung Teluk Sulaiman.

Menurut Risno, dalam satu tahun, kunjungan wisatawan ke Kecamatan Biduk-Biduk mencapai 40 ribu orang. “Masalah utama adalah sampah. Kami belum punya tempat pembuangan akhir, sementara kampung belum punya uang yang cukup untuk membeli lahan.”

Persoalan sampah dan budaya bersih juga diungkapkan oleh Kasimuddin, meski di Labuan Cermin sudah ada penampungan sampah sementara, namun sampah-sampah belum diolah. Hanya ditumpuk di lokasi pembuangan. “Kesadaran untuk hidup bersih menjadi perjuangan kami.”

Ancaman lain, dari daya tarik wisata di Biduk Biduk, adalah investor luar yang  membuka berbagai usaha yang dikhawatirkan akan mengeser posisi masyarakat setempat sebagai tuan rumah.

Menurut Kasimudin, Lekmalamin yang didukung Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan telah melaksanakan program pengelolaan kawasan lestari berbasis masyarakat, dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

“Lekmalamin berharap bisa meningkatkan kesadaran para pihak akan pelestarian kawasan lindung dan wisata alam. Serta, memperbaiki tata kelola jasa lingkungan berkelanjutan sebagai alternatif pencaharian masyarakat sekitar kawasan, sehingga mengurangi tekanan pada lingkungan.”

Kegiatan ini, akan mengupayakan rehabilitasi lahan seluas 83 hektare. “Kalau bukan kami yang menjaga siapa lagi?” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,