Zamrud, Taman Nasional Berbasis Gambut yang Baru Dibentuk

Zamrud yang awalnya suaka margasatwa kini resmi menjadi taman nasional. Penetapan tersebut dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Kabupaten Siak, Riau, 22 Juli 2016.

Taman Nasional Zamrud (TMZ) yang berada di Siak Riau ini, berada di lahan gambut seluas 31.480 hektare. Ada dua danau menghiasi, Danau Pulau Besar (2.416 hektare) yang terdiri dari empat pulau yaitu Pulau Besar, Pulau Tengah, Pulau Bungsu, serta Pulau Beruk; dan Danau Bawah yang luasnya 360 hektare.

Berbagai jenis satwa hidup liar di sini. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau tercatat ada 38 jenis burung yang 12 jenisnya merupakan jenis dilindungi, serta jenis ikan seperti arwana dan belida.

Proses yang panjang membayangi pembentukan taman nasional tersebut. Sejak 2001, Pemerintah Kabupaten Siak telah mengajukan kawasan ini sebagai taman nasional yang akhirnya terwujud 15 tahun kemudian.

Danau yang berada di lahan gambut. Foto: Rhett Butler

Potensi gambut

Prof. Tukirin Partomiharjo, peneliti senior bidang Botani dari Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kepada Mongabay Indonesia menuturkan, pembentukan Taman Nasional Zamrud merupakan hal menggembirakan. Menurutnya, naiknya status Zamrud dari suaka margasatwa menjadi taman nasional, dari segi pengelolaan akan lebih jelas, karena ada kelembagaan yang mengurus. “Pembentukan ini diharapakan lebih baik kedepannya dalam hal pengelolaan,” ujarnya baru-baru ini.

Konsep taman nasional yang merupakan kawasan pelestarian alam, menurut Tukirin, cukuplah fleksibel. Pengelolaannya dengan cara zonasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Ada zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lainnya sesuai peruntukan. “Konsep taman nasional diharapkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara terbatas/tradisional seperti mengembangkan wisata yang ada maupun layanan alam yang tersedia. Manfaatnya, langsung dirasakan dibandingkan statusnya sebagai suaka margasatwa yang memang tidak boleh ada campur tangan manusia.”

Perihal gambut, Tukirin menuturkan, ekosistem ini sangatlah khas. Pembentukannya memerlukan waktu panjang, ribuan tahun, dan hanya jenis tumbuhan tertentu yang hidup di lahan tersebut. Sifat gambut yang harus diwaspadai adalah kerentanannya, begitu rusak akan sulit dipulihkan ke kondisi awal. Terlebih, bila terbakar. “Kawasan gambut yang masih bagus di Zamrud harus dipertahankan, jangan sampai rusak.”

Kebakaran lahan gambut di Riau yang terjadi 2015 lalu. Foto: Rhett Butler

Pada dasarnya, gambut yang alami tidak bisa terbakar karena terbentuknya gambut haruslah jenuh, terendam air. Di Indonesia, terutama Sumatera, gambut banyak terbakar diakibatkan ulah manusia sendiri yang mengeringkannya. Bila kering, gambut akan menjadi sumber bahan bakar yang sangat potensial, karena gambut bermaterikan runtuhan tumbuhan baik daun maupun ranting. Jika terbakar, wujudnya akan berubah menjadi abu atau arang. “Potensinya sebagai sponse untuk menahan air di ketebalan 1- 3 meter hilang. Begitu juga dengan kehidupan mikroorganisme yang ada di gambut tersebut, ikut lenyap.”

Menurut Tukirin, gambut harus terus dilindungi dengan pemanfaatan yang bijak. Hutan gambut yang terbakar, tidak akan mengalami suksesi sebagaimana yang terjadi pada hutan daratan bila terbakar. Di hutan daratan, biji-biji tanaman yang berada di lapisan tanah, tetap selamat dan akan bersemi kembali. Sementara di gambut, tidak sama sekali, yang tumbuh hanyalah paku-pakuan yang sporanya itu diterbangkan oleh angin.

Jika sudah rusak, gambut harus direstorasi atau direhabilitasi. Bila masih utuh, pemanfaatannya bisa dilakukan untuk penelitian, pendidikan, serta pemanfaatan jenis-jenis keragaman hayati yang tidak mengancam kepunahan. Misal, ikan di sungai yang mengalir ke luar taman nasional, juga tumbuhan obat yang dapat dikembangkan di zona pemanfaatan. “Seberapa jauh pemanfaatan yang bisa dilakukan di Taman Nasional Zamrud tersebut, pastinya ada aturan jelas beserta keterlibatan masyarakat di dalamnya,” paparnya.

Lahan gambut yang diubah untuk perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler

Ragam hayati

Sunarto, Ahli Ekologi dan Satwa Liar WWF-Indonesia yang wara-wiri di Riau selama 12 tahun menuturkan, penetapan Taman Nasional Zamrud harus diapresiasi demi penyelamatan lingkungan di Riau. Ini menunjukkan adanya keinginan banyak pihak yang peduli pada pelestarian alam, meski waktu yang ditempuh 1,5 dekade. “Yang harus dikritisi adalah  prosedur birokrasi yang sangat panjang dan tidak efisien, harusnya unsur penyelamatan kawasan yang dikedepankan” paparnya.

Pembentukan Taman Nasional Zamrud yang kaya akan keragaman hayati, menurut Sunarto, memang penting dilakukan. Namun, bila ditinjau dari sisi luasan, taman nasional ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan hutan alam yang ada di Kampar Peninsula sekitar 500 ribu hektare, yang harusnya juga diselamatkan dengan skema pengelolaan yang lebih baik. “Meski begitu, upaya penyelamatan sekecil apapun harus dilakukan, mengingat laju kerusakan hutan di Riau yang tinggi.”

Harimau sumatera yang tidak hanya diburu tetapi juga wilayah hidupnya menyempit karena hutan berkurang. Foto: WWF
Harimau sumatera yang tidak hanya diburu tetapi juga wilayah hidupnya menyempit karena hutan berkurang. Foto: WWF-Indonesia

Terkait keragam hayati di Taman Nasional Zamrud, Sunarto menjelaskan, wilayah ini penting sebagai habitat alami satwa yang ada di sana. Akan tetapi untuk satwa besar, luasan Zamrud tidak cukup. Sebut saja untuk satu individu harimau betina yang wilayah jelajahnya alaminya mencapai 50 ribu hektare. “Wilayah ini akan menjadi habitat tambahan saja untuk pergerakan harimau sumatera yang ada di Semenanjung Kampar.”

Sebelum diresmikannya Taman Nasional Zamrud, di Riau sudah ada Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Tiga taman nasional ini mewakili tipe habitat berbeda yang diharapkan saling melengkapi bila pengelolaannya dilakukan dengan baik. Zamrud mewakili ekosistem rawa gambut, Tesso Nilo merupakan hutan dataran rendah kering, dan Bukit Tigapuluh representasi hutan dataran rendah yang berbukit. “Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Akan menjadi baik bila taman nasional yang ada terjaga dan terkelola kelestariannya, plus hutan alam yang ada di Riau diselamatkan,” terang Sunarto.

  • Tulisan ini telah direvisi tanpa mengurangi kandungan makna yang ada
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,