Aturan ISPO Bakal jadi Perpres, Bagaimana Soal Penguatan Standar?

Pemerintah sedang membahas penguatan standar sawit berkelanjutan Indonesia, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi lebih peka lingkungan dan sosial. Pemerintah bakal meningkatkan level aturan standar wajib sawit berkelanjutan bagi pebisnis ini dari hanya Peraturan Menteri Pertanian menjadi Peraturan Presiden. Selama ini, ISPO dinilai minim standar hijau hingga belum diakui pasar global.

Sebelum ini, komitmen lingkungan dan sosial enam pemain sawit raksasa yang dianggap terlalu tinggi dan melebihi aturan pemerintah, Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), berujung bubar karena mendapat tekanan berbagai kalangan seperti pemerintah, DPR dan sebagian pebisnis.

”Sertifikasi ISPO harus memiliki kredibilitas hingga mampu diterima pasar. Khusus bagi negara tujuan ekspor. Ini menjadi usul tepat, perlu legalitas cukup agar kredibel dan lebih mudah dijalankan secara nasional,”  kata Darmin Nasution, Menteri Perekonomian, pekan lalu di Jakarta.

Dia mengatakan, penguatan standar ISPO ini merupakan salah satu jalan meyakinkan pasar Internasional. Yakni dengan memenuhi keberlanjutan, ramah lingkungan, dan terbebas dari konflik masyarakat.

Kajian ini, katanya,  sedang dilakukan agar kredibilitas ISPO diakui dan ada rasa memiliki dari para pemangku kepentingan baik pebisnis, pemerintah, masyarakat ataupun organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah, katanya, sedang menyusun standar apa saja agar ISPO diakui. ”Ini penting karena sawit menyangkut jutaan rakyat. Jangan sampai cuma disuruh berkorban, kita juga ingin mereka memenuhi standar.”

Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian, Musdhalifah Machmud menyebutkan, penguatan ISPO mulai evaluasi implementasi selama ini. ”Misal, sertifikasi kenapa masih lambat?  Kita akan lihat mana yang bisa dipercepat dan diproses,” katanya.

Ketua Komisi ISPO, Gamal Nasir mengatakan, akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan dalam membahas ini, baik pemerintah, swasta maupun organisasi masyarakat sipil.

Dalam penguatan, katanya, turut mengadopsi beberapa standar internasional dengan berpegang teguh bertahan aturan dalam negeri.

Bibit sawit rakyat mandiri. Foto: Sapariah Saturi
Bibit sawit rakyat mandiri. Foto: Sapariah Saturi

Namun, Gamal mengatakan, hal yang seolah-olah tak perlu khawatir walau tak sawit tak berstandar hijau bagus.

”Jangan takut, kita nomor satu di dunia. Pasar banyak, di Timur Tengah dan India. Banyak yang perlu, tak cuma Eropa dan Amerika,” kata mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian ini.

 

Pembenahan sistem

Pemerintah juga bercermin kepada Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam penguatan ISPO dengan target selesai 2020.

”Tahun itu, Eropa mensyaratkan minyak yang dikirim ke sana harus berkelanjutan. Itu syarat Uni Eropa,” kata Hendrajat Natawidjaja, Kepala Sekretariat ISPO di Jakarta, Rabu (10/8/16).

Eropa, katanya, menjadi salah satu negara tujuan ekspor kedua setelah India. Perbaikan ISPO ini, menjadi salah satu langkah tata kelola sawit lebih berkelanjutan.

Musdalifah mengatakan, tak hanya evaluasi ISPO juga lembaga dan harus memperkenalkan kepada masyarakat.

ISPO akan menjadi lembaga independen? “Langkah ini masih menjadi pertimbangan, dilihat dari kelebihan dan kekurangan dalam penilaian. Tentu, untuk menopang kinerja ISPO itu sendiri agar terimplementasi lebih menyeluruh.”

Selama ini, sertifikasi ISPO diakreditasi Komisi Akreditasi Nasional (KAN), kemudian mendapatkan pengakuan pemerintah. Meski demikian, laporan lembaga sertifikasi masih independen.

Hingga kini, sudah ada 12 lembaga independen aktif, empat lembaga konsultasi membantu penyiapan dokumen dalam pendaftaran, dan satu lembaga pelatihan ISPO.

Musdalifah menyambut baik perumusan secara multistakeholder dan menggunakan pemantau independen. ”Bila dipandang perlu, bisa saja, dilihat mana yang terbaik.”

Hendradjat mengatakan, akan membuka dialog dengan para stakeholder. ”Mulai dari sistem, mekanisme, kelembagaan dan penerimaan internasional.”

Hingga, standar perkebunan sawit berkelanjutan ini mampu meningkatkan kualitas, penerimaan dan implementasi lebih transparan dan akuntabel.

Penguatan kelembagaan ISPO, katanya, juga mendorong aksesibilitas petani kecil, salah satu melalui organisasi masyarakat seperti koperasi. Secara aspek bisnis, koperasi mampu mempermudah pengawasan audit yang memerlukan waktu lama.

Evaluasi ISPO ini, katanya, akan menjadi pertimbangan akselerasi kebijakan selanjutnya. ”Selama ini hanya di Kementan, sekarang saatnya semua pihak mendorong hingga cakupan lebih luas.”

Hingga kini, pemegang sertifikasi ISPO baru 28%, 184 perusahaan sawit dari 660 perusahaan terdata atau 1,4 juta hektar dari luas11 juta hektar. Target tahun ini, 94% dari 200 perusahaan.

Dalam perhitungan minyak sawit mentah ber-ISPO baru 6 juta ton, masih 30 juta ton belum.

Tahun 2016, sekitar 800 perusahaan sawit mendaftarkan diri untuk sertifikasi, 331 telah audit oleh lembaga sertifikasi. Sebanyak 32 perusahaan tak lolos audit dan 115 perusahaan lain masih proses.

”Sebanyak 184 perusahaan mendapat sertifikat ISPO,” kata Herdrajat.

Perusahaan tak lolos ISPO, katanya, karena beberapa penyebab,  seperti lahan bermasalah, belum memiliki hak guna usaha, dan izin usaha perkebunan habis.

”Legalitas ini tak mudah, butuh waktu lama, birokrasi lama. Ini alasan banyak perusahaan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,