Sektor Pangan Terancam Kala Generasi Muda Enggan jadi Petani

tani1-Pertanian masyarakat di lembah perbukitan Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY. Foto Tommy ApriandoPertanian di Lembah Perbukitan, Dlingo, Bantul. Sektor pangan terancam tak hanya oleh alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain, juga karena minat generasi muda minim jadi petani. Foto Tommy Apriando

Setiap hari, , (27), warga Tegaldowo, Rembang bersemangat ke ladang. Dia sempat kerja sebagai buruh pabrik, namun kembali menjadi petani. Membantu orangtua menanam hingga panen tiba. Bersama adiknya, Suwandi (25), mereka bergantian mengurus ladang.

“Menjadi petani lebih menyenangkan daripada buruh pabrik,” kata Suwater, kepada Mongabay, akhir pekan lalu.

Lahan pertanian mereka kini terancam pembangunan tambang dan pabrik semen. Empat tahun lebih sudah, dia terus berjuang menyelamatkan Pegunungan Kendeng, agar tetap bisa bertani.

“Orang tua menghidupi kami lewat bertani,” katanya.

Mesti lebih banyak lagi anak muda seperti Suwater dan Suwandi. Sebab,  persoalan petani tak sebatas ancaman terhadap ladang tani, tetapi sebagian generasi muda tak lagi tertarik bertani.

Dalam kurun 2003 -2013, menurut data BPS, jumlah rumah tangga tani berkurang 5 juta. Angka cukup besar ini berimplikasi pada keberlanjutan usaha pertanian di Indonesia. Jumlah petani juga berkurang,.

“Berkurangnya petani berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk pangan dalam negeri,” kata Dini Widiastuti,  Direktur Program Keadilan Ekonomi Oxfam di Indonesia, dalam peluncuran Duta Petani Muda 2016 di Jakarta, Kamis (11/8/16)..

Selain kekurangan petani, masalah lain usia dan produktivitas petani. Sensus Pertanian 2013, menunjukkan, struktur usia petani 60,8% lebih 45 tahun dengan 73,97 % berpendidikan SD, dan akses teknologi rendah.

Kondisi ini, katanya, konsisten dengan hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tani (SOUT) tanaman pangan 2011 menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan (96,45%) berumur 30 tahun atau lebih, hanya 3,55% kurang 30 tahun.

“Hal menarik, 47,57% petani tanaman pangan berumur 50 tahun atau lebih,” katanya.

Said Abdullah Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan, hasil kajian mereka 2016, menunjukkan, pertanian Indonesia mengalami tantangan serius.

Tak hanya kualitas agroekosistem menurun, produk impor banjir, atau stagnasi produksi, katanya, jumlah petani pun menurun. Sebanyak 63% anak petani padi dan 54% anak petani hortikultura tak ingin menjadi petani. Pada sisi orang tua, 50% petani padi dan 73% petani hortikultura menyatakan tak ingin anak menjadi petani.

Situasi ini, mendorong penurunan tenaga kerja pertanian berkurang 3,15 juta orang kurun 2010 -2014. Petani tersisa kini, 62% lebih 45 tahun.

“Akses dan paparan informasi tentang pertanian sangat rendah di kalangan anak muda. Pertanian masih dipandang sektor tak menguntungkan,” ucap Said.

Tak hanya itu, terjadi perubahan cukup signifikan dalam pola kehidupan sosial masyarakat pedesaan, terutama di Pulau Jawa.

Keadaan ini, katanya, terlihat dari pekerjaan, gaya hidup, hingga struktur demografi. Pertanian, katanya, tak lagi mata pencarian utama masyarakat pedesaan. Banyak mereka beralih ke bidang jasa, perdagangan, atau industri.

Kepala Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono mengatakan, persoalan regenerasi pertanian dimulai dari pendidikan. Sudah saatnya pembenahan aspek pendidikan hingga mampu membangkitkan semangat generasi muda menjadi petani.

“Ketersediaan lembaga pendidikan khusus pertanian dengan kurikulum sesuai perkembangan pertanian kekinian perlu diperkuat dan diperbanyak,” katanya.

Selain iu, perlu memperkuat pendidikan vokasi pada level pendidikan tinggi.

Hasil penelitian, katanya, mengungkapkan, level pendidikan kaum tani khusus petani padi sangat rendah. Petani memiliki pendidikan tinggi hingga lulus perguruan tinggi hanya 0,8%. Kebanyakan petani padi lulusan SD (39,6%), 34,4% SMP dan 15,6% lulusan SMA.

Duta Petani Muda

Sementara itu, Tina Napitupulu, Country Network Coordinator AgriProFocus Indonesia menjelaskan, rendahnya minat anak muda terhadap sektor pertanian karena petani hingga kini dipandang tak menjanjikan.

Petani mengalami kerugian, dan bergelut dengan kemiskinan. Padahal sesungguhnya banyak anak-anak muda di pertanian maju.

“Permintaan pangan dunia makin meningkat, menjadi petani justru peluang bisnis bagus,” ucap Tina.

Dalam merespon permasalahan petani ini, beberapa organisasi dalam Jaringan AgriProFocus Indonesia membentuk Komunitas Inovasi Anak Muda di Pertanian. Mereka melahirkan inisiatif “Duta Petani Muda” pada 2014.

Tahun ini, putaran Duta Petani Muda kedua segera mulai. Pemilihan duta untuk memotivasi generasi muda ke pertanian, berbagi wawasan dan kesempatan di sektor pertanian. Juga memancing semangat generasi muda yang haus aktualisasi diri dan gemar berkompetisi.

Ajang pemilihan duta petani muda ini, katanya, diharapkan menjadi terobosan mengangkat cerita-cerita positif anak muda nusantara dari mereka yang berhasil di pertanian.

Untuk mengikuti Duta Petani Muda sangatlah mudah. Petani berusia maksimal 35 tahun hanya mengisi formulir pendaftaran, mengirimkan satu surat rekomendasi, dan foto selfie di depan usaha mereka.  “Keterangan lebih lanjut bisa dilihat di www.dutapetanimuda.org.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,