Berjibaku dengan Kotoran Demi DNA Gajah

Bagi Sunarto dan tim, menemukan gajah sumatera di hutan bukan pekara mudah. Sekali pun, gajah-gajah tersebut berbadan besar dan ada yang dilengkapi kalung pendeteksi lokasi (Global Positioning System/GPS). Sejak 2012, Sunarto dan tim dari World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia bergerak menjelajahi hutan Tesso Nilo, Riau. Mereka mencari kelompok-kelompok gajah, meski terkadang kotoran raksasa di sela semak yang didapat.

“Gajah ini berkelompok dan pintar menyamarkan diri. Meski begitu, relatif lebih mudah mendapatinya ketimbang badak atau harimau,” ujar Sunarto, Ekolog Satwa Liar WWF-Indonesia kepada Mongabay Indonesia, Ahad (14/8/2016).

Tim tak “rela” tumpukan kotoran gajah yang ditemukan itu mengonggok begitu saja. Tak ketemu gajah, kotoran pun tetap berguna. Memang tak sembarangan, harus yang segar. Tidak lebih 24 jam. Sampel inilah yang nantinya dikirim ke laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk diteliti. Tujuannya, mendapatkan data deoxyribonucleic acid (DNA) individu gajah bersangkutan.

Studi DNA memang bermanfaat untuk beragam tujuan, seperti menghitung populasi dan kekerabatan individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Tingginya perkawinan sedarah menyebabkan satwa ini rentan terhadap penyakit, dikarenakan variasi genetiknya yang rendah. Juga, dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi konflik gajah dan manusia, serta forensik dalam hal penegakan hukum kejahatan satwa liar.

Tim memang harus berpayah-payah masuk hutan, mengejar Elephas maximus sumatranus dan kotorannya demi melakukan ‘sensus’. Mengingat, pemetaan dan data DNA gajah sumatera yang masih minim. Tim juga harus ambil risiko dari sulitnya air bersih dan tempat berlindung akibat kondisi hutan yang habis dibabat.

Kegiatan ini, diharapkan jadi model pemetaan di tempat lain. Pemetaan atau pendataan DNA, kata Sunarto yang merupakan doktor lulusan Virginia Tech (USA), bertujuan untuk menghitung populasi, sebaran, dan aspek ekologi lain. “Keberhasilan ekstraksi dan amplifikasi DNA di Tesso Nilo mencapai 100 persen.”

Meski begitu, usaha pendataan tersebut menghadapi masalah serius, yakni ancaman perburuan dan hilangannya habitat gajah, khususnya di Riau dan Aceh. “Kalau tak cepat diantisipasi, Aceh dalam 10-20 tahun ke depan bisa lebih parah dari Riau sekarang,” ujarnya.

Penelitian kotoran gajah ini menunjukkan hasil, sebanyak 113 individu gajah teridentifikasi. Diperkirakan, jumlah minimal populasi gajah sumatera di Tesso Nilo saat sampel diambil sekitar 154 individu. “Selain  mengetahui jumlah populasi, studi ini juga menunjukkan pergerakan beberapa individu gajah di beberapa lokasi yang belum diketahui sebelumnya” terang Sunarto.

Studi DNA ini juga diperkuat dengan hasil pantauan pergerakan gajah melalui kalung GPS. Terlihat jelas, adanya kelompok gajah di Tesso Nilo yang berkeliaran di luar taman nasional, yaitu di hutan industri. Dugaan awal menunjukkan, tingginya aktivitas manusia terutama perambahan yang berlangsung di taman nasional itu, memaksa gajah untuk menyingkir.

Yongki, gajah sumatera 34 tahun seberat 3,3 ton ini dibunuh pada September 2015. Gadingnya hilang. Foto: WWF-Indonesia
Yongki, gajah sumatera 34 tahun seberat 3,3 ton ini dibunuh pada September 2015. Gadingnya hilang. Foto: WWF-Indonesia

Kondisi

Prof. Dr Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekular Eijkman menuturkan, data  genetika sangatlah akurat untuk mengenali setiap individu gajah. Sehingga, dapat membantu penanganan kasus kejahatan satwa, seperti pembunuhan gajah Yongki di Lampung, September 2015.

“DNA Yongki tersimpan di lembaga ini. Bila ada temuan, bisa dicocokkan apakah gading itu milik Yongki atau bukan. Sehingga, bisa dilacak siapa pelakunya.”

Menurut Hera, teknik genetika molekular untuk konservasi satwa di Indonesia, baru dilakukan untuk gajah sumatera di Tesso Nilo, Bukit Tigapuluh, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan. Kombinasi teknik tersebut, dengan pengambilan sampel non-invasif (tidak menyakiti satwa) akan menguntungkan studi populasi satwa yang terancam punah. “Ukuran  populasi, profil  genetik  individu,  keragaman genetik, rasio  seks, serta distribusi dapat diketahui,” paparnya.

Terkait keberadaan gajah sumatera, Dedi Chandra, dari Pusat Konservasi Gajah Way Kambas menjelaskan, saat ini sebagian besar gajah tersebut berada di luar kawasan lindung seperti lahan perkebunan dan pemukiman. Kondisi yang sangat riskan akan terjadinya konflik. “Kontribusi lembaga ex-situ untuk mendukung konservasi gajah memang terus dilakukan. Namun begitu, kami tidak bisa terus menampung gajah liar dari alam, selain kewalahan biaya perawatan juga besar,” paparnya.

Nasib gajah sumatera yang habitatnya rusak dan populasinya terus menurun akibat keserakahan manusia. Studi DNA dari kotoran gajah terus dilakukan. Foto: WWF Elephant Survey Team

Ditemui terpisah, Chairul Saleh yang merupakan Species Coordinator WWF-Indonesia menuturkan, hampir 80 persen gajah sumatera hidup di luar kawasan dilindungi. Fakta lainnya adalah, dalam satu generasi atau 25 tahun, habitat gajah telah hilang seluas 70 persen dan sebanyak 50 persen populasinya lenyap. “Berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2011, statusnya Kritis (Critically Endangered/CR). Status ini naik satu peringkat yang sebelumnya dikategorikan Genting (Endangered/EN).”

Menurut Chairul, keterancaman hidup gajah sumatera merupakan indikasi terancamnya ekosistem Pulau Sumatera. Diperkirakan, jumlah gajah sumatera saat ini sebanyak 1.700 individu. Padahal, tahun 2007, berdasarkan data WWF-Indonesia diestimasikan antara 2.400-2.800 individu. “Habitat yang hilang memaksa gajah masuk permukiman warga yang tak jarang berakhir dengan konflik. Makin lengkap dengan gencarnya pembunuhan.”

Penilaian yang salah terhadap gajah sumatera sudah sepatutnya dihilangkan. Misal, gajah merupakan sumber konflik dengan manusia. Gajah ‘menghambat’ proses pembangunan sehingga hanya dinilai dari status perlindungan saja. Serta, terbatasnya pengetahuan masyarakat akan fungsi ekologi gajah di habitat alaminya. “Perlindungan gajah memang harus dilakukan, termasuk yang di luar kawasan lindung. Berikutnya, kita rancang tata ruang wilayah untuk habitat satwa,” paparnya, Selasa (16/8/2016).

Gajah sumatera merupakan ‘spesies payung’ yang mewakili keanekaragaman hayati di ekosistem habitatnya. Dalam sehari, ia mengonsumsi 150 kilogram makanan dan 180 liter air dengan areal jelajah 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman yang ada di kotorannya akan tersebar di wilayah jelajahnya yang begitu membantu proses regenerasi hutan. Mamalia besar ini dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Gajah Sumatera yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Foto: WWF Riau
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,