Demi Hijaukan Pesisir, 114 Petambak di Desa Balandatu Rela Tambaknya Ditanami Mangrove

Daeng Bonto (53) menyeringai sambil menyeka keringat di wajahnya dengan lengannya yang legam. Terik matahari di siang itu benar-benar menyengat. Kedua belah tangannya menggenggam erat beberapa batang propagul, bibit manrove yang berbentuk batangan.

Tak lama kemudian seluruh propagul itu dilempar ke dalam tambak, sebagian mengambang dan sebagian lagi terbawa arus kecil ke tambak sebelah, melalui sebuah saluran kecil yang memang sengaja dibiarkan tanpa penghalang.

Daeng Bonto adalah nelayan budidaya di Desa Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Ia juga dikenal sebagai Kepala Dusun Cambaloe, salah satu dusun di desa yang masih termasuk wilayah Kepulauan Tanakeke itu.

Siang itu, akhir Juli 2016 lalu, Ia bersama seratusan warga Desa Balandatu lainnya berbondong-bondong menuju tambak untuk menebar dan menanam mangrove.

Lokasi penanaman mangrove mereka adalah bekas tambak yang rusak dan tidak produktif lagi. Luas totalnya sekitar 138 hektar yang membentang mengelilingi pulau, yang dimiliki oleh 114 warga setempat.

“Punya saya 1 petak seluas 1 hektar, pematangnya sudah lama rusak. Daripada terbengkalai begitu saja lebih baik ditanami mangrove karena nantinya bisa melindungi tambak lain bagian dalam yang masih bagus,” jelas Daeng Bonto.

Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Yayasan Hutan Biru (Blue Forests) Indonesia, kawasan tersebut dulunya memang merupakan kawasan mangrove. Ketika muncul program program intra intensif tambak rakyat di era 1980-an, sebagian besar kawasan tersebut didorong untuk budidaya ikan dan udang. Sayangnya,produktivitas tambak hanya sampai 3-5 tahun saja sebelum akhirnya ditelantarkan.

“Ketika muncul tren budidaya rumput laut di tahun 1990-an masyarakat beranggapan bahwa rumput laut lebih menjanjikan sehingga tambak pun lambat laun ditinggalkan,” tambah Yusran.

Restorasi tambak menjadi mangrove ini merupakan bagian dari program Coastal Ecosystem Resilience dari Blue Forests dan Good Planet Foundation, yang bertujuan unktuk meningkatkan daya tahan ekosistem pesisir.

Melalui program ini mereka mempelajari bagaimana mengadaptasi dampak perubahan lingkungan, yaitu merestorasi bekas tambak menjadi hutan mangrove kembali dan memperbaiki cara-cara pengolahan yang selama ini dianggap kurang baik.

“Kalau yang dulu mereka selalu menebang bakau sampai habis untuk kayu bakar, maka kita ajarkan bagaimana cara menggunakannya dengan baik melalui sistem tebang tebang pilih. Setiap kali mereka mau menebang 4 meter di sekelilingnya harus ada pohon induk di situ yang tumbuh untuk menjadi supplier bibit yang tumbuh lagi,” tambah Yusran.

Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra.
Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra.

Program ini sendiri berlangsung selama tiga tahun, 2014-2017, dengan empat agenda kegiatan, yang salah satunya berupa restorasi tambak tersebut.

“Selain restorasi kembali tambak yang terlantar kita juga melakukan survei dan monitoring lamun, pendidikan lingkungan hidup serta fasilitasi untuk penyusunan rencana pengolahan mangrove dan lamun.”

Dipilihnya Desa Balandatu sebagai sasaran program adalah atas permintaan kepala desa dan tokoh masyarakat sendiri yang terkesan dengan program yang pernah dilakukan Blue Forests sebelumnya desa-desa lain di Kepulauan Tanakeke.

“Kabar tentang penghijauan sekitar 392,85 hektar di Tanakeke yang telah kami lakukan ternyata menjadi perbincangan mereka, sehingga mereka kemudian datang sendiri meminta agar pesisir mereka juga ditanami mangrove.”

Meski begitu, program ini ternyata tidak serta merta diterima masyarakat setempat, karena mereka diminta kerelaannya melepaskan sebagian tambaknya yang tidak produktif lagi untuk ditanami mangrove.

“Awalnya sulit mengajak mereka berpartisipasi karena mereka menganggap tambak sebagai aset. Meskipun terlantar tambak itu tetap menjadi tanah mereka. Belum lagi kekhawatiran kalau-kalau kami malah akan mengambil tanah mereka. Jadi kami sampaikan tidak akan mengambil lahan mereka dan kami tidak membatasi pengelolaannya ke depan. Dan di situlah peran tokoh-tokoh masyarakat untuk meyakinkan warganya.”

Salahuddin, Kepala Desa Balandatu, menjelaskan permintaannya ke Blue Forests karena prihatin melihat kondisi yang ada. Tidak hanya rentan terhadap bencana tetapi semakin berkurangnya biota laut yang ada di sekitar pulau.

“Saya ingat tahun 80 an itu sangat banyak mangrove, tetapi kemudian dibabat untuk dijadikan tambak. Awalnya memang menghasilkan tetapi kemudian merosot karena munculnya penyakit-penyakit pada udang. Tambak pun mulai ditinggalkan begitu saja. Jadi saya berpikir tak ada salahnya jika tambak-tambak itu ditanami kembali dengan mangrove.”

Daeng Bonto termasuk tokoh masyarakat yang paling aktif mengajak warganya untuk berpartisipasi. Di awal ia sudah bersedia terlibat karena merasakan adanya manfaat mangrove untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah lagi pada tambak-tambak lain yang berada di bagian dalam.

“Saya langsung bersedia waktu ditawari tambak saya ditanami mangrove,karena saya lihat ini kondisi tambak kalau tidak ditanami bukan hanya bisa rusak, tapi juga semua yang ada di sekitarnya bisa rusak juga. Bagusnya kalau ada Mangrove, itu ikan-ikan bisa selalu ada, tempat kepiting dan ikan yang selalu bertelur.”

Mangrove yang ditanam sejak dua tahun lalu Dusun Cambaloe, Desa Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan kini sudah mulai tumbuh di beberapa tambak yang telah direstorasi. Ditargetkan seluruh proses restorasi ini akan rampung di tahun 2017. Foto: Wahyu Chandra
Mangrove yang ditanam sejak dua tahun lalu Dusun Cambaloe, Desa Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan kini sudah mulai tumbuh di beberapa tambak yang telah direstorasi. Ditargetkan seluruh proses restorasi ini akan rampung di tahun 2017. Foto: Wahyu Chandra

Restorasi tambak dilakukan menggunakan metode EMR (Ecolgycal Mangrove Restoration), yaitu dengan memperbaiki kawasan ke kondisi semula sebelum adanya tambak. Tahapan EMR antara lain dengan penilaian ekologi dan hidrologi, dengan mengidentifikasi jenis mangrove yang pernah tumbuh.

“Dari situ kita menilai jenis apasaja yang tumbuh sekarang dan bagaimana pendistribusian bibitnya. Penilaian ekologi kita lakukan bersama-sama dengan masyarakat.”

“Di Balandatu ini, dari hasil penilaian hidrologi ini kemudian diketahui faktor penghambat pertumbuhan mangrove adalah pematang yang menghalangi aliran hidrologi masuk ke kawasan mangrove, sehingga kemudian menghambat pertumbuhan mangrove.”

Tahap selanjutnya dengan menggenangi tambak, kemudian penilaian gangguan pertumbuhan mangrove, dan terakhir pemilihan situs yang akan direstorasi.

“Nah pada tahap ini kita petakan kepemilikan lahan dulu. Jadi semua tambak yang di sana kita datangi pemiliknya, apakah masih mau dikelola atau tidak.Terlantar tapi masih mau dikelola atau tidak. Barulah kita buat kesepakatan.Hasilnya,terdapat 114 pemilik lahan yang bersedia bekas tambaknya direstorasi. Kita kemudian buat nota kesepahaman bagaimana pengelolaan jangka panjang kawasan mangrove tersebut.”

Point kesepakatan tersebut antara lain:pertama,pihak Blue Forests tidak akan mengambil lahan. Kedua, jika mangrovenya tumbuh maka tidak akan ditebang habis dan hanya tebang pilih. Ketiga, masyarakat rentan bisa mengambil sumber daya yang ada di daerah mangrove. Keempat,mendorong program ini menjadi peraturan desa.

Tahapan selanjutnya adalah pembuatan desain rencana dan pelaksanaan, serta monitoring.

Untuk penanaman bibit ini sendiri dilakukan melalui 3 metode, yaitu penebaran bibit dan penanaman di beberapa titik, sebagai pembanding untuk mengetahui metode mana yang tumbuh alami nama dan rekayasa.

Metode ketiga melalui pembuatan monding, dengan meninggikan substrak tambak, dan disebarkan bibit di dalamnya.

Desa Balandatu sendiri memiliki luas sekitar 13 km2, terdiri dari 5 dusun dengan penduduk sebanyak 2026 jiwa. Selain tambak, potensi lain adalah hasil laut dan pertanian padi organik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,