Fokus Liputan: Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Bagian 4)

“Semua kena abrasi. Terbukti sudah alasan saya tolak tambang, bencana datang, kerusakan makin parah.” Begitu ucapan Tosan, kala menelpon saya awal Juni 2016.

Dia memberitahukan Pantai Watu Godek dan Pesisir Pantai Watu Pecak, habis diterjang abrasi dan rob.

“Semoga bencana kecil kemarin membuat penambang sadar dan berhenti,” katanya.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang memetakan 16 desa di pesisir selatan rawan bencana tsunami.

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Lumajang Hendro Wahyono mengatakan 16 desa itu di lima kecamatan dengan garis pantai 75 kilometer.

BPBD telah memasang peringatan dini (early warning system/EWS) untuk mengingatkan masyarakat apabila terjadi gempa berpotensi tsunami.

EWS dipasang di Desa Bades (Pasirian) dan Desa Tempursari (Tempursari).  Alat masih sederhana. Alarm tak otomatis berbunyi, manual dengan memencet tombol terlebih dulu. Pusat Pengendali Operasi di Kantor BPBD Lumajang menerima informasi gempa dari BMKG akan meneruskan informasi ke kecamatan untuk diteruskan ke pos pantau di desa.

Dari pengalaman, gempa berkekuatan 7 skala richter mengakibatkan kerusakan sangat parah di zona radius 250 kilometer dari pusat gempa. Maka, daerah rawan terdampak sekuranjg-kurangnya 10 kilometer dari garis pantai.

Kelima wilayah Kecamatan itu masuk zona bahaya.  Pada kelima wilayah kecamatan zona bahaya bencana tsunami ini, BPBD Lumajang mendata penduduk rawan terdampak 339.537 jiwa.

“Penduduk sebanyak ini yang harus dimobilisasi untuk mengungsi jika terjadi tsunami,” katanya.

Intensitas gempa sering terjadi di perairan selatan Jawa, seperti di selatan Malang dan Jember, karena pergeseran lempeng Indo-Australia di kedalaman tertentu.

Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Karangkates Malang, mencatat delapan kabupaten di selatan Jatim, rawan tsunami karena masuk zona I (tinggi) rawan gempa bumi.

Delapan kabupaten itu yakni Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.

Kepala Stasiun Geofisika Karangkates BMKG Karangkates Musripan mengatakan,  daerah rawan zona II (sedang) gempa bumi di Ngawi, Madiun, sebagian Ponorogo, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Gresik, dan Sidoarjo. Lalu, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso.

Kemudian zona III (rendah) di bagian utara Jatim, yakni Tuban, Bojonegoro, Lamongan, dan Pulau Madura.

Dia mengatakan, selatan Pulau Jawa berpotensi gempa karena pertemuan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Jadi semua BPBD di selatan Jawa harus mewaspadai ini.

Gempa bumi berpotensi tsunami biasa kekuatan lebih 7,0 skala richter (SR) dan kedalaman sumber gempa dangkal kurang 60 kilometer, serta terjadi deformasi vertikal dasar laut.

Pantai berbentuk teluk dan memiliki garis pantai landai, katanya, daerah rawan gempa disertai gelombang tsunami seperti di Banyuwangi pada 3 Juni 1994.

Alat berat tampak bekerja, mengeruk pasir besi di pesisir. Foto: Tommy Apriando
Alat berat tampak bekerja, mengeruk pasir besi di pesisir. Foto: Tommy Apriando

Selama 2015, tercatat enam hingga tujuh kali gempa bumi cukup terasa di Jatim, mengakibatkan retakan hingga merusak bangunan seperti di Jember September 2015. Kala itu, bangunan retak di Kecamatan Puger, namun tak ada korban jiwa.

Dr. Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN Veteran Yogyakarta mengatakan, penambangan di Pesisir Lumajang, merusak vegitasi dan mengurangi morfologi kawasan pesisir. Di pesisir Lumajang, merupakan salah satu blok yang belum bergerak. Di Selatan Jawa, blok tak utuh dan Selatan Wotgalih belum dilepas.

Saat ini, selatan Wotgalih dan sepanjang Pesisir Lumajang merupakan zona berbahaya, hingga harus berhati-hati.

“Abrasi yang terjadi awal Juni lalu hanya sedikit gambaran, ketika rob mengakibatkan rusak jalan di Pantai Watu Godek dan Pesisir Pantai Watu Pecak hingga merendam lahan pertanian.”

Di Desa Wotgalih, ada gumuk pasir setinggi 11 meter. Jika hilang, berbahaya, terlebih posisi penduduk di satu kilometer dari pantai. Ketika tsunami, bisa mencapai tiga kilometer.

Kala pasir atau pasir besi diambil, hilang 20 -30% pertahanan. Ia akan mengurangi ketinggian dan merusak buper morfologi.

“Bagaimanapun pertambangan mengurangi morfologi, vegetasi dan memberikan peluang lebih besar risiko bencana warga di pesisir,” kata Eko seraya mengatakan, tambang pasir harus dihentikan.

Dia menyarankan, pengembalian fungsi semula.

“Sudah wajib setiap pertambangan memperhatikan dan mamasukkan nilai risiko bencana.”

Abdullah Al Kudus, Laskar Hijau mengatakan, hampir semua pesisir pantai selatan dari Pacitan hingga Banyuwangi ada tambang galian C dan pasir besi.

Gus A’ak mengusulkan, jika pemerintah Lumajang berniat memperbaiki tata kelola, semua pertambangan tak berizin harus disetop dan beri sanksi tegas.

“Harus berani mendesak perusahaan memulihkan kondisi lingkungan di Pesisir Lumajang,” katanya, seraya mengatakan, solusi terbaik tetap setop pertambangan.

Dia menyarankan, Pesisir Lumajang jadi wisata dan pendidikan.

“Kami siap menghijaukan kembali Pesisir Lumajang, agar tak ada korban ketika bencana dating.”

Pasir besi pesisir Lumajang, yang menjadi incaran. Foto: Tommy Apriando
Pasir besi pesisir Lumajang, yang menjadi incaran. Foto: Tommy Apriando

  

***

“PT Mutiara Halim.” Begitu plang berukuran sekitar dua kali satu meter terpasang di atas gardu pinggir jalan menuju Kecamatan Yosowilangun dan Kecamatan Klakah.

Puluhan petugas bergantian memberhentikan truk pembawa galian dari pesisir yang akan keluar Lumajang.

Beberapa sopir truk terlihat memberikan uang kepada petugas di gardu. Uang ini pajak galian mandate Pemkab Lumajang melalui kerja sama operation (KSO), melalui CV. Mutiara–belakangan berubah menjadi PT. Mutiara Halim.

“Pajak galian di Lumajang dimandatkan ke Mutiara Halim, oleh BPKP Jatim temukan indikasi kerugaian negara Rp63 miliar. Bupati Lumajang tak juga hentikan KSO itu,” kata Gufron, Tim Advokasi Salim Kancil.

Dalam dokumen putusan pengadilan, Setiadi Laksono Halim (57), selaku direktur Mutiara Halim, bersama Achmad Fauzi (Bupati Kabupaten Lumajang 2003-2008) dan Endro Prapto Ariyadi, Sekda Lumajang periode 1999-2009, terbukti merugikan negara.

Ceritanya, kata Gufron, pada 2004, Setiadi mengajukan permohonan kepada Bupati Achmad Fauzi untuk kerjasama penggalian/penambangan pasir di Lumajang Rp450 juta pertahun. Juga melaksanakan tagihan pajak bahan galian golongan C pasir Rp750 juta.

Sekda Lumajang kala itu, Endro menyampaikan permohonan kepada Achmad Fauzi. Bupati memerintahkan Endro melalui disposisi 27 Juli 2004.

“Ajuan ini pertimngkan selama pemkab tak rugi, syukur kalau ada peningkatan, pengesahan, proses sesuai prosedur,” kata Fauzi, saat itu.

Berdasarkan disposisi, Endro meneruskan surat kepada Setiadi dan kepada Asisten Tata Praja Masudi dengan permintaan permohonan diproses. Pada 29 Juli 2005, diadakan rapat dengan para satuan kerja terkait Dispenda, bagian ekonomi, hukum. Hasil rapat jadi bahan telaah oleh staf hukum dan ditandatangani Endro. Dengan persetujuan Fauzi, dibuat dua perjanjian KSO antara Pemerintah Lumajang dengan mutiara Halim.

Ratusan truk hilir mudik mengangkut pasir besi. Foto: Tommy Apriando
Ratusan truk hilir mudik mengangkut pasir besi. Foto: Tommy Apriando

Lahirlah KSO No.8 tahun 2004 tentang pemungutan pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C di Lumajang. Ia berisi antara lain mengatur, CV. Mutiara menyerahkan kepada pihak pertama hasil pengutan pajak pengambilan dan pengolakan bahan galian golongan C pasir, tahun pertama Rp750 juta000, jangka waktu lima tahun, dapat diperpanjang.

Lalu dibuat perjanjian KSO soal eksploitasi bahan galian C pada lahan perusahaan daerah pertambangan Semeru Lumajang. Ia berisi antara lain mengatur Mutiara menyerahkan kepada Pemkab lumajang pembayaran bahan galian C pasir tahun pertama Rp450 juta, jangka waktu lima tahun, dapat diperpanjang. Mereka menandatangani perjanjian 12 Oktober 2004.

“Setiap tahun Mutiara wajib setor Rp1,2 miliar kepada Pemda Lumajang,” kata Gufron.

Pada 11 November 2004,  Halim bersama Endro menandatangani perjanjian tambahan pemkab menugaskan Mutiara memungut hasil jualan galian C pasir di seluruh Lumajang. Anehnya, jumlah setoran tak ada perubahan.

Setelah penandatanganan KSO,  ditindaklanjuti bupati dengan menerbitkan surat penugasan kepada CV Mutiara menimbang hasil bahan galian C di Lumajang. Ada juga keputusan penugasan kepada Mutiara sebagai wajib pungut pajak pengambilan dan pengolahan galian C di Lumajang. Terakhir, surat pemberian hak penjualan hasil eksploitasi galian C pada lahan perusahaan daerah Semeru.

Bupati meminta persetujuan DPRD. DPRD setuju dan keluarkan surat. Berdasarkan putusan DPRD Lumajang, Desember 2004, Fauzi menerbitkan  surat pentapan harga pasar bahan galian C untuk pasir di Lumajang. Harga pasir Rp5.000 per ton dan harga pengambilan pasir Rp5.000 per ton.

Mutiara pun mulai bekerja. Perusahaan ini memungut pajak 20% dari harga pasir Rp1.000 per ton dan hasil eksploitasi 100% dari harga penetapan per ton.

Tindakan Halim, Fauzi dan Endro, melawan UU Pemerintahan Daerah karena persetujuan DPRD diperoleh setelah perjanjian KSO. UU Pajak dan Retribusi Daerah juga menyebutkan, pemungutan pajak tak boleh borongan. Seharusnya pemungutan pajak oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah Lumajang.

“Laporan hasil  Investigasi BPKP perwakilan  Jatim 16 Juli 2009, jika KSO dilanjutkan sampai 2024, kerugian negara sampai Rp63 miliar,” ucap Gufron.

Berdasarkan keterangan Dwiarti Hariningsih dan Rosjidi dari BPKP Jatim, penarikan pajak borongan bertentang dengan UU. Dari perjanjian itu, merugikan keuangan negara atau daerah pada 2004-2008 sebesar Rp5 miliaran.

Ronal Teruna Wijaya, pengusaha jasa angkutan memiliki sekitar 40 truk (,14 truk gandeng, 26 tronton), mengeluhkan pungutan Mutiara.  Sejak 2004, ada pungutan untuk timbangan pasir  dan pajak terlalu tinggi dan tak jelas untuk apa.

Endro mengakui setelah KSO, Mutiara Halim, tak pernah melaporkan hasil pungutan pajak dan eksploitasi kepada Pemkab Lumajang.

“Tak  ada laporan keterbukaan pungutan pajak dan hasil eksploitasi Mutiara Halim. Diduga kuat ada kerugian negara dari KSO itu,” kata Endro.

Informasi dari salah seorang pebisnis tambang dulu portal Mutiara Halim untuk kepentingan masyarakat. Setiap truk hanya ditarik Rp2.000-Rp3.00. Ketika tahu pasir besi mahal, portal buka sekali jalan Rp125.000 untuk galian C, dengan jarak 1,5 kilometer.

Print

Berdasarkan data Dinas Perhubungan Lumajang, ada sekitar 5.000 truk bermuatan pasir dari tambang di Lumajang menuju sekitaran Jatim. Data truk ini, sebelum ada moratorium pertambangan di Lumajang. Rinciannya, sebanyak 3.000 truk kecil sekelas engkel, 2.000 tronton.

Kepala UPT LLA Jember Dishub Jawa Jatim mengatakan, tak berwenang memesiksa apakah pasir dari pertambangan legal atau ilegal.

“Hanya pengawasan barang, apakah melebihi tonase atau tidak. Jika melanggar tentu ditindak.”

Sebelum adanya penutupan tambang di Lumajang ada beberapa pelanggaran tonase muatan pasir. Dia mencontohkan, truk diesel lima sampai tujuh ton, ternyata muatan 10 ton. Truk kapasitas hanya tiga sampai empat kubik, dalam praktik sampai tujuh kubik. Sedangkan truk tronton dari berat maksimal 21 ton, bisa angkut 35-40 ton.

Gawa Sudarmanto, Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Lumajang mengatakan, Pemda Lumajang  tak punya alat penimbangan bahan galian. Penimbangan oleh Mutiara Halim. Selama ini, berapa besar muatan truk hanya ditaksirkan, per tonnya Rp5.000. Adapun pengangkutan galian diatur dengan kartu kendali.

Berdasarkan data, saat ini ada 18 izin pertambangan dari pemda. “Artinya penarikan pajak dimaksimalkan dari pertambangan masih berjalan,” katanya.

Megenai pajak galian, jika truk pengangkut mau keluar harus pakai kartu kendali. Dari kartu, pemda akan melihat taksasi, dan mengsinkronkanya dengan setoran. Bank Jatim akan melapokan setoran dari perusahaan.

Kabar soal pajak pasir dari anggota Pansus Pertambangan DPRD Jatim Thoriqul Haq, sungguh miris. Pajak galian C dan pasir besi di Lumajan,g tahun 2014, Rp75 juta. Pada 2015 per Oktober, penghasilan pajak galian C hanya Rp49 juta.

Pendapatan anjlok dari tahun-tahun sebelumnya. Data DPRD Lumajang, pendapatan pajak mineral bukan logam dan bebatuan pada 2010, dari pasir Rp5 miliar lebih, 2011 (Rp3 miliaran), 2012 (Rp2,5 miliaran) 2013 (Rp2,2 miliaran).

Walhi dan Jatam menghitung, pertambangan pasir besi liar di Lumajang, berpotensi merugikan keuangan daerah hingga Rp11,5 triliun dalam lima tahun.

Berdasarkan audit investigasi BPKP Jatim, sejak 2004-2005,  ada perjanjian operasional atau joint operasional antara pemerintah Lumajang dengan Mutiara Halim terkait retribusi tambang pasir yang merugikan keuangan negara Rp5 milliar.

Menurut Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam, perputaran uang hingga miliaran rupiah perbulan dan kerugian negara triliunan rupiah, mengindikasikan ada praktik mafia pertambangan. Praktik ini, katanya, kemungkinan dilindungi orang berkuasa kuat, baik dari birokrasi pemerintahan maupun aparat keamanan.

Penyelesaian kasus mafia pertambangan ini,  seharusnya tak mengabaikan korupsi pertambangan pasir besi di Lumajang.

Selama ini, katanya, penyidikan berhenti pada Kades Haryono cs, ketiga oknum kepolisian hanya setingkat Polsek atau penerima langsung.

Af Maftuhan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Koordinator Forum Pajak Berkeadilan mengatakan, penarikan pajak oleh pihak ketiga sangat berpotensi merugikan negara. Dalam kasus Lumajang, penarikan tanpa tranparansi dan akuntabilitas jelas diduga kuat ada kebocoran.

Dengan begitu, katanya, penting, KPK dan PPATK turun tangan melihat potensi kerugian Negara. Terlebih, selama ini tak ada pengawasan langsung dari lembaga negara.

Abrasi pantai di Lumajang. Foto: Tommy Apriando
Abrasi pantai di Lumajang. Foto: Tommy Apriando

***

Sirine terdengar makin keras ketika tiga mobil tahanan membawa para pembunuh Salim Kancil dan penganiaya Tosan berjalan mendekati Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Kamis, (23/6/16). Seharusnya, putusan Kamis (16/6/16) tetapi tertunda karena sang Kades, Haryono, beralasan sakit.

Puluhan polisi bersenjata laras panjang mengawal mereka. Para pelaku tangan terborgol, berkemeja lengan panjang putih. Celana panjang hitam,  beberapa berkopiah hitam. Sanak keluarga mereka menunggu di dekat ruang penjara PN Surabaya.

“Pak hakim, tolong perhatikan nasib kami, para istri-istri tersangka.” Begitu tulisan pada spanduk berukuran 2×1 meter dibentangkan istri pelaku.

Pukul 5.00, Tosan bersama istri, dan serta Tijah, istri almarhum Salim berangkat dari Desa Selok Awar-awar. Mereka ingin mendengarkan hukuman majelis hakim kepada pelaku.

“Saya ingin mereka dihukum mati. Paling tidak dihukum seumur hidup” kata Tijah.

Jihad Arkhanuddin, ketua Majelis Hakim mulai membacakan putusan sidang. Di kursi terdakwa,  Haryono dan Matdasir, mendengarkan pembacaan putusan. Mereka bersalah dengan vonis 20 tahun penjara.

“Terdakwa satu Haryono dan terdakwa dua Matdasir, terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja merampas nyawa orang lain dan dengan rencana terlebih dahulu,” kata Jihad dalam amar putusan.

Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lumajang dengan hukuman seumur hidup.

Tijah dan Tosan, kecewa.

Tosan mengatakan, dianiaya hingga perut robek dan harus operasi, Salim tewas serta lingkungan Pesisir Lumajang, rusak, para pelaku hanya vonis 20 tahun.

“Ini tak adil bagi kami sebagai korban. Jaksa harus banding, dan polisi harus temukan puluhan pelaku lain,” ucap Tosan.

Jaksa banding. Tosan berharap, kala banding, putusan hokum bias lebih berat. Terpenting lagi, katanya, tambang pasir besi di pesisir pantai Lumajang, berhenti.

“Perjuangan saya tulus menyelamatkan alam untuk generasi akan datang,” katanya.

Kekecewaan juga dirasakan Tijah,  istri Salim. Hukuman 20 tahun penjara bagi otak pembunuh suami sangat tak adil.

Hakim, katanya, tak mempertimbangkan derita keluarga.

“Ini tidak adil.”

Rere Christanto,  Direktur Eksekutif Walhi Jatim menilai penundaan sidang berulang, hingga delapan bulan disinyalir ada kongkalikong. Dia melihat ada kejanggalan.

“Kami melihat kasus ini hanya kriminal biasa, mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tak terbaca. Masih banyak pihak lain belum jadi tersangka.”

Naimullah, JPU Kejari Lumajang sudah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jatim di Surabaya. Hingga kini belum ada putusan.

Haryono cs, para pembunuh Salim dan penganiaya Tosan kala sidang di pengadilan. Foto: Tommy Apriando
Haryono cs, para pembunuh Salim dan penganiaya Tosan kala sidang di pengadilan. Foto: Tommy Apriando

***

Jalan setapak menuju makam Salim masih basah, usai turun hujan. Sore hari akhir Mei, Tosan, istri dan anak bungsu mengunjungi makam Salim. Ia berjarak sekitar 100 meter dari rumah Salim. Tosan membawa air dalam botol plastik dan bunga kertas. Berkemeja putih dan jeans biru.

“Mumpung mau puasa, nyekar dulu ke makam Salim,” katanya.

Di bawah lebat batang-batang bambu, kuburan berbatu nisan bertuliskan nama Salim, ditumbuhi rerumputan. Tosan membersihkan rumput dan daun-daun bambu kering.

Tosan menaburi bunga, menyiramkan air ke makam. Mereka berdoa. Salim tak mampu menahan air mata.

“Lim, perjuangan masih panjang. Hukuman bagi pelaku masih jauh dari rasa keadilan. Kita mungkin dilupakan, tapi tujuan kita bersama tetap sama. Tak boleh lagi ada tambang di Pesisir Lumajang,” kata Tosan.

Tosan kembali bercucuran air mata. Sembari memegang batu nisan, dia kembali memanjatkan doa.

Di depan nisan Salim, Tosan berjanji melanjutkan perjuangan menjaga lingkungan Selok Awar-awar…Habis

Tosan, tetap bertekad bulat berjuang menjaga lingkungan dari tambang. Foto: Tommy Apriando
Tosan, tetap bertekad bulat berjuang menjaga lingkungan dari tambang. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,