Baru 0,97 Persen Perizinan Kapal yang Disetujui KKP, Kenapa Demikian?

Walaupun sudah ada klaim perbaikan untuk pengurusan perizinan kapal perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun ditengarai hal itu tidak sepenuhnya terjadi. Karena di lapangan, hingga kini masih ditemukan fakta ketidakberesan dalam urusan perizinan kapal perikanan milik nelayan dan pengusaha.

Fakta tersebut diungkap Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Berdasarkan data KIARA sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, ribuan perizinan kapal perikanan yang diajukan kepada KKP jumlahnya adalah 1.165 untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), 2.274 untuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan 186 untuk SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan).

Tetapi, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim, pada kenyataannya, KKP baru mengeluarkan 265 izin saja. Dengan rincian: 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan 2 untuk pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016.

“Dengan perkataan lain, hanya 18 persen pengajuan SIUP yang telah disetujui; 0,97 persen SIPI; dan 1,08 persen untuk SIKPI,” ucap dia kepada Mongabay, di Jakarta, akhir pekan ini

Halim menjelaskan, minimnya jumlah izin kapal perikanan yang disetujui berimplikasi terhadap upaya memandirikan usaha perikanan nasional. Terlebih lagi, fakta tersebut mengindikasikan lemahnya fungsi kelembagaan dalam menjalankan prosedur perizinan kapal perikanan, yakni KKP dan Kementerian Perhubungan.

Menurut Halim, di dalam Peraturan Menteri No.30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, disebutkan bahwa jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan (SIUP, SIPI, SIKPI, dan Buku Kapal Perikanan) maksimal selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

“Tapi, kenyataannya itu tidak. Karena prosesnya bisa sangat lama,” sebut dia.

Dari hasil penelusuran KIARA di lapangan, lambatnya proses perizinan dirasakan sejumlah nelayan dan pengusaha di Tuban, Kendal, dan Rembang. Ketiga daerah tersebut letaknya ada di Pulau Jawa. Halim menduga, jika di Pulau Jawa saja sudah bermasalah, apalagi di luar Pulau Jawa.

Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi KIARA Susan Herawati memaparkan, setelah dia terjun langsung ke tiga daerah tersebut, memang didapati bahwa di sana proses perizinan masih sangat lambat. Bahkan, jika ingin proses dipercepat, maka pemilik kapal harus mengeluarkan biaya lebih.

“Biaya lebih itu dikeluarkan untuk membayar calo yang dipakai untuk mengurus perizinan. Calo-calo tersebut diduga berhubungan langsung dengan pegawai KKP di daerah yang mengurus perizinan. Ini berbahaya,” tutur dia.

Untuk biaya yang dikeluarkan tersebut, Susah mengatakan, ditemukan jumlah yang berbeda di tiga daerah. Namun, rerata jumlahnya antara Rp1 juta hingga Rp5 juta. Jumlah tersebut, dinilai tidak sepadan karena biaya perizinan itu berbeda antara satu kapal dengan kapal yang lain, disesuaikan dengan ukuran kapalnya.

“Ini yang ada dipukul rata. Jadi, jika perizinan ingin cepat, maka harus pakai calo dengan biaya seragam tersebut. Jadi tak peduli kapalnya beda ukuran, tapi biayanya sama,” tandas dia.

Sementara itu, nelayan asal Rembang, Jawa Tengah Sammy Soendoro mengatakan, kalau Pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan nelayan dan kemandirian usaha perikanan nasional, maka sudah seharusnya perizinan kapal perikanan dipermudah.

“Prosesnya terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online). Apalagi ada dua kementerian yang terkait langsung, sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah agar semangat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat perikanan sejalan,” papar dia.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada Agustus ini menemukan fakta, KKP tidak secara jelas menyampaikan status dan keterangan penolakan pengajuan perizinan kapal perikanan. Setidaknya ada 3 jenis penolakan yang disampaikan, yakni (1) Tidak ada alasan; (2) Masih memerlukan verifikasi antara data kapal di atas kertas dengan kondisi riil; dan (3) belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.

“Ketidakterbukaan pemerintah di dalam perizinan kapal perikanan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan sebagiannya sudah menghentikan operasional kapal sejak 1-2 tahun terakhir. Imbasnya, para ABK menganggur atau beralih profesi,” jelas Halim.

Selain itu, praktek suap-menyuap/korupsi yang melibatkan oknum birokrasi juga rentan terjadi di dalam pengurusan perizinan kapal perikanan. KIARA mencatat, dana sebesar Rp5-20 juta dikeluarkan oleh pemilik kapal untuk‘melicinkan’ proses perizinan.

“Padahal, praktek ini tidak perlu terjadi apabila pelayanan pemerintah mudah, terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring (online),” pungkas Halim.

Kapal-kapal tangkap ikan nelayan di Sungai Ciujung. Foto: Indra Nugraha
Kapal-kapal tangkap ikan nelayan di Sungai Ciujung. Foto: Indra Nugraha

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan jumlah pengusaha dan kapal yang mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Dari informasi yang dirilis resmi, ada 312 perizinan yang resm dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu (22/6/2016) menjelaskan, seluruh perizinan yang dikeluarkan tersebut, menjadi bukti keseriusan KKP untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap. Karena, dengan dikeluarkannya izin, maka nelayan dan pengusaha bisa berproduksi kembali.

Seluruh perizinan tersebut diberikan kepada pengusaha yang memiliki kapal di atas 30 gros ton (GT) sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19/Permen-KP/2016. Selanjutnya, pemilik izin diberikan kewenangan sesuai izinnya untuk melakukan produksi di lautan wilayah pengelolaan penangkapan (WPP) RI.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,