Mampukah Gorontalo Kembali Menjadi Sentra Produksi Pangan?

Kabar gembira dari Kabupaten Gorontalo, yang tahun ini mendaulat seorang doktor di bidang pendidikan dan pertanian sebagai bupati untuk 5 tahun ke depan, yaitu Nelson Pomalinggo. Momen ini menjadi pas karena kabupaten yang terkenal sebagai lumbung pangan ini kerap mengalami gagal panen secara masif beberapa tahun belakangan. Ada secercah harapan pada kepemimpinan yang baru. Akankah Kabupaten Gorontalo kembali jaya sebagai sentra produksi pangan?

**

Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu dari lima kabupaten dan satu kotamadya di Propinsi Gorontalo. Sebagai daerah tertua dan terpadat, Kabupaten Gorontalo juga mempunyai lahan produksi pertanian terluas. Faktanya, Kabupaten Gorontalo melingkupi hampir 50% luas lahan sawah padi serta 28% dari seluruh luas lahan produksi pangan di Propinsi Gorontalo.

Dengan total luas lahan padi dan jagung sekitar 274.196 hektar, panen mencapai 1.349.187 ton per tahun (BPS, 2014). Tak heran daerah ini menjadi andalan daerah sekitarnya untuk mensuplai bahan pangan pokok khususnya padi dan jagung.

Namun begitu, luas lahan produksi pangan tidak selalu berjalan seiring dengan tingginya produktivitas yang diharapkan. Nyatanya, sektor pertanian mengalami kerugian besar di tahun 2015 akibat kekeringan yang melanda hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Gorontalo termasuk lahan padi sawah dan tanaman jagung.  Hasil panen merosot hingga 50%.

Pasokan air jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penurunan curah hujan secara drastis, berkurangnya daerah tangkapan air maupun El Nino disinyalir berkontribusi besar terhadap ancaman kekeringan.

Penelitian DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) menyebutkan bahwa semakin luas areal tanaman pangan terhadap luas daerah, maka daerah tersebut semakin rentan jika terjadi kekeringan atau banjir. Jika terjadi kekeringan dan banjir karena curah hujan kurang atau tinggi, tanaman pangan rawan mengalami gagal panen. Sebab, tanaman pangan memerlukan air yang cukup banyak sehingga sangat sensitif terhadap ketersediaan air.

Namun, Kabupaten Gorontalo sering menghadapi ancaman kekeringan termasuk pada lahan padi sawah dan jagung. Skala kejadian dan intensitasnya bahkan cenderung meluas dan semakin panjang. Dibanding daerah lainnya, bencana kekeringan tertinggi berada di Kabupaten Gorontalo (DNPI 2011).

Contohnya pada 2015, kekeringan dan krisis air bersih meluas hingga ke sembilan belas kecamatan. Dibanding tahun sebelumnya, kekeringan hanya melanda 11 dari 19 kecamatan yang ada. Kondisi ini menyebabkan kegagalan dan merosotnya hasil panen hingga 50% serta berkurangnya pasokan air bersih. Jika kondisi ini terus terjadi, sulit bagi Kabupaten Gorontalo memainkan perannya sebagai lumbung pangan untuk Propinsi Gorontalo.

Para ahli percaya bahwa bencana kekeringan terkait erat dengan penyimpangan curah hujan dan merupakan dampak langsung dari perubahan iklim global seperti El Nino dan IOD (Indian Ocean Dipole) yaitu fenomena lautan-atmosfer di daerah ekuator Samudera Hindia yang mempengaruhi iklim di Indonesia  (DNPI, 2011). Jika terjadi peningkatan frekuensi kejadian El Nina, peluang dan risiko kejadian kekeringan akan semakin meningkat.

Selain menyebabkan kekeringan, penyimpangan curah hujan juga menyulitkan petani untuk memprediksi datangnya musim hujan. Seperti dituturkan oleh Camat Limboto Barat dan Bongomeme, petani merasakan kemarau yang lebih panjang dari biasanya serta kesulitan memprediksi waktu tanam akibat musim hujan yang bergeser. Namun mereka belum memahami apa sebabnya dan bagaimana menghadapinya.

Dengan tiga variabel saja, yaitu ancaman kekeringan, pergeseran musim hujan serta areal tanaman pangan terluas, cukup membuktikan Kabupaten Gorontalo sebagai daerah yang sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan iklim.

Kajian yang dilakukan Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia, SIDA, 2009 (seperti tertuang dalam RAN-API/Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim) juga memasukan Kabupaten Gorontalo sebagai satu dari 50 daerah terentan di Indonesia terhadap perubahan iklim ekstrim.

Kajian kerentanan DNPI (2011) di Propinsi Gorontalo juga mengidentifikasi Kabupaten Gorontalo sebagai daerah dengan resiko iklim tertinggi dan kapasitas terendah dibanding kabupaten/kota lainnya. Dilaporkan bahwa resiko iklim Kabupaten Gorontalo tertinggi pada tahun 2009, dan diprediksi tetap tinggi di tahun 2020 dan 2050. Kerentanan itu diukur dari kondisi sosial, ekonomi, dan biofisik lingkungan untuk melihat

Jajaran kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Gorontalo juga mengakui adanya kerentanan yang tinggi sektor pertanian terhadap perubahan iklim ekstrim. Mereka menduga kerentanan ini diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.

Beberapa kerusakan lingkungan yang masih terjadi di Kabupaten Gorontalo diantaranya penebangan hutan secara ilegal, alih fungsi daerah tangkapan air menjadi perkebunan sawit dan pemukiman, pemberian izin pembangunan kawasan yang tidak konsisten dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan sedimentasi serta pengurugan yang semakin luas di tepi Danau Limboto. Akibatnya, fungsi ekosistem untuk menyerap dan menampung air sebagai cadangan saat kemarau menjadi terganggu.

Daerah hulu Danau Limboto di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, yang mulai ditanami sawit. Foto: Christopel Paino
Daerah hulu Danau Limboto di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, yang mulai ditanami sawit. Foto: Christopel Paino

Sayangnya, kerentanan yang tinggi di Kabupaten Gorontalo belum diimbangi dengan kapasitas yang tinggi untuk mengendalikannya. Sebenarnya perencanaan pembangunan jangka panjang di Kabupaten Gorontalo sudah memprioritaskan pembangunan berwawasan lingkungan.

Namun, semangat ini perlu dilengkapi dengan beberapa langkah strategis. Pertama, perlu adanya analisa lingkungan hidup termasuk resiko iklim sebagai dasar perumusan arah kebijakan dan program pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungannya.

Kedua, peningkatan kapasitas institusi termasuk dalam menyusun spesifik sasaran, instrument kebijakan, program, sumber daya manusia dan pendanaan yang secara khusus untuk mengendalikan dampak perubahan iklim.

Ketiga, komunikasi, koordinasi dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan yang lebih efektif.Untuk menempuh langkah-langkah tersebut, pra kondisi yang utama adalah komitmen dari kepada daerah dan jajaran SKPD terhadap pembangunan berwawasan lingkungan.

Dengan kapasitas yang memadai, kebijakan dan program program pembangunan daerah dapat memperkuat ketahanan dan mengurangi kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim khususnya kekeringan. Harapannya, pemda dapat lebih berperan aktif dalam melindungi mata pencaharian dan penghidupan masyarakat, serta meningkatkan peluang ekonomi. Dengan begitu, sektor yang terlindungi tak hanya terbatas pada pertanian, namun juga potensi ekonomi lainnya seperti di sektor perikanan, peternakan, kehutanan serta lainnya yang menjadi unggulan.

Sinyal positif terlihat di awal kepemimpinan Nelson Pomalinggo, Bupati Gorontalo yang saat ini menjabat. Dalam pidato di hadapan petinggi SKPD dan seluruh camat, Nelson mengakui tantangan lingkungan yang dihadapi di daerahnya dan menyatakan komitmennya untuk perubahan yang lebih baik.

“Titik berat program pembangunan Kabupaten Gorontalo ke depannya adalah pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan yang ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat,” katanya.

Tiga sektor unggulannya adalah perikanan, peternakan dan pertanian, menggeser sektor perkebunan dan tambang.

Bupati dan Bappeda Kabupaten Gorontalo juga menyatakan komitmennya untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan daerah demi memperkuat sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Publik sangat menantikan terobosan baru dari Pemkab Gorontalo untuk mengembalikan kedaulatan kabupatennya dalam produksi pangan. Akankah Bupati Gorontalo menjadi new champion mengikuti jejak kepala daerah lainnya yang telah menarik hati publik belakangan ini?

Kita tunggu gebrakan dan kerja nyatanya

 *Nazla Mariza,MA, Direktur Pusat Transformasi Kebijakan Publik Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,