Yogyakarta Alami Krisis Air, Mengapa?

air1-Warga menggunakan ember mengambil air di sumber air tanpa harus membeli. Foto Tommy Apriando. Warga Jogja antri air. Foto: Tommy Apriando

Dua pekan lalu, ada peluncuran film soal ancaman krisis air tanah di Yogyakarta, dua pekan lalu di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM). Film karya Teguh Supriyadi berjudul “Jogja Darurat Air,” menceritakan keresahan warga  yang mengalami kekurangan air sejak hotel dan apartemen dibangun di wilayah sekitar. Tampak keluhan warga di Miliran dan Karangwuni. Air sumur mereka berkurang drastis sejak ada hotel dan apartemen.

Setelah pemutaran film lanjut diskusi “Kemerdekaan dan Hak Warga atas Air.”

Nila Ardhianie Direktur Amartha Institute mengatakan, ketergantungan Jogja atas air tanah sangat besar.

Data BPS mengenai sumber air PDAM menunjukkan 2014, sebesar 38,57% PDAM menggunakan air tanah sebagai sumber air. Pada 2015, 87% sumber air PDAM Yogyakarta, masih dari air tanah. Lebih dari separuh penduduk Yogyakarta, katanya, menggunakan air tanah sebagai sumber air minum.

Data BPS, penggunaan air PDAM di Jakarta dan Surabaya 100% menggunakan air permukaan dan dilarang pakai air tanah.

“Air tanah di Jogja menjadi gantungan hidup sekitar 3 juta penduduk atau 60%. Air tanah dipakai berlebihan tak dihargai dan diatur memadai,” katanya.

Pemakaian air tanah Jogja terus menerus dalam besar tanpa diatur dan kelola baik buat keperluan rumah tangga dan komersial. Pengguna komersial, katanya, berhadap-hadapan langsung dengan pengguna rumah tangga. Banyak rumah tangga kalah.

Ketika terjadi persaingan langsung antara pengguna komersial dengan rumah tangga,  katanya, pemerintah seharusnya membuat pengaturan tegas hingga tak terjadi kekalahan si lemah.

“Di Jogja tak ada pengaturan dan pengelolaan memadai dari otoritas. Kekeringan sumur warga terus terjadi. Kemampuan sumur komersial menyedot air punya pengaruh bagi sumur warga,” katanya.

Lima kecamatan dengan kerawanan paling tinggi berturut-turut adalah Gondokusuman, Margangsan, Mantrijeron, Jetis dan Umbulharjo. Setiap tahun, kecamatan-kecamatan ini defisit antara p400.000–2,7 juta meter kubik air tanah.

Hotel menjamur

Data Amartha Institute for Water Literacy disebutkan, saat ini ada 350 hotel berbintang di Yogyakarta, ada 15.000 kamar. Ada 30 apartemen yang memiliki sekitar 12.000 kamar.

Menurut Nila, hotel dan apartemen tak menggunakan air PDAM karena biaya cukup tinggi, misal hotel memiliki 400 kamar perlu dana Rp2miliar per bulan. Membuat sumur, katanya dalam hanya membutuhkan biaya sekitar Rp500 juta.

“Daya sedot sumur dalam yang dimiliki hotel dan apartemen tersebut sangat besar. Tentu saja, ini akan mengganggu sumber air warga khusus yang memiliki sumur.”

Nila berharap, Gubernur segera memperkuat PDAM dengan menyuntikkan dana agar dapat  investasi untuk membangun instalasi pengolahan air permukaan, mengharuskan gunakan air PDAM bagi kebutuhan komersial. Juga menegakkan disiplin ketat atas pelanggaran dan membuat peraturan menjamin terpenuhi hak azasi warga atas air.

Eko Teguh Paripurno, Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, melihat keparahan masalah, Gubernur perlu turun tangan.

“Kalau perlu menerbitkan Pergub pembatasan pemanfaatan air tanah. .Defisit air tanah sudah terjadi di seluruh kecamatan Jogja.”

Dalam waktu dekat puluhan apartemen baru dan hotel baru akan beroperasi, jika tidak dikelola dan diatur baik bisa dipastikan sumur warga asat akan menjadi tontonan sehari-hari di Jogja “Setiap tahun, kondisi air tanah Yogyakarta mengalami penurunan 15-50 meter cm.

Eko berharap, pemerintah bisa memperbaiki tata kelola air hingga menyelamatkan air tanah Yogyakarta. “Dalam lima tahun, penurunan bisa 2,5 meter.”

Penurunan air tanah karena di Yogyakarta, banyak hotel dan bangunan vertikal dengan mengambil air tanah dibor sekitar 100 meter. Selain itu, masyarakat cenderung tak bijak dalam menggunakan air.

“Rata-rata setiap hari masyarakat Yogyakarta menghabiskan 125.000 air, hotel menghabiskan 350 liter air per hari.”

Dia menyarankan, perlu penguatan PDAM agar melayani penduduk menggunakan air permukaan.

Halik Sandera, Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, pemerintah Yogyakarta harus segera bertindak jika tak ingin warga krisis air. Caranya,  bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah, dan sesuai nilai maupun kebudayaan masyarakat.

“Banyaknya hotel, apartemen dan hotel di Yogyakarta dan Sleman akan mempengaruhi ketersediaan air saat kemarau. Debit air tanah setiap tahun turun.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,