Mongabay Travel: Petualangan Uji Nyali di Jantung Sulawesi

Dari Sabbang ke Seko, Kabupaten Luwu Utara, pakai ojek motor? Kalau ojek motor selama satu, dua, tiga sampai lima atau enam jam, mungkin biasa. Ini perjalanan dua sampai tiga hari!

Kali pertama mengungkapkan keinginan mengunjungi Seko, menggunakan jasa ojek motor, saya sudah diperingatkan berhati-hati dan membawa perbekalan cukup. Cerita-cerita cukup menyeramkan, dari kemalaman di tengah hutan, hingga tragedi motor rusak.

Seko, terletak sekitar 120 kilometer dari Sabbang, Luwu Utara atau 600 kilometer dari Makassar. Daerah ini dibagi dalam tiga wilayah, Seko, Seko Tengah dan Seko Padang.

Secara geografis, Seko berada di jantung Sulawesi. Jika Anda mengambil peta Sulawesi, memberi titik wilayah itu, terlihat koordinat tepat berada di tengah. Seko berdekatan dengan Kalumpang dan Mamasa, Sulawesi Barat dan Poso, Sulawesi Tengah.

Akhirnya, pada 8 Juni 2016, bersama dua pendamping dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tana Luwu, saya menjajaki  liukan jalanan sejauh 120 kilometer. Dari jalan aspal, rabat beton, gundukan kerikil tajam dari batu gunung, hingga tanah liat. Menjelang malam, kami beristirahat di Kampung Rongkong.

Ian pengemudi ojek berpose di depan tugu jarak dalam perjalanan menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto
Ian pengemudi ojek berpose di depan tugu jarak dalam perjalanan menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto

Jarak dari Sabbang, kampung pertama kami memulai perjalanan dan mencapai Rongkong, belumlah setengah jarak menuju Seko.

Pagi hari berikutnya, Ian, pengemudi ojek saya, menjadikan tas punggung sebagai sandaran di bagian ujung jok motor.

“Jadi nanti tas bisa buat jadi sandaran,” katanya.

“Rute berikutnya bakal berkubang lumpur.”

Benar saja, melewati Rongkong jalanan mulai mengecil. Beberapa kali ban motor terselip dan membuat kendaraan doyong. Ketika mengeluarkan suara teriak dan menghembuskan nafas panjang karena kelelahan. Ian tertawa.

Menapaki jalan menuju Seko, benar-benar membuat semua badan terasa pegal. Beruntung pemandangan di sepanjang perjalanan membuat suasana hati senang. Petak sawah bersusun mengikuti kontur bukit, kanopi hutan lebat. Udara sejuk.

Sebenarnya, mencapai Seko ada dua jalur. Melalui darat pakai ojek motor dan pesawat. Namun, pesawat kecil berawak 10 orang selalu penuh. Saya mencoba peruntungan selama tiga minggu menjadi daftar tunggu, hingga kepulangan tak mendapat kursi.

Padahal dalam segi waktu, jarak tempuh pakai pesawat dari Masamba, ibukota Luwu Utara, hanya sekitar 15 menit dengan biaya Rp300.000.

Kalau pakai ojek, waktu tempuh jalanan kering dua hari satu malam, ketika musim hujan hingga tiga hari. Untuk biaya, antara Rp1 juta-Rp1,5 juta sekali jalan.

Infrastruktur jalan rusak parah menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto
Infrastruktur jalan rusak parah menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto

Hingga tahun 2000-an, menjangkau Seko, hanya dengan kuda. Beban diangkut kuda dan orang berjalan mengiringi yang memakan waktu sampai seminggu.

Ketika ojek motor sampai daerah bernama Mabusa, kami merebahkan badan di kursi kayu panjang. Di tempat ini, ada puluhan ojek motor beristirahat. Ada hendak menuju Seko, ada menuju Sabbang.

Mabusa, seperti sebuah persinggahan. Ada beberapa warung menjajakan makanan, kopi, bahkan petak kamar kecil untuk menginap. Sewa Rp30.000 per malam, fasilitas selimut dan kasur gulung tipis.

Mabusa berada di ketinggian. Kabut tebal dan air sangat dingin. Untuk melanjutkan perjalanan harus membeli jas hujan dan menggunakan jaket tebal. Pada sore hari, kabut tebal dan jarak pandang hanya beberapa puluh meter.

Kalau membawa kendaraan sendiri menuju Seko, perlu keahlian tersendiri. Jika mendapati jalan tanah lengket dan berlumpur, hanya ada satu rute, mengikuti jalur ban pengendara awal. Sepanjang jalan, rute ban itu bagai parit-parit tak beraturan.

Ian sudah menjajal jalanan Seko, sejak enam tahun lalu. Dia sudah menggunakan enam sepeda motor. Menurut dia, satu motor buat ojek ke Seko, paling lama bertahan enam bulan. Setelah itu, suara mesin akan berbunyi macam parut kelapa.

Semua penyewa jasa ojek menuju Seko, menggunakan motor bebek. Motor-motor ini akan “ditelanjangi” seperti kap penutup rangka dilepaskan. Shockbecker ditinggikan. Rantai diganti, tentu saja gear pakai lebih besar. Banpun harus bunga berduri.

Hutan nan lebat jadi pemandangan dalam perjalanan ke Seko. Foto: Eko Rusdianto
Hutan nan lebat jadi pemandangan dalam perjalanan ke Seko. Foto: Eko Rusdianto

Dalam perjalanan sekitar pukul 12.00, kami sampai di daerah bernama Palandoang. Ini persinggahan lain dari para tukang ojek. Di tempat ini, kami makan siang dan meluruskan kembali badan yang seperti remuk.

Saya bertanya, atau sedikit mengeluh ke Ian. “Berapa jauh lagi, apakah jalan serupa ini terus hingga ke Seko?” tanya saya.

Nda jauhmi. Sedikit lagi. Jalannya tiga kali lebih parah,” jawab Ian.

 

Real adventure

Motor sudah naik ke rakit. Perjalanan bak titian “neraka” segera dimulai. Jalan menanjak. Suara motor seperti menangis terdengar dari kejauhan. Beberapa kali penumpang harus turun, memilih berjalan kaki.

Motor tenggelam lumpur hingga ke jok. Di jalan ini, pengendara yang tak cekatan akan terjatuh. Saya menjumpai beberapa sepeda motor terjebak. Beberapa orang membantu, mendorong dan menarik.

Wajah-wajah mereka berkeringat dan kotoran tanah liat. Setiap hari jalanan berlumpur ini dipadati pengendara sepeda motor.

Mereka membawa penumpang orang dan kebutuhan sehari-hari. Ada motor dengan bagian belakang membawa ayam. Ada motor disesaki makanan ringan. Ada pula membawa pakaian. Barang-barang itu akan dijual di Seko. Mereka para pedagang.

Dari Seko, ketika barang dagangan ludes, mereka akan membawa kembali kakao, kopi dan beras. Beberapa motor mampu membawa beban hingga 350 kilogram.

“Membawa barang, jauh lebih mudah dibanding penumpang orang. Kalau barang, jatuh nda masalah, kalau orang harus benar-benar dijaga,” kata Dail pengojek lain.

Dail, pengojek lebih berpengalaman. Dia melewati beberapa jalan berlumpur tanpa harus turun. Dia terlihat mudah, begitu menghapal seluk beluk rute. Dail menjadi pengojek hampir 10 tahun.

Capek berojek cukup terobati dengan pemandangan nan indah. Foto: Eko Rusdianto
Capek berojek cukup terobati dengan pemandangan nan indah. Foto: Eko Rusdianto

Bukan hanya soal infrastruktur jalan jelek. Di Palandoang, tempat penyebrangan motor saya bertemu beberapa anak usia sekolah dasar. Salah seorang bernama Anas. Sembari menunggu antrian motor menyeberang, dia menyeduhkan kopi.

Anas beberapa tahun ini tak melanjutkan sekolah. Dia berhenti. Alasannya,  tak ada guru bertahan di kampung. Selalu berganti dan tak lama mereka meninggalkan anak didiknya.

Di dekat sungai penyeberangan, ada bangunan sekolah terbuat dari beton. Halaman sudah ditumbuhi rumput. Tak terawat. Sekilas bangunan masih baru. “Ada sekolah tak ada guru,” kata teman Anas.

“Masih mau sekolah,” tanya saya.

“Mau,”

“Sudah bisa membaca?”

“Tidak lancar,”

“Apa cita-cita mu?”

“Tidak tahu. Dulu mau jadi polisi. Sekarang tidak tahu mi,” kata Anas.

 

Kekhawatiran warga

Matahari meredup. Kami sudah melewati jalan “neraka.” Di hadapan kami hamparan padang ilalang. Jalur tanah dan beberapa kubangan air kendaraan meliuk bagai ular. Ian melaju dengan kencang.

“Akhirnya dapat jalan aspal.”

Aspal, adalah kata pengganti bagi beberapa pengemudi ojek untuk menyatakan jalan mulai baik. Meski demikian, jalan baik bagi mereka itu penuh kubangan dan tonjolan batu-batu gunung.

Ada sekolah, tak ad guru. Murid telantar, bangunan sekolah tak terawat. Foto: Eko Rusdianto
Ada sekolah, tak ad guru. Murid telantar, bangunan sekolah tak terawat. Foto: Eko Rusdianto

Di punggung bukit ilalang itu, ada dua warung persinggahan, dan dua jalan. Ke kanan menuju Seko Padang–tempat bandara-dan jalan lurus ke Seko Tengah.  Ini tempat istirahat kami.

Dua warung itu hanya pinjaman. Si pemilik warung pernah mengusulkan membeli petakan tanah itu, tetapi pemilik tak ketahuan dimana.

Menurut dia, padang ilalang adalah aset perusahaan. “Tanah ini, hampir sebagian besar wilayah konsesi perusahaan,” kata Dewi Sartika, pengurus AMAN Tana Luwu.

Hari telah gelap, kami sudah melewati Sae. Sebelumnya Ikha, sapaan akrab Dewi, mengingatkan untuk melihat wilayah yang akan dibangun bendungan besar.

Konon, tampungan air akan disalurkan ke Ratte, Seko Tengah, sebagai pembangkit listrik tenaga air.

Perusahaan yang hendak membangun PLTA adalah PT Seko Power Prima dengan daya 480 MW.

Di Sae, DAM seluas 100 hektar. Power house PLTA berada di Ratte, dalam jarak garis lurus mencapai 18 kilometer.

Dari Sae, Seko Power akan membangun terowongan melewati beberapa kampung termasuk Embonatana.

Inilah yang menjadi kekhawatiran beberapa penduduk, yang kelak akan tergusur ketika PLTA dibangun.

Kami sampai di Desa Tanamakaleang,  sekitar pukul 21.00. Beberapa masyarakat menjamu kami dengan kopi khas Seko dan tuak nira. Menyegarkan.

“Inilah kami berjuang agar tak terusir dari kampung. Di Seko, kami bahagia. Kalau besok-besok kami mendapat masalah, orang-orang dengan mudah mengerahkan kekuatan pada kami. Karena jarak jauh dari kota,” kata Andri, warga Seko, tuan rumah kami.

“Terimakasih sudah bersusah payah melihat keadaan kami.”

Hamparan sawah di Rongkong, dalam perjalanan menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto
Hamparan sawah di Rongkong, dalam perjalanan menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto
Pengemudi ojek beristirahat. Foto: Eko Rusdianto
Pengemudi ojek beristirahat. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,