DPRD Kalbar Usung Perda Perlindungan Masyarakat Adat, Muncul Keberatan. Mengapa?

DPRD Kalimantan Barat berinisiatif mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Di berbagai daerah di negeri ini, sudah banyak usulan perda serupa bahkan ada beberapa sudah disahkan.

Di Kalbar, perda yang akan menjadi payung hukum bagi pengakuan dan perlindungan berbagai masyarakat maupun komunitas adat di sana, malah mendapat penolakan dari beberapa organisasi masyarakat. Penolak mencurigai, raperda ini akan membawa kepentingan etnik atau kelompok tertentu. Yang dimaksud etnik atau kelompok tertentu itu mengacu pada Suku Dayak. ( Draf Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat).

Bagaimana raperda ini berproses? Raperda ini digagas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Walhi Kalbar kepada Fraksi PDIP Kalbar. Selanjutnya, raperda diusung menggunakan hak inisiatif anggota DPRD Kalbar. Itikad awal, menguatkan tradisi, hak ulayat dan perlindungan terhadap tanam tumbuh di atas tanah adat.

“Dalam proses awal, Walhi Kalbar terlibat banyak dalam diskusi, baik level organisasi masyarakat sipil, ataupun partai politik dan legislatif,” kata Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar.

Di Kalbar, katanya, perspektif mengenai masyarakat adat selalu disamakan dengan masyarakat Dayak.

“Ini soal pemahaman yang belum sama. Jadi, saat itu saya sudah usulkan kepada PDIP sebagai pengusung, untuk dialog antarFraksi, memperbaiki perspektif internal mereka,” katanya.

Dua warga komunitas Banemo, di Patani, Halmahera Tengah, sedang panen pala. Mereka berharap, Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, yang didorong segera dibahas di DPRD Halteng. Hutan pala mereka, terancam karena izin sudah dikeluarkan pemerintah daerah kepada perusahaan sawit. Foto: Sapariah Saturi
Dua warga komunitas Banemo, di Patani, Halmahera Tengah, sedang panen pala. Mereka berharap, Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, yang didorong segera dibahas di DPRD Halteng. Hutan pala mereka, terancam karena izin sudah dikeluarkan pemerintah daerah kepada perusahaan sawit. Foto: Sapariah Saturi

Sementara di luar, organisasi masyarakat sipil harus konsolidasi dengan seluruh organisasi masyarakat berbasis etnis dan agama guna memperbaiki pemahaman dan tujuan rencana rapeda ini.

“Proses-proses ini, yang saya tahu tak berjalan baik.”

Jadi, dengan perspektif belum sama, proses legislasi terus berjalan. Kondisi ini, katanya, kemudian menjadi penyebab sikap resistensi berbagai pihak.

Anton juga setuju para pihak duduk bersama membahas payung hukum ini, hingga tak makin berpolemik.

“Dengan catatan tak boleh dipolitisir,” katanya.

Secara umum, raperda ini sesungguhnya merespon inisiatif-inisiatif perlindungan terhadap masyarakat adat yang selama ini termarjinalkan, tetapi belum mendapatkan perlindungan negara.

Konteks raperda, kata Anton, sebenarnya semua suku bangsa yang ada di tanahnya, ada tradisi hidup berkembang dalam keseharian.

Happy Hendrawan, peneliti Swandiri Institute juga menanggapi masalah ini. Dia mengatakan, pengaturan masyarakat adat sangat perlu terkait dampak pembangunan, baik bersifat eksploitatif sumber daya alam (SDA) maupun pembangunan lain yang berdampak pada norma adat.

“Raperda yang mengatur dan menjamin keberadaan masyarakat adat harus didukung. Ini amanat UUD’45 Pasal 18B juga secara faktual keberadaan masyarakat adat terancam,” katanya.

Keterancaman ini, katanya, tak saja dari luar tetapi dalam, akibat gempuran modernisasi. Diapun menyarankan, agar masyarakat mendapat informasi lengkap soal raperda ini.

Realita saat ini, terjadi perbedaan pengertian dan terminologi dalam judul raperda yang menyebutkan Masyarakat Hukum Adat di Kalbar. Padahal, antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat berbeda, baik konsep, teori maupun konstruksi hukum.

“Ini perlu ditekankan karena Gubernur telah menyerukan dan meminta semua masyarakat, pemkab/kota mau mendukung dan menerima raperda adat yang sedang berproses,” katanya.

Perda masyarakat adat Kajang, sudah disahkan. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra

Penegasan terkait kata ini, katanya, perlu agar tak terjadi tafsir keliru. Dia menilai, secara politis,  masyarakat hukum adat cenderung mengarah pada kelompok tertentu. Yang dimaksud masyarakat hukum adat, katanya, kelompok masyarakat yang masih memegang dan memiliki perangkat-perangkat adat dan wilayah adat.

“Masyarakat adat cenderung lebih luas, karena pemahaman umum masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang masing memegang nilai dan norma adat meski sudah tak berdomisili di wilayah adat, misal, masyarakat adat Bugis atau Jawa.”

Pemahaman umum ini, tentu tak persis sama dengan pemahaman teoritik, hingga Raperda tentang masyarakat (hukum) adat,  mestinya tak semata-mata berbasis teori.

Penjelasan komprehensif perlu segera dilakukan, katanya, hingga tak menimbulkan resistensi dari kelompok masyarakat lain yang merasa memegang adat tetapi tak terwakili dalam perda ini.

Para pihak, kata Happy, perlu evaluasi, bagaimana proses raperda ini.

“Mestinya perda ini menjadi perda yang jelas dan tegas apakah mengatur dan melindungi masyarakat adat atau semata-mata hanya menjawab persoalan konflik tenurial.”

Dia mengusulkan, raperda ini dibahas ulang dengan melibatkan semua komponen masyarakat adat.

Libatkan para pihak dan bahas bersama

Yusriadi, dosen Linguistik di Kalbar, memberikan kritik membangun terkait raperda ini. Dia mengatakan, gagasan membuat payung hukum masyarakat adat sudah lama.

“Menurut informasi, raperda dibuat lebih dahulu baru naskah akademik. Masyarakat ditanya pendapat mereka tentang raperda. Prosedur ini jelas terbalik. Seharusnya, naskah akademik memunculkan raperda. Aspirasi warga atau tokoh, dihimpun, diolah, dimasukkan dalam raperda,” katanya.

Dia melihat, pengumpulan data hanya dilakukan di Sanggau, bukan di seluruh Kalbar, juga kritikan terhadap naskah ini.

“Tak semua masyarakat adat jadi informan. Tak semua masyarakat adat diminta kontribusi pemikiran untuk rancangan perda.”

Secara terminologi, katanya, masyarakat adat dan masyarakat hukum adat merupakan dua hal berbeda. Bahkan, perbedaan ini dapat dilihat dalam pasal penjelasan.

Yus beranggapan, banyak masyarakat adat tak memiliki perangkat peradilan adat karena peradilan ini sudah lama ditinggalkan.

Dia menilai, tatanan hukum masyarakat Kalbar akan goyang karena di dalam salah satu pasal disebutkan, tindak pidana ringan (di bawah satu tahun) dapat ditangani peradilan adat.

“Kita masih ingat betapa banyak orang trauma oleh peradilan jenis ini pada 1980-2000-an?”

Saya sempat mengalami masa kala mencuat soal komersialisasi hukum adat di Kalbar era 2000-an. Kala itu, ada oknum-oknum tertentu yang mudah mengatasnamakan atau memanfaatkan penerapan hukum adat di luar wilayah adat.

Satu contoh, akhir 1999, ada berita kriminal penangkapan penadah motor curian di salah satu desa di kabupaten di Kalbar pada satu harian lokal dengan sumber keterangan Kapolsek. Ternyata, Kapolsek memberikan keterangan lokasi kejadian, salah nama desa. Motor curian ada di desa sebelahnya.

Beberapa hari setelah berita terbit, ada beberapa orang datang ke media yang memuat, mengatasnamakan, orang dari desa yang salah sebut. Mereka bilang desa merasa tercemar. Mereka yang datang, akan mendenda adat media. Kalau tak salah, kala itu, meminta belasan juta rupiah.

Editor media, bernegosiasi panjang. Akhirnya, masalah ini berakhir damai ditengahi seorang petinggi Polda Kalbar.  Media tak jadi kena denda adat.

John Bamba, Dayakolog Kalbar angkat bicara. Dia meyakini, aturan apapun, apalagi yang ingin mengatur kehidupan masyarakat adat, proses harus bottom-up dan multilevel. Jadi, memerlukan banyak konsultasi-konsultasi dengan para pihak, terutama masyarakat adat yang sesungguhnya.

“Bukan hanya oleh mereka yang memperjuangkan seperti aktivis, birokrat, akademisi, politisi, dan lain lain, yang belum tentu masih masyarakat adat, kebanyakan cuma etnis saja.”

Dia menyatakan, tak terlibat dalam proses pembuatan raperda.

“Saya hanya pernah diajak diskusi satu atau dua kali beberapa tahun lalu, oleh akademisi dari Universitas Tanjungpura, yang menyatakan akan membuat naskah akademik raperda ini. Saya saat itu setuju, setelah itu tidak terlibat lagi,” katanya.

Apay Janggut memperlihatkan aliran Sungai Utik dari ketinggian puluhan meter. Masyarakat adat Iban Sungai Utik menjaga pasokan air melalui hukum-hukum adat. Inilah salah satu contoh praktik-praktik kehidupan masyarakat adat yang menjaga hutan (wilayah) mereka dengan kearifan. wilayah-wilayah ini banyak terancam bisnis ekstraktif, seperti di Sei Utik, sudah di kelilingi sawit. Foto: Andi Fachrizal

Belum selesai

Isu masyarakat adatpun, katanya,  belum kelar di Indonesia. Masih banyak pihak belum mau menerima realitas ini. Banyak hal perlu dibereskan dulu di tingkat nasional, seperti soal definisi, kriteria, penyebutan, eksistensi, konsistensi di setiap UU dan kebijakan yang dibuat.

“Intinya, isu masyarakat adat ini belum final. Itu sebabnya setiap usaha yang ingin potong kompas akan menghadapi hambatan seperti raperda ini. Ini realitas. Suka tidak suka begitu kenyataannya,” ucap John.

Dia menduga, belum ada kesamaan soal masyarakat adat inilah yang membuat Presiden Joko Wdodo, kesulitan mengambil langkah, terkait program Nawacita.

Masih banyak tokoh dan pejabat belum mau menerima realitas masyarakat adat di Indonesia.

“Ingat jargon: “semua orang indonesia adalah penduduk asli atau masyarakat adat, saya kira masih cukup dominan saat ini.”

Perjuangan Institute Dayakologi, katanya, sejak berdiri soal pemberdayaan masyarakat adat Dayak secara holistik melalui pendekatan budaya. Berbagai penelitan dan dokumentasi dilakukan selama 25 tahun termasuk hukum adat dan permasalahan yang dihadapi.

“ID tak sependapat, hukum adat harus dibuat tertulis. Hukum adat harus tetap berbentuk lisan karena justru disitu letak kekuatannya.”

***

Mei lalu, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan, Martinus Sudarno, menggelar jumpa pers di DPRD Kalbar terkait raperda ini. Dia menyesalkan, Rapat Paripurna gagal karena tak quorum. Padahal, Raperda PP MHA ini inisiatif DPRD Kalbar, bersumber dari usulan masyarakat, hingga wajib dibahas.

Raperda, katanya, tak hanya untuk suku tertentu, tetapi buat semua etnis di Kalbar.

“Aturan yang sesuai kita pakai, yang tak sesuai dibuang.”

Dia meminta, para pihak tak berpraduga mengenai isi raperda. Di dalam rapat, dia mempersilakan para anggota DPRD mendebat isi raperda ini.

Raperda ini, mengacu pada UU’45, UU Pokok Agraria, UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 43 tahun 2015 tentang penguatan dan pengakuan masyarakat adat.

Penolakan terhadap raperda ini, antara lain dari Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar (MABM). Ketua MABM, Chairil Effendi  menuding raperda ini memuat banyak hal mengandung diskriminasi terhadap etnik lain di Kalbar. Namun, dia tak menjabarkan jelas apa yang dikatakan berisi diskriminasi itu.

Alasan Chairil khawatir perda bisa melemahkan tata hukum positif jika berlaku.

Dia menyatakan,  akan protes ke Kementerian Dalam Negeri, karena menilai raperda ini dapat membahayakan keutuhan NKRI.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,