Perlukah Rumpon untuk Wisata Lumba-lumba di Laut?

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupeten Buleleng Dewa Suardipa melontarkan wacana membuat semacam rumpon di tengah laut sebagai pusat wisata lumba-lumba di habitatnya, perairan Buleleng, Bali Utara. Masuk objek wisata Lovina. Alasannya, agar lumba-lumba tak dikejar-kejar jukung pembawa turis yang tiap hari melayani atraksi ini.

“Buleleng mendapat anugrah dari Tuhan area wild dolphin. Kita harus bikin wisata yang different, buat terobosan,” kata pria pengusaha restoran di Buleleng ini. Ia meyakini membuat semacam rumpon adalah solusinya alternatif melihat lumba-lumba ini di laut.

Dalam bayangannya, jukung pembawa turis tak harus mengejar lumba-lumba lagi karena ini juga banyak dikritik. Turis cukup dibawa ke area rumpon dan orang terlatih memanggil lumba-lumba di laut dengan membunyikan sesuatu atau memberi umpan ikan. Dewa menyebut cara ini juga akan memberi akses melihat lumba-lumba sepanjang hari, tak hanya pagi saja seperti tur mencari lumba-lumba saat matahari terbit.

Para nelayan juga tetap bisa mendapat penghasilan dengan jasa angkut menuju rumpon dan tontonan lebih rapi. “Wacana ini perlu dibicarakan, duduk bersama dan penelitian,” tambahnya. Wisata menonton lumba-lumba di lautan lepas ini menjadi unggulan objek wisata Lovina dan berdampak pada 6 desa sekitarnya.

Wacana rumpon ini memancing reaksi netizen, terutama warga asing, yang membaca beritanya di media online berbahasa Inggris, yang menerjemahkannya dengan istilah mengandangkan lumba-lumba di laut.

Wisata melihat lumba-lumba di salah tempat berkembangbiaknya ini masih menjadi favorit di Lovina. Ada yang khusus menginap di Lovina untuk ini atau pulang pergi dari Kuta atau Sanur. Jaraknya sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar menuju Bali Utara.

Tak sulit mencari nelayan atau pemilik jukung yang melayani tur ini. Mereka atau perantara biasanya mendatangi tempat menginap untuk menanyakan apakah tertarik untuk tur dolphin watching.

Turis mulai perjalanan mengejar matahari pagi dan lumba-lumba di perairan Lovina, Buleleng, Bali Utara. Wacana rumpon untuk mengumpulkan lumba-lumba di perairan Buleleng demi industri wisata menjadi polemik saat ini. Foto : Anton Muhajir
Turis mulai perjalanan mengejar matahari pagi dan lumba-lumba di perairan Lovina, Buleleng, Bali Utara. Wacana rumpon untuk mengumpulkan lumba-lumba di perairan Buleleng demi industri wisata menjadi polemik saat ini. Foto : Anton Muhajir

Para turis rata-rata memberikan rating bintang 4-5 untuk atraksi ini. Alasannya tak sulit menemukan lumba-lumba, 90% mengatakan bisa melihat mereka melompat ketika mentari mulai naik dari horizon. Jadilah kombinasi lompatan lumba-lumba, jukung, dan matahari pagi dalam sejumlah potret dokumentasi mereka. Ada juga yang mengingatkan untuk mengurangi kejar-kejaran jukung dengan lumba-lumba ini agar tak membahayakan atau membuat stres.

Riset Lumba-lumba di Lovina

Doktor Putu Liza Kusuma Mustika, perempuan Bali peneliti paus dan lumba-lumba serta analis wisata bahari melakukan rangkaian riset selama enam tahun terakhir soal ini, terutama wisata lumba-lumba di Lovina.

“Kesimpulan saya adalah dolphin watching di Lovina memberikan banyak income bagi masyarakat setempat. Namun karena terlalu banyak kapal di sekitar dolphin dan cara mengemudikan kapal yang kurang mempedulikan keselamatan hewan, serta tidak adanya panduan laku untuk wisata lumba-lumba di Lovina maka wisata ini diragukan kelestariannya,” urai Liza melalui email kepada Mongabay Indonesia.

Pada penelitian awal 2012 ia meneliti dampak ekonomi wisata laut ini. Kemudian berlanjut dengan perilaku manusia, nelayan dan turis. Selanjutnya pada 2015 tentang upaya mengukur gangguan yang berdampak pada mamalia laut ini. “Banyak komplain juga, namun bukan berarti wisata ini tidak bisa ditangani sehingga lebih baik,” sebutnya.

Bottlenose Dolphin, jenis lumba-lumba yang banyak digunakan untuk pertunjukan di Indonesia. Foto: NOAA
Bottlenose Dolphin, jenis lumba-lumba yang banyak digunakan untuk pertunjukan di Indonesia. Foto: NOAA

Sejumlah upaya perbaikan sudah ditempuh dengan cara diskusi antar pihak. Misalnya pada 2010 disebutkan ada 3 dari 4 kelompok wisata di Lovina yakni Kalibukbuk, Kaliasem dan Aneka menyetujui sejumlah kesepakatan, yakni tidak ngebut, menjaga jarak di sekitar lumba-lumba, dan matikan mesin atau angkat baling-baling di sekitar lumba-lumba. “Tinggal sekarang pelaksanaannya, karena masih perlu pelatihan dan diskusi reguler dengan para kapten kapal,” terang Liza.

Tentang usulan rumpon, ia tidak setuju karena itu jadi masuk ranah captivity yang sangat ditentang oleh banyak pihak. “Walaupun jukung Lovina masih ada yang kebut-kebutan, setidaknya lumba-lumbanya masih ada di laut lepas, berenang dengan bebas. Jadi yang sebaiknya dilakukan adalah mengatur agar jukung-jukung di Lovina bisa melakukan tur dengan cara yang benar. Kebanyakan kapten kapal sudah mengerti. Tinggal pendampingan terus-menerus dan pelatihan,” paparnya.

Ia mengatakan kawanan lumba-lumba ini bisa saja suatu saat pergi dari Lovina. Salah satunya penyebabnya boat traffic yang terlalu ramai dan intens.

Selama pemantauan ada 7 jenis Cetacea (lumba-lumba dan paus) sekitar perairan Lovina.  Yakni  spinner dolphins (Stenella longirostris), spotted dolphins (Stenella attenuata), Fraser’s dolphins (Lagenodelphis hosei), Risso’s dolphins (Grampus griseus), short-finned pilot whale (Globicephala macrorhynchus), Bryde’s whale (Balaenoptera edeni, pernah terpantau lewat), dan bottlenose dolphins (Tursiops sp.).

Sekitar 1980-an, Lovina mulai berkembang menjadi tempat wisata di Bali Utara. Kebanyakan turis dari negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan Eropa.

Pada 2008, dari sampel  572 turis dari 26 negara yang ke Kalibukbuk menyebutkan sekitar 72% adalah turis dari negara Barat dan 27% Asia. Kebanyakan berusia 16-35 tahun (51%). Sisanya lanjut usia dan anak-anak.

Sementara dari kuesioner 533 responden potensial, yang mengisi sebanyak 72.6%. Lebih dari 90% mengatakan mereka melihat lumba-lumba saat tur. Sejumlah penarik mereka mengikuti tur ini adalah mereka sudah pernah melihat atraksi lumba-lumba dalam kandang dan ingin melihatnya di alam liar.

Salah satu dari empat lumba-lumba yang dipertontonkan di kolam kecil di salah satu resort di Bali. Foto: dari petisi di Change.org
Salah satu dari empat lumba-lumba yang dipertontonkan di kolam kecil di salah satu resort di Bali. Foto: dari petisi di Change.org

Atraksi lumba-lumba dalam kolam di Bali beberapa kali mendapat protes, terutama dari warga asing. Misalnya pada 2014, saat pembukaan Wake Dolphin and Resto, sebuah restoran yang menyajikan atraksi lumba-lumba diwarnai aksi sejumlah aktivis perlindungan satwa.

Sementara pada 2013, restoran Akame, dekat Pelabuhan Benoa, Denpasar diduga melakukan penyiksaan terhadap dua lumba-lumba yang juga dijadikan atraksi penarik pengunjung. Lumba-lumba tersebut akhirnya disita oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.  Namun hingga kini masih ada lumba-lumba yang dijadikan atraksi di sejumlah retoran dan hotel dengan alasan berizin dan pengawasan BKSDA.

Regulasi KKP

Sejumlah lembaga konservasi terus menggiatkan jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang diharapkan bisa menyinergikan rencana pengelolaan perairan di darat dan laut secara berkelanjutan.

Kegiatan pariwisata perairan tersebar di berbagai tempat di Bali mulai dari kawasan Lovina (Buleleng) dengan dolphin watching, Tulamben (Karangasem) dengan wisata menyelam dan kapal karam USAT Liberty Wreck sebagai ikonnya, Nusa Penida dan Nusa Lembongan (Klungkung) yang terkenal dengan mencari ikan mola-mola dan pari manta, Tanjung Benoa (Badung), dan lain-lain.

Kawasan wisata perairan darat misalnya Danau Beratan (Tabanan) dan Danau Batur (Bangli). Kegiatan wisata perairan ini disebut memberikan dampak penting terhadap peningkatan ekonomi warga setempat. Contohnya kegiatan wisata bahari di Kabupaten Badung melibatkan 612 unit kapal yang menunjang wisata perairan seperti Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kuta dan Canggu.

Selama tahun 2008-2009, wisata lumba-lumba di Lovina menyumbang setidaknya USD4,1 juta per tahun (sekitar Rp38 miliar). Ini sekitar 46% Produk Domestik Bruto lokal dengan kunjungan wisatawan sekitar 37 ribu per tahun (Mustika, 2012).

Sementara kegiatan wisata selancar di Uluwatu menyumbang setidaknya USD ,4 juta per tahun (setidaknya Rp78 miliar) kepada ekonomi lokal dengan kunjungan wisatawan sekitar 123.500 orang per tahun (Margules, 2012).

Selain pariwisata dan penangkapan, wilayah perairan juga menjadi sumber penghidupan bagi berbagai warga di kawasan tersebut untuk budi daya perikanan, tambak, garam, rumput laut, dan budi daya lain.

Namun Iwan Dewantama dari Conservation International Indonesia yang fokus pada Jejaring KKP ini menyebut pemanfaatan kawasan perairan Bali disebut menghadapi beberapa masalah termasuk tidak meratanya pembagian penghasilan untuk wisata perairan antar-daerah.

Salah satu contohnya Nusa Penida di Kabupaten Klungkung yang harus berbagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Kabupaten Badung dan Denpasar yangs udah kaya. Banyak tamu di Nusa Penida (termasuk Lembongan dan Ceningan) berangkat dari Sanur (Denpasar), Benoa atau Tanjung Benoa (Badung).

Para wisatawan ini biasa membeli tiket kapal cepat mereka dari Denpasar dan Sanur, bukan dari Nusa Penida. Pemasukan secara geografis pun masuk ke Denpasar dan Badung, bukan Klungkung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,