Kasus Tambang Seret Gubernur Sultra Jadi Tersangka, KPK: Masih Ribuan Izin Bermasalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 23 Agustus 2016, menetapkan Gurbernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sebagai tersangka. Alam diduga terlibat kasus korupsi penerbitan izin usaha pertambangan nikel melibatkan beberapa perusahaan.

Ceritnya, izin tambang diberikan pada PT Anugerah Harisma Barakah (ABH). Pada 2011, Alam mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) Bombana dan Buton, Sultra. Terjadi penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi. Kebijakan ini diperkuat Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 465 Tahun 2011.

”Luasan konsesi ABH 3.084 hektar,” kata Syahrul, pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta (31/8/16).

Awal kepemimpinan Alam, berencana menghentikan operasi tambang tak produktif atau tak mampu menyumbang pajak daerah. Usut punya usut, pertemuan perusahaan dengan Gurbernur membuat kebijakan berubah seketika, dari ‘lawan’ menjadi ‘kawan.’

Alhasil, izin perusahaan langgeng dengan salah satu langkah penurunan status hutan. Berdasarkan informasi, nilai pengeluaran IUP di Sultra bisa mengantongi minimal Rp1 miliar untuk satu izin. Izin ini langgeng dari produksi sampai ekspor.

Padahal, katanya, seringkali ada kunjungan dari kementerian dan provinsi terkait untuk pengawasan. Tak pernah ada penindakan.

”Harusnya Kasus Nur Alam ini menjadi pintu masuk menguak kasus di daerah lain.”

KPK sedang mendalami keterkaitan dengan PT Billy Indonesia, memiliki tambang di Bombana dan Konawe Selatan, tempat AHB menambang nikel (2009-2014).

Perusahaan ini memiliki rekan bisnis Richcorp Internasional berbasis di Hongkong. Selama ini impor nikel dari Billy Indonesia.

Berdasarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) yang dikeluarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perusahaan pernah mengirim US$4,5 juta ke Alam. Gubernur ini satu dari 10 kepala daerah yang memiliki rekening gendut.

Berdasarkan data Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, ada sekitar 4,93 juta hektar hutan lindung dan 1,3 juta hutan konservasi beralih fungsi menjadi pertambangan.

”Itu baru terungkap saat penggabungan data antara Dirjen Minerba ESDM dan Dirjen Planologi dan Tata Ruang KLHK 2014,” kata Dian Patria, Ketua Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, Bidang Pencegahan KPK.

Alam tersangka karena menyalahgunakan wewenang dalam menertiban surat keputusan (SK persetujuan percadangan wilayah pertambangan, dan persetujuan izin usaha pertambangan eksplorasi. Juga, SK Persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi jadi izin operasi produksi AHB.

Sumber: presentasi dalam diskusi Jatam di KPK
Sumber: presentasi dalam diskusi Jatam di KPK

Ribuan IUP bermasalah

Berdasarkan data KPK dari 10.172 IUP pertambangan, 3.966 IUP bermasalah pada Februari 2016. Banyak izin bermasalah dicurigai mengandung korupsi melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin.

IUP bermasalah, antara lain, IUP ganda di kawasan sama, IUP alamat tak sesuai, kawasan hutan lindung atau konservasi dan pemegang IUP tak punya Nomor Pokok Wajib Pajak.

Menurut Dian, beberapa izin dibuat seolah-olah memenuhi aspek regulasi dan data administrasi. Setelah dikaji, ditemukan banyak permasalahan dalam penerbitan izin hingha menimbulkan eksploitasi sumber daya alam. Jika dihitung, dampak kajian ekonomi dan ekologi mencapai Rp4.000 triliun.

Hingga Agustus 2016, masih ada 3.772 IUP bermasalah. ”Ada sekitar 1.000 IUP bermaslah dilaporkan bupati ke gurbernur untuk ditindaklanjuti,” katanya.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, diperkuat Permen terkait Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Minerba, Gurbernur pun memeliki kewenangan dalam memperbaiki IUP bermasalah.

“Jangan-jangan semua main mata, jangan-jangan ada suap, mulai dari pemberian izin dan proses produksi dilaporkan hanya sedikit. Akhirnya kami berpendapat, KPK tak bisa hanya bicara.”

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerl (ESDM) ambil alih penertiban IUP bermasalah.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,