Tata Ruang Amburadul Menyulitkan Urus Verifikasi Legalitas Kayu

Indonesia merupakan negara pertama pengekspor produk kayu yang memperoleh lisensi  Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Uni Eropa pada 15 November 2016 nanti.

Lisensi ini menjamin bahwa semua ekspor produk kayu Indonesia yang telah bersertifikasi SVLK tidak perlu melalui uji tuntas sesuai dengan Undang-undang Perdagangan Uni Eropa.

Pengusaha dan perajin kayu dari hulu sampai hilir yang mengikuti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) akan otomatis teregister dan mendapat lisensi FLEGT.

Namun urusan legalitas kayu juga terkait dengan perencanaan tata ruang. Jika tata ruangnya amburadul, akan menyulitkan pengusaha dan perajin mengurus persyaratan SVLK. Misalnya dalam pengurusan surat izin tempat usaha yang dicocokkan dengan tata ruangnya. Hal ini disampaikan sejumlah pihak dalam sosialisasi FLEGT Indonesia di Bali, minggu lalu yang dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Caecilia Tamara Soejitno dari Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengatakan Bali tata ruangnya amburadul. “Kalau semua pemilik showroom (kerajinan) jadi SVLK tak mungkin. Industri jadi tidak ada, yang gelondongan bisa dihitung jari. UMKM mencari SKTU bayarnya mahal,” ujarnya menyampaikan keluhan sejumlah rekannya.

SVLK mewajibkan tiap pemohon mempunyai sejumlah dokumen legal. Logikanya jika tata ruang tak jelas maka mendapatkan surat-surat terkait izin usaha akan susah karena bisa jadi lokasi tak sesuai dengan jenis kegiatan. Asmindo baru-baru ini bersama AMKRI bergabung menjadi satu yakni Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).

Hal serupa disampaikan Luther Teguh Margono, Ketua Wakil Bidang Regulasi HIMKI Bali.  “Di Bali banyak UMKM sulit mengurus SLVK. Izin Mendirikan Bangunannya bukan industri. Kami mohon bedakan syaratnya,” pintanya.

Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani
Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani

I Ketut Ngurah Tusta Buana Kepala Bidang Industri Agro Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali menyebut ada 2647 UMKM berbasis kayu mayoritas berlokasi di daerah wisatawan yakni Gianyar dan Badung karena dominan produk kerajinan. Ada 67 eksportir dengan nilai ekspor USD110 juta ke 89 negara. Komoditas bernilai tinggi seperti furniture dan rumah kayu.

Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, KLHK mengatakan jika masih ruwet mengurus SVLK mohon dipermudah birokrasinya. “Biaya relatif, persen terhadap omzet. Ada kecenderungan pelaku usaha memilih diurus pihak ketiga sehingga biaya tinggi,” katanya.

Dari Bali, produk untuk pasar Eropa mayoritas highend seperti mebel kelas tinggi, perabot, dan lainnya. Ia mengamini menjaga kredibilitas legalitas dan asal usul kayu tak mudah.

“Lisensi tak serupa ijazah sekolah. Sekali dipegang kan tak pernah ditarik kembali. Jika tak terbukti konsisten, banyak celah kayu illegal dompleng, kita dapat persoalan mungkin ditinjau kembali,” serunya. Untuk mencegahnya ada sistem jaringan pemantau konsorsium NGO dan menyampaikan apabila ada aturan yang tak konsisten dengan syarat SVLK.

Tujuan akhir lisensi FLEGT adalah merebut pangsa pasar, penerimaan ekspor, serta mengatasi kayu illegal dari Indonesia. Untuk dalam negeri ia berharap hanya yang dapat SVLK yang bisa ikut lelang dalam pengadaan barang dan jasa. “ Kita akan rekrut role model dari artis muda untuk sosialisasi termasuk melibatkan MUI bahwa kayu ilegal haram karena semua yang ilegal haram,” tambah pria ini.

Ekspor kayu dan produknya ke Uni Eropa (EU) kecil hanya 11% dari total ekspor dan nilainya jauh dibanding Cina, Korea, dan Jepang. FLEGT wujud fisiknya adalah logo dalam Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) mendampingi SVLK dan otomatis terupdate pada 15 November nanti. “Baru kayu melibatkan parlemen Eropa karena penyangga kehidupan dan terkait kerusakan hutan,” lanjutnya.

Indonesia bukan satu-satunya dalam perjanjian sukarela ini. Bedanya, negara lain mengikat perjanjian dulu baru memikirkan sistem penelusuran atau garansi legalitas kayu. “Kita sudah membangun sistemnya, ketika perjanjian dengan Eropa kita tawarkan untuk diakui sebagai instrument pembuktian legalitas kayu,” paparnya.

Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani
Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani

Pada aktivasi lisensi ini pada November nanti Indonesia sudah bisa menerbitkan FLEGT yang menyertai ekspor produk dan masuk jalur hijau tanpa uji tuntas. “Beri keuntungan kompetitif luar biasa, kita pertama kali. Perbaiki tata kelola kehutanan bukan seolah memenuhi pasar Eropa karena kerugian sudah triliunan karena kekacauan sosial kerusakan hutan,” ujarnya.

Mariana Lubis Kepala Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu KLHK menambahkan ada 15 negara yang melakukan perjanjian lisensi sukarela FLEGT dengan EU misal negara Amerika latin, Afrika, Indonesia, Vietnam, Singapura, Thailand, dan lainnya. “Ini bukan akhir, karena 14 pesaing lain mencari lisensi ini. Ini baru awal pertandingan berikutnya,” ingatnya.

Produk kertas yang tak berasal dari kayu tapi recycle akan disertai surat keterangan Kementrian Perindustrian bahwa non-wood dan tak perlu FLEGT. Sementara untuk evaluasi akan dilakukan setelah 2 tahun setelah November yakni 2017, komisi EU beri laporan bagaimana hasil FLEGT untuk evaluasi perjanjian.

Menurut Mariana implikasinya bagaimana menjaga kredibilitas. “Kemarin ada yang tak menerbitkan lisensi SVLK karena berakhir sertifikatnya. Ada yang tak mau surveillance, harus dicabut. Permainan ini sudah dimainkan, KLKH hanya fasilitator, jangan merengek jika ada order,” sebutnya.

Kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumetasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtangannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Audit verifikasi legalitas kayu (VLK) dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)

Saat ini ada 22 lembaga usaha penerbit tanda V-legal.Untuk sekitar 2000 industri meliputi 2 juta hektar lahan, serta 1800an eksportir yang mendapat SVLK.

Contoh produk fair trade. Foto : Mitra Bali
Contoh produk fair trade. Foto : Mitra Bali

Rubianto, Direktur PT. Mutu Hijau Indonesia dan juga  Forum Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) menyebut biaya bisa ditekan jika mengurus dengan berkelompok. Saat ini 22 anggota LVLK dengan 396 auditor siap memproses dokumen FLEGT, dan perlu evaluasi rutin apakah sistem berjalan.

Menurutnya perlu promosi jika menggunakan produk kayu legal untuk menunjang pemasaran. “Banyak yang masih tak peduli asal usul kayu, perlu meningkatkan kesadaran konsumen. Karena kayu ilegal pasti lebih murah,” lanjutnya.

Muhammad Ichwan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) simpul Jawa Timur menyebut mereka mengawal implementasi SVLK untuk menjaga konsistensi. Pemantau independen adalah masyarakat perorangan atau lembaga berbadan hukum yang menjalankan fungsi pemantauan terkait penerbitan S-PHPL, S-LK, DKP, dokumen V-Legal, hasil uji tuntas, dan pembubuhan V-Legal. Sesuai Permen LHK No 30/2016.

Di Bali belum ada JPIK. Ada 4 kelompok jaringan kehutanan seperti Aliansi Pemantau Independen Kehutanan Sumatera (APIKS), Koalisi Anti-Mafia Kehutanan, dan Eyes on The Forest dari WWF. Lebih dari 100 lembaga yang bergabung dalam JPIK.

Dideklarasikan 64 LSM pada 2014, sudah ada kode etik dan metodelogi melakukan pemantauan. Standar kerja pemantauan dari hulu ke hilir sampai ekspor, code of conduct, metodelogi pemantauan, standar komunikasi, dan koordinasi.

Mandat JPIK adalah pengembangan kapasitas, monitoring, dan perbaikan sistem. Pengembangan kapasitas seperti pelatihan NGO, komunitas, dan kampanye publik. Monitoring meliputi akreditasi, implementasi SVLK, dan pasar. Sementara di perbaikan sistem misalnya informasi publik, keamanan.

“Kawan saya di hulu dan industri pernah ada intimidasi, pemantau independen tak bisa digugat perdata atau pidana dalam memantau SVLK. Di Jatim lebih dari 2000 industri dan pemantau hanya 30. Memantau sebisa kami di pusat pengapalan seperti Gresik, Surabaya dan usaha besar dari hutan alam,” jelas Ichwan.

Kampanye fair trade untuk anak sekolah FFTI. Foto : Anton Muhajir
Kampanye fair trade untuk anak sekolah FFTI. Foto : Anton Muhajir

Peluang dan tantangan FLEGT saat ini menurutnya bagi pendampingan industri kecil agar pemerintah mendukung dan implementasi kebijakan pengadaan barang dan jasa dalam negeri juga SVLK tak hanya untuk pasar luar negeri saja. Salah satu daerah yang sudah melakukan adalah Klaten.

Juga penguatan pemantauan untuk mengungkap pelanggaran yang mengancam kredibilitas. “Memastikan EU hanya menerima kayu Indonesia karena pertama kali yang mendapatkan. Kita akan lihat konsistensi EU seperti apa?” katanya.

Penegakan hukum disebut belum tajam, misal di Semarang ada modus penyalahgunaan ekspor belum direspon.“Untuk apa sistem ini kalau tak ditindaklanjuti? Nanti diremehkan,” imbuh Ichwan.

Putu Ogi eksportir dan produsen rumah kayu di Bali membagi pengalamannya beli kayu di Surabaya harus SVLK tapi perusahaan itu tak mau menerbitkan invoice. Ini dinilai salah satu modus dan JPIK berjanji akan menelusurinya.

SVLK melalui FLEGT diakui oleh 28 negara anggota Uni Eropa sebagai suatu sistem yang menjamin bahwa bahan baku produk kayu Indonesia tidak berasal dari pembalakan liar. Diperkirakan Lisensi FLEGT Indonesia akan secara resmi berlaku pada 15 November 2016 setelah semua otoritas kompeten di semua negara anggota Uni Eropa telah siap menerima ekspor produk kayu dengan Lisensi FLEGT dari Indonesia.

Momentum pengapalan pertama ekspor produk kayu Indonesia berlisensi FLEGT akan dirayakan baik di Indonesia maupun di Eropa untuk menandai momen bersejarah ini.  Setidaknya ada 2 kota tujuan di Eropa yang akan merayakan kedatangan produk kayu berlisensi FLEGT dari Indonesia: yaitu Brussels dan London.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,