Apa Manfaat Revisi Permen No 15 Tahun 2016 untuk Ikan Hidup?

Kendala pengangkutan ikan hidup yang selama ini belum terpecahkan sejak Peraturan Menteri Nomor 15 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup diterbitkan, kini mulai bisa diatasi. Hal itu, seiring dengan diterbitkannya revisi Permen tersebut yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, di dalam revisi yang baru diterbitkan, terdapat sejumlah perubahan yang cukup mendasar dan memberi kemudahan serta keleluasaan akses untuk pengangkutan ikan hidup oleh kapal-kapal logistik.

“Dengan perubahan ini, maka kendala bisa diatasi. Kendalanya adalah masih banyak ikan hidup yang tidak terangkut. Itu terjadi karena keterbatasan armada kapal dan juga frekuensi yang terlalu sedikit,” ungkap dia

Saat ini, KKP sudah menerbitkan 11 izin untuk kapal angkut ikan hidup. Dari 11 izin tersebut, 6 kapal adalah kapal asing dan sisanya adalah kapal ikan Indonesia. Dengan adanya perubahan Permen, maka dipastikan KKP akan menambah izin untuk kapal angkut ikan hidup lebih banyak lagi.

Di antara perubahan yang ada dalam revisi, ialah perubahan batasan ukuran untuk kapal pengangkut ikan hidup. Menurut Slamet, sebelum direvisi, ukuran kapal pengangkut maksimal hanya 300 gros ton (GT) saja. Tetapi, setelah direvisi, ukurannya bertambah hampir dua kali lipat menjadi maksimal 500 GT.

“Paling besar ukurannya 300 GT dari hasil tangkap dan 500 GT dari hasil budidaya. Dinaikkan dari sebelumnya 300 GT ke 500 GT untuk budidaya. Dulu tempat diizinkan 1, sekarang diizinkan 4. Pengusaha bisa pilih dari 181 pelabuhan muat singgah yang ada di Indonesia,” ujar Slamet.

Yang dimaksud dengan bebas pemilihan tempat, menurut Slamet, adalah pelabuhan yang menjadi tempat singgah untuk kapal-kapal asing yang menjadi kapal pengangkut ikan hidup. Jika sebelum revisi maksimal hanya boleh di satu pelabuhan saja, kata dia, setelah revisi kapal asing boleh bebas memilih empat pelabuhan dari 181 pelabuhan yang ada.

“Itu untuk kapal asing. Kalau untuk kapal ikan Indonesia tidak ada pembatasan untuk pelabuhan yang dikunjungi. Jadi bebas mau kemana saja,” tutur dia.

Selain penambahan jumlah pelabuhan singgah, Slamet menjelaskan, dalam revisi Permen tersebut juga diubah regulasi untuk frekuensi operasi dari masing-masing kapal pengangkut ikan. Jika sebelumnya maksimal hanya boleh enam kali saja dalam setahun, kata dia, sesudah direvisi ada perubahan menjadi maksimal 12 kali dalam setahun.

“Tapi tetap ikan tidak boleh ditangkap dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan tidak ditangkap di wilayah konservasi,” ucap dia.

Nelayan melakukan bongkar muatan ikan hasil tangkapan, di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar
Nelayan melakukan bongkar muatan ikan hasil tangkapan, di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

Slamet mengungkapkan, perubahan-perubahan dalam Permen No. 15 Tahun 2016 disesuaikan dengan kesepakatan antara pihak KKP dan pihak pengusaha yang terkait langsung dengan Permen ini. Dengan adanya Permen ini, diharapkan percepatan dalam program pembangunan di sektor perikanan dapat terus dilakukan.

“Dengan adanya perubahan ini, kita ingin para pengusaha di budidaya terus meningkat. Kita inginkan percepatan dalam program pembangunan di sektor perikanan,” sebut dia.

Kelestarian Lingkungan

Lebih lanjut Slamet memaparkan, penerbitan revisi Permen No 15 Tahun 2016, tidak lain adalah untuk kelestarian lingkungan. Tujuan tersebut direalisasikan dalam Permen dengan adanya pemisahan antara perikanan budidaya dan tangkap. Perbedaan tersebut, ada dalam asal usul benih yang digunakan.

“Selain itu, tujuan diterbitkannya Permen No. 15 Tahun 2016 adalah untuk mewujudkan sumber daya ikan yang bertanggung jawab serta mencegah Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia,” tegas dia.

Slamet menambahkan bahwa lingkungan yang tercemar berdampak sangat besar pada perikanan budidaya. Oleh karena itu, sangat penting menerbitkan Permen yang berpihak kepada kelestarian lingkungan.

Terkait dengan kendala sebelum diterbitkan revisi, Slamet menyebut, memang terasa sangat signifikan. Hal itu, karena sebelum revisi, banyak sekali keluhan yang muncul dari para pemilik kapal angkut dan juga pengusaha budidaya di seluruh Indonesia.

“Memang, dengan kapal yang sedikit dan frekuensi yang terbatas serta jumlah singgah yang terbatas, pengangkutan ikan hidup juga menjadi sangat terbatas. Kita harapkan, setelah revisi ini akan ada peningkatan berkali-kali lipat untuk pengangkutan ikan hidup,” jelas dia.

Sementara itu Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hibilindo) Effendy mengakui jika perubahan Permen bisa berdampak positif untuk ke depan. Pasalnya, selama ini daya angkut masing-masing kapal maksimal hanya 15 ton saja untuk ukuran maksimal 300 GT. Sementara, dengan ditambah tonase kapal, maka maksimal daya angkut menjadi 500 GT.

“Itu artinya, kita prediksi minimal akan ada peningkatan signifikan pengangkutan ikan hidup dari 15 ton menjadi 45 ton per sekali angkut,” tutur dia.

Dengan adanya perubahan tersebut, Effendy juga optimis pengangkutan ikan hidup jenis kerapu yang produksinya mencapai 3.000 ton per tahun akan bisa terangkut lagi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,