Banyak Kepentingan Politik Bermain, Energi Terbarukan pun Lambat, Malah Dorong Batubara

Peralihan sektor energi Indonesia dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) harus ada komitmen politik kuat dari Presiden Joko Widodo. Apalagi, tekad Indonesia andil dalam menekan penurunan emisi karbon cukup tinggi pada 2030, sebesar 29%, dengan bantuan luar 41%.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar pengelolaan EBT, mencapai 800 Giga Watt. Sayangnya, baru satu persen termanfaatkan, sekitar 800.000-900.000 Watt.

William Sabandar, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, beberapa negara tetangga mulai meninggalkan pembangkit listrik menggunakan batubara.

Indonesia, katanya, malah sebaliknya, meminimalkan ruang pengembangan EBT dan menggenjot PLTU batubara, lewat proyek pengembangan pembangkit listrik 35.000 MW, sekitar 60%  menggunakan batubara.

”Perlu ada komitmen dalam pelaksanaannya,” katanya dalam diskusi akhir Agustus lalu.

Selama ini,  wacana menuju energi bersih selalu terganggu kepentingan politik. Pandangan batubara dan EBT selalu dibedakan dan dilihat sebagai persaingan bisnis.

Padahal, konsumsi energi di Indonesia tak akan cukup jika hanya pengembangan bahan bakar fosil maupun batubara.

”Perlu ada perubahan mindset dan memiliki strategis cerdas supaya tak ketergantungan pada fosil. Kita perlu diversifikasi energi,” katanya.

EBT sangat cocok untuk negara kepulauan. Kala menggunakan pembangkit listrik perlu ada interkoneksi. ”Indonesia bagus dibangun model off grid, jadi pembangunan berdasarkan maritime base economy.”

Posisi April 2016. Sumber: PT PLN

 

 

Kendala pengembangan EBT

William mengatakan, teknologi EBT terbilang mahal tetapi hanya pada pembangunan awal. Ia akan makin menurun beberapa tahun ke depan.

Untuk awal, Indonesia perlu menyiapkan ahli pembangunan teknologi dengan pengembangan energi lokal, dengan sumber daya manusia dan para ahli yang mampu mentransfer terknologi. Salah satu, katanya, komponen baterai menyimpan cadangan listrik.

”Kita bangun pabrik baterai di Indonesia, selama ini sudah ada namun Indonesia tidak menggunakan. Kita tingkatkan R&D fund untuk membawa teknologi ke Indonesia,” katanya.

Berdasarkan fakta lapangan, banyak pembangkit tenaga surya mangkrak karena tak ada baterai. Melalui langkah ini, ESDM perlu menyiapkan di setiap pulau untuk workshop bersama masyarakat menciptakan energi berkelanjutan.

Dalam pelaksaan teknis, Indonesia masih membutuhkan subsidi. Jika dibandingkan harga EBT di Tiongkok,  yang menggunakan energi matahari dan angin, harga 5-7 sen per kWh. Di Indonesia, harga energi batubara 8-9 sen per kWh.

”Memang dalam pengembangan EBT sembilan tahun ke depan perlu subdisi hingga Rp200 triliun, itu tidak sebanding dengan subsidi sektor migas 10 tahun lalu mencapai Rp2.200 triliun.”

Nanti, katanya, leading sector KESDM bersama kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Riset dan Teknologi dan lain-lain.

Dia akan memetakan sumber daya lokal bekerjasama   dengan Balitbang KESDM.

”ESDM harus buat peta, dalam setahun harus selesai. Setelah itu disosialisakan dengan masyarakat. Dalam dua-tiga tahun sebenarnya pengembangan bisa selesai. Harus konsisten dan kebijakan terkait ini tidak diganggu.”

Pengembangan EBT, tak perlu ditunda-tunda lagi. Pasar global juga sedang mengusung isu ini.

Kolam tambang batubara di Samarinda, yang merenggut nyawa salah satu anak. Meskipun sudah puluhan anak tewas, tetap saja tak ada tindakan tegas dan jelas dari pemerintah terhadap para perusahaan. Foto: Jatam Kaltim

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyambut baik pengembangan EBT. ”Perlu pola konsumsi berkelanjutan untuk ketersediaan generasi masa mendatang,” katanya.

Harga energi ke depan,  sangat berpengaruh pada sektor pangan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dia mendesak pemerintah tak ragu dalam memberikan subsidiri untuk EBT ini.

Hindu Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, sulit meyakinkan masyarakat bahwa energi fosil kotor dan buruk. Padahal, dampak kesehatan batubara menyebabkan kematian dini hingga 6.500 per tahun.

”Perlu ada peningkatan awareness dan building knowledge kepada masyarakat.”

 

 

Model kalkulasi pemanfaatan energi

Pada kesempatan sama, Indonesia memiliki I2050PC (Indonesia 2050 Pathway Calculator). Ini sebuah model kalkulasi pemanfaatan energi dan dampak pada pemanfaatan energi seperti lahan dan emisi gas rumah kaca.

Sebelumnya, pada Maret 2015, bersama Balitbang KESDM telah meluncurkan ini bersama Departemen Lingkungan dan Perubahan Iklim Kerajaan Inggris. Kemudian diperbaharui oleh Pelangi, Institut Deliverologi Indonesia (IdeA) dan Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI). Kini, penggunaan lebih mudah.

”Melalui aplikasi ini, mampu menghitung penggunaan energi setiap sektor, dapat menunjukkan skenario yang dapat dilakukan hingga implikasi,” ucap Agus Sari, IdeA.

Melalui alat, katanya, mampu menjadi analisis kebijakan dari para pemangku kepentingan misal, menghitung batasan terkait energi fosil yang mampu diaplikasikan di Indonesia.

Sumber: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,