Ahli: Kawasan Ekosistem Leuser Tidak Boleh Hilang dari RTRW Aceh

Sidang gugatatan masyarakat Aceh terhadap Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), karena mengesahkan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tanpa memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (6/09/2016).

Saksi ahli yang diminta pendapatnya adalah Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Prof. Emil Salim dan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Dr. Syahrul.

Prof. Emil Salim dalam keterangannya pada majelis hakim mengatakan, KEL harus masuk dalam Qanun atau Peraturan Daerah tentang RTRW Aceh. “KEL merupakan kawasan strategis nasional (KSN), dan juga diatur dalam perundang-undangan. Tidak ada alasan utnuk tidak memasukkan KEL dalam Qanun RTRW Aceh.”

Emil Salim yang juga guru besar Universitas Indonesia itu menyebutkan, pembentukan KEL sudah sejak lama diperjuangkan, sejak 1920, jauh sebelum Indonesia merdeka. “Saat itu, pimpinan lokal di Aceh menentang invansi kolonial Belanda yang ingin mengkonversi hutan untuk menjadikan pertambangan dan perkebunan. Mereka menentang pengrusakan hutan karena keunikan KEL dari segi keanekaragaman hayati.”

KEL juga merupakan kawasan strategis nasional. Dibentuk untuk kepentingan nasional, meliputi pertahanan dan keamanan negara serta ekonomi, sosial dan geopolitik. “Penghapusan KEL tidak bisa serta merta dilakukan. Termasuk menghapusnya dari RTRW Aceh. KEL merupakan satu dari 25 kawasan ekosistem dunia yang penting dan unik,” tegas Emil Salim.

Syahrul juga mengatakan hal yang sama. KEL merupakan kawasan terpenting yang harus diproteksi dan tidak boleh dihilangkan dari RTRW Aceh. “KEL memang tidak identik dengan kawasan lindung, kawasan suaka alam, suaka margasatwa, dan lainnya. Namun, semua kawasan itu menjadi wilayah KEL karena keunikannya.”

Syahrul menambahkan, KEL meliputi Taman Nasional Gunung Leuser dan ratusan ribu hektare kawasan lindung, suaka margasatwa yang ada di Aceh dan sebagian di Sumatera Utara. KEL yang terhubung dalam satu kesatuan memiliki keragaman hayati, sosial, suku, dan ekonomi serta menjadi tempat cadangan air.

“Di KEL, ada ratusan aliran sungai yang saling terhubung dan berasal dari sumber utama yang satu. Jika satu terganggu, akan berdampak pada sungai-sungai lainnya. Karena itu, KEL harus diproteksi.”

Hutan Aceh yang kaya akan keragaman hayati dan habitatnya satwa liar dilindungi. Foto: Rhett Butler

Lalai

Sebelumnya, Nurul Ikhsan, koordinator tim kuasa hukum GeRAM (Gerakan Rakyat Aceh Menggugat), mengatakan, kliennya menggugat Mendagri karena dianggap lalai mengawasi Pemerintah Aceh yang menetapkan Qanun RTRW tanpa mengakomodir kawasan strategis nasional.

Sedangkan Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh yang tidak memasukan beberapa substansi penting, yang diamanahkan dalam RTRW Nasional.

“Seperti KEL, yang tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Padahal, KEL diatur dalam RTRW Nasional dan juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.”

Menurut Ikhsan, mengabaikan amanat undang-undang merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, penggugat sebagai warga negara mengajukan gugatan untuk mendapatkan keadilan. “Tuntutan gugatan klien kami bukan materi. Tapi, mengakomodir kawasan strategis seperti KEL dimasukkan dalam RTRW Aceh.”

Sementara pakar hukum Aceh, Mawardi Ismail mengaku bingung dengan tidak dimasukkannya KEL dalam RTRW Aceh, padahal KEL masuk dalam kawasan strategis nasional. Sedangkan beberapa kawasan strategis nasional yang lain di Aceh, masuk dalam RTRW Aceh. “Pemerintah Aceh beralasan, KEL tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh karena telah masuk dalam kawasan strategis nasional.”

Prof. Emil Salim saat meberikan keterangan di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (6/09/2016). Foto: Dok. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (Geram)
Prof. Emil Salim saat meberikan keterangan di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (6/09/2016). Foto: Dok. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (Geram)

Tercatat, sembilan masyarakat Aceh menggugat Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan DPRA karena tidak memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh.

Mereka adalah Effendi (Aceh Besar), Juarsyah (Bener Meriah), Abu Kari (GayoLues), Dahlan (Kota Lhokseumawe), Kamal Faisal (Aceh Tamiang), Muhammad Ansari Sidik (Aceh Tenggara), Sarbunis (Aceh Selatan), Najaruddin (Nagan Raya), dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.

Efendi, salah seorang penggugat mengatakan, keterangan sejumlah saksi ahli yang mengatakan, KEL harus dimasukkan dalam RTRW Aceh merupakan bukti bahwa Mendagri, Gubernur dan DPRA telah melanggar hukum. “KEL memiliki sejarah panjang dalam penunjukkannya, dan memiliki filosofi yang cukup kuat di masyarakat Aceh khususnya yang tinggal di sekitar hutan tersebut.”

Efendi melakukan gugatan karena KEL telah memberikan kehidupan pada masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Misal, menyediakan oksigen, air, dan menopang perekonomian masyarakat sekitar.

“Hakim harus mempertimbang keterangan saksi ahli, terlebih Emil Salim yang merupakan  profesor lingkungan hidup terbaik di Indonesia. Semua ini demi kepentingan bersama, Indonesia juga dunia,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,