Kerang Mengandung Arsenik dan Sianida, 63 Warga Jeneponto Keracunan, 2 Meninggal

Mata Daeng Amin (45) berkaca-kaca. Ia hampir menangis ketika menceritakan bagaimana istrinya Daeng Bombom (43) meradang nyawa sehabis keracunan akibat menyantap daging kerang hijau atau oleh warga setempat dikenal dengan nama tude, hampir dua pekan sebelumnya.

“Tidak bisa naangkat badannya, loyoki dan ndak bisa goyang. Sempat juga bergetar badannya. Jadi langsung dibawa ke Pustu. Karena Pustu tak sanggup lalu dibawa ke rumah sakit di Takalar. Besoknya pagi-pagi sekitar jam 10.30 na meninggal,” katanya dengan nada suara sedih ketika ditemui Mongabay, Jumat (09/09/2016), di rumahnya, di Dusun Bungungpandang.

Daeng Bombong adalah satu dari 63 warga korban keracunan kerang di Dusun Bungungpandang, Desa Mallosoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, pada Senin (29/8/2016) lalu. Dalam kejadian ini dua warga meninggal, selain Daeng Bombong juga ada warga lain yang bernama Maimunah. Sementara 61 warga lainnya harus menjalani perawatan intensif di sejumlah rumah sakit.

Menurut Akib atau Daeng Alle, salah seorang warga setempat, kejadian ini bermula dari fenomena munculnya kerang dalam jumlah banyak di pinggir pantai Bungungpandang.

“Barusan hari itu tiba-tiba banyak tude muncul di pinggir laut yang lagi surut. Karena banyak tude maka warga dari sini dan kampung sebelah berdatangan. Ada yang bawa karung dan mobil. Inimi yang kemudian dibagi-bagi ke keluarga dan tetangga. Makanya banyak yang keracunan,” ungkapnya.

Selesai menyantap kerang tersebut, hampir bersamaan mulai berjatuhan korban. Ada yang langsung jatuh dan sulit bergerak, seperti Daeng Bombong. Ada juga yang mual dan muntah, kepala sangat pusing, tekanan darah naik drastis, wajah bengkak dan mulut kebas atau mati rasa.

Hadijah (60) pensiunan guru yang juga menjadi korban keracunan bersama suami, anak dan menantunya, menceritakan bagaimana tekanan darahnya tiba-tiba meningkat tajam hingga 179, disertai rasa pusing, sehabis menyantap kerang tersebut. Ia harus menjalani opname selama dua hari di RS Bhayangkara Makassar.

Suaminya bernama Anwar, yang juga pensiunan guru adalah yang paling parah kondisinya sehingga harus opname hingga 5 hari.

“Ia muntah-muntah. Katanya, perasaannya seperti mau terbang, badannya terasa ringan sekali. Kita lihatmi meski sudah keluar rumah sakit ia masih pincang-pincang jalannya,” ungkap Hadijah.

Kerang tersebut diperolehnya dari tetangga. Ia tak menaruh curiga akan kandungan racun di kerang tersebut, karena sepanjang hidupnya ia sudah sering mengkonsumsinya.

“Kita tak pernah berpikir kalau tude itu ada racunnya. Dari dulu, bahkan dari nenek moyang kami sudah makan tude tidak pernah ada kejadian seperti ini.”

Daeng Amin yang berprofesi sebagai buruh bangunan ini memperlihatkan foto istrinya, Daeng Bombong, yang meninggal akibat keracunan kerang yang mengadung arsenik dan sianida. Sesaat setelah menyantap kerang Daeng Bombong langsung kejang-kejang dan tak sadarkan diri. Foto: Wahyu Chandra
Daeng Amin yang berprofesi sebagai buruh bangunan ini memperlihatkan foto istrinya, Daeng Bombong, yang meninggal akibat keracunan kerang yang mengadung arsenik dan sianida. Sesaat setelah menyantap kerang Daeng Bombong langsung kejang-kejang dan tak sadarkan diri. Foto: Wahyu Chandra

Daeng Alle kemudian menunjukkan lokasi dimana kerang tersebut diperoleh. Di daerah tersebut terdapat dua aktivitas industri, yaitu PLTU Jeneponto yang sudah beraktivitas lima tahun terakhir dan sebuah tambak udang super intensif yang dikelola swasta dari luar setahun terakhir.

Lokasi PLTU sendiri agak jauh dari tempat tersebut, sementara tambak udang hanya beberapa ratus meter dan terlihat di kejauhan.

Daeng Alle sendiri mengakui tidak bisa memastikan penyebab beracunnya kerang tersebut, meskipun di kalangan warga mulai muncul spekulasi penyebabnya antar satu dari kedua aktivitas industri tersebut.

“Kita tidak bisa menuduh begitu saja sebelum adanya bukti. Makanya kita berharap pemerintah bisa meneliti lebih lanjut. Kalau memang penyebabnya adalah PLTU atau tambak maka harus segera diambil tindakan. Yang kita khawatirkan jangka panjangnya, apalagi kalau ada limbahnya dan meresap ke dalam tanah,” ungkapnya.

Adanya kandungan Arsenik dan Sianida

Terkait kasus keracunan massal ini, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dalam penjelasannya kepada Mongabay menyatakan adanya kandungan arsenik dan sianida dalam kerang tersebut.

“Setelah kita teliti sampel dari lokasi, kita pastikan kerang tersebut mengandung arsenik dan sianida. Arsenik itu kan sejenis logam sementara sianida itu kan bahan kimia yang memang tidak boleh ada sama sekali ada pada pangan,” ungkap Nunuk Sugiyanti, Kepala Seksi Layanan Informasi Konsumen BBPOM Makassar, Rabu (07/09/2016).

Pantai Bungungpandang, Jeneponto, Sulsel, lokasi dimana kerang tiba-tiba muncul ke permukaan dalam skala besar, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Puluhan warga kemudian datang membawa karung dan bahkan mobil untuk mengambil kerang untuk dibagikan kepada warga desa lainnya. Foto: Wahyu Chandra
Pantai Bungungpandang, Jeneponto, Sulsel, lokasi dimana kerang tiba-tiba muncul ke permukaan dalam skala besar, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Puluhan warga kemudian datang membawa karung dan bahkan mobil untuk mengambil kerang untuk dibagikan kepada warga desa lainnya. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Nunuk, meski syarat minimal yang diperkenankan adalah 1 ml per kg namun sebenarnya arsenik dan sianida ini tak boleh ada sama sekali dalam pangan yang dikonsumsi.

“Kami di laboratorium meneliti tidak untuk mengidentifikasi berapa kadarnya. Kami hanya identifikasi secara organoleptik dengan menggunakan alat rapid test yang menunjukkan positif adanya arsenik dan sianida. Untuk penelitian lanjutnya itu di bagian lain. Jumlah sampel yang digunakan ada dua jenis, ada yang sudah dimasak dan mentah yang kami ambil langsung ambil di lokasi.”

Meski sudah menduga penyebabnya, namun Nunuk belum bisa menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat karena harus diuji lanjut di laboratorium, khususnya air laut yang diambil dari lokasi.

“Kita ingin memastikan apakah racun itu dari air lautnya atau dari kerang. Kerang kan memakan semua biota dalam laut. Makanya kami belum bisa menjustifikasi. Bisa jadi memang ini pencemaran, tapi bisa jadi juga karena proses alami yang terjadi di sana.”

Terkait fenomena banyaknya kerang yang muncul di permukaan, dugaan Nunuk, karena kerang-kerang ini sudah sangat tertekan di bawah laut sehingga kemudian naik.

“Itu kemungkinan-kemungkinan saja. Ini harus lebih lanjut di laboratorium. Kalau salah justifikasi kita bisa dituntut. Tugas kami memang hanya menguji kandungan kerang itu saja untuk saat ini.”

Hasil pemeriksaan dari BBPOM Makassar menunjukkan adanya kandungan arsenik dan sianida di dalam daging kerang yang dikonsumsi warga Desa Mallosoro, Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra
Hasil pemeriksaan dari BBPOM Makassar menunjukkan adanya kandungan arsenik dan sianida di dalam daging kerang yang dikonsumsi warga Desa Mallosoro, Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Terkait tidak samanya kondisi korban, menurut Nunuk, bisa jadi terkait perlakuan terhadap kerang tersebut sebelum dikonsumsi.

“Mungkin ini karena faktor kebersihan. Ada yang mencuci betul kerangnya sebelum dimasak, tapi ada juga yang cuci sekedarnya atau malah sama sekali tak mencuci,” tambahnya.

Keberadaan sianida sendiri, tambah Nunuk, memang bisa saja terkait karena pencemaran limbah, meski juga ada kemungkinan lain, seperti adanya bangkai kapal yang besinya mulai keropos di sekitar pantai tersebut atau proses alami yang terjadi di laut sekitar.

Menurut Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, kasus keracunan kerang secara massal ini adalah kejadian luar biasa yang seharusnya segera mendapat perhatian dari pemerintah.

“Kita sudah bersurat ke BLHD provinsi dan PPE Sulawesi dan Maluku terkait hal ini. Kami juga akan segera menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan investigasi lebih lanjut,” tambahnya.

Kasus keracunan massal ini ternyata juga berdampak pada aktvitas nelayan setempat yang tidak lagi melaut sejak adanya kasus ini.

Daeng Laju, seorang nelayan setempat mengakui sudah seminggu lebih tidak melaut, selain karena larangan dari Kepolisian setempat, juga karena faktor trauma warga setempat mengkonsumsi hasil laut.

Ndak ada yang mau beli ikan kalau ditahu ditangkap di sekitar sini. Saya juga masih takut-takut karena jangan-jangan masih ada racunnya. Jadi setiap hari kami hanya duduk-duduk di depan rumah saja seperti ini minum ballo,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,