Pak Taman, Petani Agroforestri yang Sukses Kembangkan Lahan Gambut Tanpa Bakar

Berbagai tanaman sayur tumbur subur di lahan seluas 1,75 hektar di kawasan Kalampangan, Palangkaraya. Ada cabe, bayam, juga jagung. Selain sayur mayur, di lahan gambut itu juga tumbuh beberapa tanaman keras lain seperti pisang, karet, serta jenis buah-buahan seperti rambutan dan jeruk. Konsepnya agroforestri, tanaman keras bersanding dengan tanaman jangka pendek.

Adalah Akhmad Tamaruddin atau biasa disebut pak Taman (62), sang pemilik lahan. Bertahun-tahun ia mencoba berbagai cara untuk mengubah gambut menjadi lahan subur untuk ditanami. Hebatnya ia lakukan itu semua tanpa membakar. Apa yang ia lakukan, seolah menjawab keraguan banyak pihak bahwa lahan gambut, jika tak dibakar tak akan subur.

Taman, ayah dua anak merupakan transmigran asal Ngawi, Jawa timur. Ia pertama tiba di Palangkaraya tahun 1980. Waktu itu, lelaki kelahiran 6 september 1954 tersebut harus berjibaku agar bisa bercocok tanam di lahan gambut. Hal itu tentunya bukan perkara mudah.

Taman mengatakan, pertama kali ia menggarap lahan tanaman apa pun sulit untuk tumbuh. Kadar asam yang tinggi menjadi penyebabnya. Maka tak heran, jika banyak orang yang membakar lahan guna mendapatkan unsur hara yang membuat lahan menjadi subur. Waktu itu, belum ada larangan membakar lahan. Keadaan berbeda dengan sekarang, dimana pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pelarangan bakar lahan.

Dulu masing-masing diberi jatah tanah dua hektar. Seperempat untuk perumahan, satu hektar tiga perempat untuk lahan usaha. Waktu itu masih banyak puing-puing kayu sisa kayu yang besar. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan,” jelasnya pada Mongabay Indonesia akhir Agustus lalu.

“Karena kadar asam tanahnya tinggi, jangankan tanaman tanaman jangka panjang, yang jangka pendek seperti sayur saja tak bisa hidup. Memang tumbuh tapi ketika tumbuh sejengkal, daunnya sudah mulai mengering,” ujar Taman.

Permasalahan lahan gambut yang tak kunjung subur pula yang membuat banyak rekan-rekan Taman sesama transmigran putus asa. Hampir 50 persen mereka yang berada di Kalampangan, akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke Jawa. Sebab, meski awalnya pemerintah memberikan bantuan pada para transmigran, semakin lama jumlah bantuan semakin berkurang. Sementara lahan yang mereka kelola tak bisa menghasilkan.

Di awal-awal mempraktekan metode lahan tanpa bakar, Taman sebenarnya juga hampir menyerah dan berniat untuk pulang ke Jawa. Didorong karena keputusasaannya, ia sempat bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Upah hasil kerjanya ia kumpulkan untuk ongkos pulang ke Jawa. Namun, untunglah dia tak sempat jatuh putus asa. Ia pun terus konsisten.

“Saya yakin lahan seperti apapun, kalau diekplorasi pasti akan subur. Kita perlu pelajari watak tanahnya, tipologinya. Kekurangan [mineralnya]-nya apa saja yang dimaui oleh tanah. Itu kita harus pelajari dari pengalaman empiris,” katanya.

Taman sedang menggarap lahannya. Foto: Rahmadi Rahmad
Taman sedang menggarap lahannya. Foto: Rahmadi Rahmad

Menurut Taman, kebanyakan petani membakar lahan gambut untuk memperoleh abu. Batang-batang kayu dibakar, kemudian abunya ditebar di lahan yang akan ditanami. Cara itu memang efektif membuat tanaman tumbuh di saat-saat awal.

Namun lama kelamaan, bahan baku untuk mendapatkan abu semakin berkurang. Kayu semakin sulit didapat, hingga warga juga terpaksa membakar kelakai (semacam jenis paku-pakuan). Namun cara ini membuat abu tanaman yang didapat semakin sedikit. Demikian pula, permukaan tanah akan turun. “Dengan permukaan tanah yang semakin menurun, itu akan merusak ekosistem, ekologi dan hidrologi.”

Untuk menanam di lahan gambutnya, dalam setahun ia membeli tanah subur dua truk. Harga satu truk Rp.750 ribu. Namun tak langsung ditebar begitu saja. Ia juga membeli 20 sak kapur. Satu sak berisi 25Kg seharga Rp.50 ribu. Biaya lain yang diperlukan adalah untuk membeli pupuk yang disesuaikan kebutuhan. Biaya ini menurut Taman, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil tani yang ia peroleh.

Di lahan garapannya lalu ia lakukan pelubangan, mirip menyerupai pot. Kemudian ketika akan tanam, ia masukan tanah subur yang sudah dicampur pupuk ke dalamnya. Ciri-ciri tanah yang sudah subur, menurutnya rumput pun akan tumbuh subur. Sebaliknya jika tanah itu tak subur, jangankan tanaman, rumput pun enggan hidup

Menurutnya, media tanah tidak bisa langsung ditanami, perlu ada waktu agar kapur dan pupuk kandang dapat tercampur dengan sempurna di tanah. Tanah perlu didiamkan selama dua minggu, agar bisa siap ditanami berbagai jenis sayuran.

“Juga saya semprot herbisida agar kering. Herbisida kalau disemprotkan ke tanaman selain mematikan gulma, akan membuat tanah menjadi gembur, dan nanti akan berproses menjadi unsur hara. Tinggal tunggu pelapukan tanaman gulmanya saja,” paparnya.

Taman mengaku bisa menemukan metode ini dengan banyak belajar. Sebab menurutnya manusia hidup diberi otak dan daya pikir. Ia belajar bertahun-tahun dengan mengamati dari berbagai kegagalan yang sudah ia alami.

Disamping tanaman sayur, tanaman jangka panjang juga ia tanam. Ada karet dan tanaman buah-buahan. Sehingga lahan yang ia garap benar-benar produktif dan bisa menghasilkan nilai lebih. Hasil dari kebunnya, lalu ia jual ke pasar Palangkaraya. Tak jarang, banyak juga pembeli yang langsung datang ke kebunnya.

“Saya menerapkan metode lahan tanpa bakar ini selama bertahun-tahun. Mulai ada tanda-tanda tanah menjadi subur itu setelah lima tahun. Memang tak langsung, tapi sedikit demi sedikit. Lahan mulai berhasil ditanami menjelang tahun 90-an, waktu itu saya tanam bawang dan seledri,” katanya mengenang.

“Memang kalau dilihat dari segi biaya secara sepintas, kelihatannya lebih murah dengan cara membakar. Tapi kalau mau berpikir lebih jauh lagi, dengan cara membakar itu sebenarnya jauh lebih mahal. Kupas bakar itu nilai ekonominya tinggi. Kalau membakar tenaga dan biaya upahnya berapa juta? Kalau sudah dibakar, perlu dicangkul lagi. Kalau saya berpikir itu lebih mahal, karena kalau tanah sudah menurun, itu kesuburannya sulit memulihkan,” tutur kakek empat cucu itu.

Taman di tengah tanaman cabai dan tanaman keras di kebunnya. Foto: Indra Nugraha
Taman di tengah tanaman cabai dan tanaman keras di kebunnya. Foto: Indra Nugraha

Selain menjadi petani, dulu Taman berprofesi sebagai Guru Sekolah Dasar. Dua tahun lalu, Taman sudah pensiun. Sambil mengajar, ia terus aktif dalam melakukan berbagai percobaan agar membuat lahannya menjadi subur dan bisa ditanami.

Kini di usianya yang sudah tak muda, ia kembali fokus untuk mengembangkan lahan garapannya.

Taman mengaku, sudah banyak pihak yang tertarik untuk mempelajari apa yang ia lakukan. Ia pernah menjadi mentor untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar di hadapan utusan masyarakat se-Kalteng. Beberapa akademisi, mahasiswa, Manggala Agni, Kepolisan dan lainnya juga banyak yang berdiskusi dengannya. Bahkan katanya, pernah ada utusan dari negara se-Asean yang belajar padanya.

Ia berharap, semakin banyak orang yang bisa menerapkan pengalamannya, hingga tak lagi membuka lahan dengan cara membakar. Taman pun mengakui, dengan cara yang ia lakukan, memang memerlukan waktu dan proses yang cukup lama. Butuh kesabaran dan kerja keras ekstra.

“Namun, kalau ini bisa diterapkan dan dikerjakan secara benar, lahan akan terhindar dari kebakaran. Harapan saya mudah-mudahan pengetahuan yang diperolah dari saya bisa diterapkan dan melahirkan Taman-Taman baru,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,