Lubang-lubang Tambang Batubara Ancaman Mematikan bagi Warga Jambi

Ratusan lubang bekas tambang batubara menganga bak danau atau kolam-kolam raksasa. Dari kejauhan, danau cukup menawan. Air tampak jernih kehijauan. Di balik itu, ada bahaya menunggu. Beragam partikel logam berbahaya terkandung dalam danau bekas kerukan batubara itu. Lubang tambang juga rawan menelan korban jiwa.

“Ini bahaya, bekas tambang itu menampung air, kalau ada anak tercebur mati kayak kasus di Kalimantan bagaimana? Kalau sudah kayak gitu pemerintah baru mau turun tangan. Selama ini, mereka cuma ngurus izin, izin saja,” kata Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau.

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Danau-danau bekas galian tambang ini milik perusahaan, yang berjumlah ratusan. Mereka punya izin usaha pertambangan (IUP), tersebar di enam kabupaten di Jambi. Ada Muaro Bungo, Sarolangun, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Barat.

Kolam raksasa ini menganga begitu saja seakan tak ada yang harus bertanggung jawab. Tanda bahaya atau larangan mendekat pun tak ada.

Awal November 2015, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Walhi Jambi, melakukan pelatihan riset air pasca tambang batubara di Jambi. Lima kolam tambang PT. Sarolangun Prima Coal diuji.

Hasilnya, PH 3,4, electric conductivity (daya hantar listrik) 320, dan total padatan terlarut mencapai 150. Tingkat keasaman air tinggi mengindikasikan ada kandungan logam berat seperti Fe (besi), Mn (mangan), Pb (timbal), As (arsenik), Hg (merkuri), Se (selenium) dan B (boron) dalam kolam itu.

“(Kolam bekas tambang batubara) itu banyak sekali di Sarolangun,” ucap Feri.

Partikel logam berbahaya dalam lubang tambang, katanya, ancaman serius bagi manusia dan lingkungan. Zat-zat berbahaya ini mengendap dalam ketenangan air, menunggu waktu lepas, bebas mencemari lingkungan sekitar.

Batubara, sumber energi kotor, yang masih jadi andalan pemerintah Indonesia. Foto: Hendar

Bisa membunuh

Dokter Armansyah Siregar mengatakan, kandungan logam berat yang ditemukan Jatam dalam air kolam bekas batubara bisa membahayakan manusia, bahkan mematikan. “Kalau jangka panjang, dampaknya bisa membunuh manusia,” katanya.

Pencemaran lingkungan dari air bekas tambang, katanya, bisa menimbulkan rentetan gangguan kesehatan bagi manusia. Dampaknya,  bermacam-macam, bisa gatal-gatal, muntah, kanker, bahkan jangka panjang, logam berat itu bisa merusak organ tubuh yang berujung kematian.

“Kalau sungai tercemar dan air dipakai mandi, bisa timbul gatal-gatal. Kalau terminum, bisa muntah, itu dampak jangka pendek.”

Makin parah kala warga makan ikan yang terkontaminasi zat berbahaya.  “Logam ini tak bisa dinetralisir. Jangka panjang bisa menimbulkan kanker dan merusak organ tubuh,” ucap Armansyah.

Baca juga: Danau-danau Neraka yang Mengancam Sumber Air Kalsel

Celakanya, tak semua tambang batubara di tengah daratan, ada yang berada dekat sumber air. Pada areal batubara PT Minemex, misal, operasi produksi sekitar 50 meter dari  pinggir Sungai Tembesi, Mandiangin, Sarolangun.

“Dulu tanggul Minemex itu pernah jebol,” kata Bambang, warga Sarolangun.

Dalam catatan Mongabay, Juli 2014, produksi Minemex pernah dihentikan sementara Bupati Sarolangun. Tak hanya Minemex, ada sembilan perusahaan tambang lain di Sarolangun dihentikan sementara.

Kesembilan perusahaan ini PT Jambi Prima Coal, PT Citra Tobindo Sukses Perkasa, PT Tamarona Mas International, PT Hutamas Koado, dan PT Sarolangun Bara Prima. Lalu, PT Dinas Kalimantan Coal, PT Ganesha Jaya, PT Sarolangun Prima Coal, dan PT Konko Padma Manggala.

Penghentian ini lantaran 10 perusahaan batubara ini belum menyelesaikan kewajiban administrasi, teknis dan lingkup IUP-OP batubara.

Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan, ada sekitar 1,09 juta hektar lahan di Jambi untuk tambang batubara oleh lebih 300 perusahaan.

Kondisi ini, katanya, menyebabkan terjadi pencemaran udara, air dan tanah. Banyak kolam tambang dibiarkan menganga penuh air.

“Air jernih tapi mengandung logam berbahaya, arsenik, besi, mangan dan lain-lain. Itu bisa mencemari lingkungan dan sungai,” katanya.

Hingga kini, belum ada perusahaan di Jambi mereklamasi kolam-kolam bekas tambang dengan baik. “Belum ada reklamasi layak huni kembali.”

Konsentrasi pendapatan daerah dari pengerukan hasil sumber daya alam, kata Musri, tak sebanding dengan biaya perbaikan jalan, dampak kesehatan dan pencemaran lingkungan. “Negara sebagai pemberi izin, punya tanggung jawab untuk merehabilitasi.”

Tambang batubara. PT Jambi Prima Coal di Sarolangun, Jambi. Foto: Feri Irawan
Tambang batubara. PT Jambi Prima Coal di Sarolangun, Jambi. Foto: Feri Irawan

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,