Revisi UU Minerba, Bukan Alasan untuk Buka Keran Ekspor Mineral Mentah (Bagian 1)

Tampak alat berat berjejer. Ada eksavator, truk-truk mangkal sampai tumpukan nikel mentah (ore) bak bukit-bukit kecil di tepian laut. Dari kejauhan, tampak lubang-lubang tambang menganga. Hutan-hutan terbabat. Ada yang menjadi galian. Ada juga sebagai jalan tambang.

Inilah keadaan tambang nikel ‘tak bertuan’ di Morowali, Sulawesi Tengah, awal 2014, pasca pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah sebelum ada pembangunan pabrik smelter. Mereka yang tak membangun smelter, meninggalkan usaha.

Kondisi ini terjadi di banyak daerah. Eksploitasi kekayaan mineral alam masif agak tertahan dengan perlakuan aturan ini.

Belum jalan tiga tahun, pemerintah berencana merevisi UU Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara termasuk aturan turunan Peraturan Pemerintah No. 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Salah satu revisi yang santer disebut-sebut soal pelonggaran ekspor bahan mineral mentah.

Rencana inipun mendapat tanggapan dari berbagai daerah.

Walhi Maluku Utara menilai, revisi UU Minerba ini meminta  pemerintah pusat tak bisa monoton, hanya melihat sisi ekonomi semata.

Bagi Walhi, terpenting, masuk pada kajian dampak, terutama   penghancuran tata sistem ekologi, sosial dan budaya tempatan.

“Titik kajian dan cara pandang dulu kita tuntaskan, karena  telah diatur dalam hukum dan kebijakan berlaku,” kata Direktur Eksekutif Walhi Malut  Ismet Soelaiman, baru-baru ini.

Realita lapangan dan kajian lokal di Malut, persoalan lingkungan hidup dan sosial budaya tempatan selalu menjadi anak tiri dalam pembahasan. Alih-alih menjadi pertimbangan saat kajian atas revisi UU terkait.

Berbagai masalah di daerah muncul seperti pada bekas pertambangan nikel PT Antam di Pulau Gebe, PT Harita dan Antam di Halmahera Timur. Juga PT Weda Bay Nickel di Halmahera Tengah sampai PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) di Teluk Kao,  Halmahera Utara.

Bagi Walhi,  ketika   membahas revisi UU Minerba yang mengatur  peningkatan nilai tambang, berkorelasi dengan UU Perindustrian, dan PP kegiatan usaha pertambangan  minerba.

Sekali lagi, katanya, terlihat negara secara terbuka,   tunduk pada kekuasaan segelintir koorporasi yang menjarah  perut bumi Indonesia.

Pemerintah Malut, kata Ismet, dengan wilayah pulau-pulau kecil, mesti tegas menolak rencana revisi seperti ini. Karena luasan daratan sekitar 34% , tentu sangat berdampak jika seluruh material  mentah diangkut dengan tameng  revisi UU ini.

“Pulau Gebe, Pulau Pakal, Pulau Gei, Tanjung Buli, dan Pulau Obi, contoh konkrit, seperti apa dampak kebijakan angkut “tanah air” untuk diekspor ke negara lain,” katanya.

Kini, Antam membangun smelter,  atau pabrik feronikel berkapasitas 13.500 ton nikel  dalam feronikel (TNi) di Haltim. Juga perusahaan tambang lain, seperti Harita, NHM, WBN.

Smelter Antam rencana selesai 2018. Tenggat waktu 12 Januari 2017 batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat.

Sorotan  juga disuarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut.  Bagi AMAN, merevisi UU Minerba menunjukkan negara ini tak lagi berdaulat terhadap sumberdaya alam, sebagaimana perintah  Pasal 33 UUD’45.

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut mengatakan, pemerintah terlalu memanjakan investor untuk menggaruk massif sumberdaya alam bangsa.

Galian bekas tambang timah di Bangka, yang ditinggal begitu saja. Foto: Sapariah Saturi

Sejak dulu, AMAN sudah mengkritik UU Minerba 2009 karena mengancam keselamatan lingkungan dan tak melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan pertambangan di wilayah adat.

“Apalagi  tujuan revisi ini untuk membuka ruang sebesar-besarnya kepada perusahaan.  Kami tak melihat niat baik rezim ini,” katanya.

Kala revisi UU kembali membolehkan ekspor material mentah, katanya,  akan menghidupkan kembali rezim kontrak karya dan praktik  penambangan laut.

Lebih bahaya lagi, katanya, wilayah–wilayah adat akan dikuasakan kepada perusahaan tambang tanpa kebebasan masyarakat menentukan hak kelola lahan mereka.

Masyarakat adat, katanya, kelompok yang dirugikan karena tak mendapatkan posisi setara dalam pengambilan keputusan kala ada pertambangan.

Pulau–pulau kecil di Malut, pun berpotensi terancam hebat. “Ada sekitar 313 izin pertambangan  di Malut yang siap menguras perut bumi. Jika revisi mulus, bukan tak mungkin izin–izin bekerja masif. Pulau–pulau kecil seperti Pakal,  Loloda, Morotai, Gebe, Obi, Sanana, Mangoli, Taliabu akan jadi titik kehancuran.”

Pakar Ekonomi Universitas Khairun Ternate, Dr  Mukhtar Adam  juga angkat bicara. Pandangan dia,  revisi ini bisa jadi jebakan  ekonomi  yang berpotensi merusak perekonomian daerah.

Pabrik smelter,katanya, kemungkinan beroperasi 2017-2018. Ia akan memberikan dampak positif bagi daerah dan efek domino bagi perekonomian Malut, bakal lebih luas.

Kalau buka keran ekspor bahan mentah jadi, maka akan mengorban nilai tambah perekonomian ke depan.

“Menteri tak bisa serta merta bertindak merugikan perekonomian jangka panjang  dengan mendesain kebijakan  regulasi seperti ini,” katanya.

Saat ini  di Malut, katanya,   berbagai industri pertambangan sedang membangun smelter. Kala UU  membolehkan ekspor bahan mentah, pabrik smelter berpotensi tak berfungsi. Ujung-ujungnya, berdampak pada angkatan kerja dan nilai  tambah perekonomian turun.

Menurut dia, seharusnya, revisi UU itu malah sesuatu yang bisa menguntungkan masyarakat sekitar, karena pendapatan perusahaan satu persen untuk tanggung jawab sosial belum menguntungkan masyarakat. Revisi UU Minerba, semestinya, menjadi jadi lokasi tambang sebagai pemegang saham hingga punya memiliki andil dalam rapat umum pemegang saham.

“Ini juga bisa mengendalikan perusahaan agar tak eksploitasi berlebihan.”

Dari Kalimantan Tengah, Arie Rompas,  Direktur Eksekutif Walhi Kalteng juga bicara soal revisi UU MInerba. Dia mengatakan, Plt Menteri ESDM, Luhut Pandjaitan, menjadi katup pengaman modal di pemerintahan Joko Widodo. “Dia sangat pro pasar terutama investasi berhubungan dengan investasi Tiongkok,” katanya.

Terkait revisi UU Minerba ini, dua menduga merupakan agenda modal yang akan berimpilikasi terhadap kerusakan lebih parah.

Membuka keran ekspor, katanya, akan memperparah kondisi hutan, ancaman terhadap pencemaran lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di sekitar investasi.

“Di Kalteng,  misal ada sekitar 900 lebih izin mencapai 3,8 juta hektar masih memiliki problem selama ini. Sebagian besar di kawasan hutan bahkan hutan lindung, ” katanya.

Dari jumlah perizinan tambang itu, katanya, 358 yang clear and clean, banyak menunggak royalti, PNPB juga banyak tak memiliki NPWP. Perusahaan juga banyak tak bayar jaminan reklamasi dan membiarkan bekas tambang mencemari sungai-sungai di Kalteng.

“Ini mengancam Kalteng, dia (Luhut-red) kembali akan mendorong pembangunan rel kereta api Puruk Cahu- Bangkuang yang mangkrak selama ini. Jelas ini agenda modal di bawah pemerintah Jokowi.”

Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Nordin mengatakan,  revisi UU Minerba seharusnya tak boleh untuk memperlonggar pengerukan sumberdaya alam di Indonesia.

“Jangan sampai pemerintah justru menjadi ujung tombak dari praktik obral murah dan kemudahan pengerukan.”

“Kalau cuma mampu menjual murah sumberdaya alam kepada asing, dimana beda rezim ini dengan rezim lain?” Bersambung

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,