Ular yang Tidak Perlu Kita Musuhi

Ular tidak perlu kita musuhi berlebihan, bahkan berniat untuk membunuhnya. Mengapa? Karena, sebagai makhluk hidup, ular memiliki manfaat penting bagi ekosistem. Ular berdaya guna sebagai pengendali populasi tikus dan jenis binatang lain yang merupakan hama. Penelitian yang tengah dilakukan pun menunjukkan, beberapa jenis bisa ular justru berdaya guna untuk mengobati penyakit seperti kanker dan yang paling umum, bisa ular dijadikan serum anti-bisa.

Sebagai satwa melata, ular hampir ada di seluruh bentangan bumi mulai hutan, pegunungan, persawahan, pesisir pantai, hingga daerah berkapur. Suhu tubuh ular selalu mengikuti suhu lingkungan sekitar. Dipastikan, semua jenis ular merupakan jenis pemangsa yang memakan satwa lain.

Sayang, sebagian besar masyarakat kita menganggap semua ular itu berbisa alias memiliki racun (venom). Padahal, dari sekitar 250 – 300 jenis ular yang ada di Indonesia, hanya 8 persen saja yang berbisa. Stigma yang masih berkembang ini yang menyebabkan ular akan diburu bila bertemu manusia, tanpa pernah dikenali dulu apakah jenis itu beracun atau tidak.

Tak kenal maka tak sayang. Begitulah jarak psikologis manusia dengan ular saat ini. Foto: Rahmadi Rahmad
Tak kenal maka tak sayang. Begitulah jarak psikologis manusia dengan ular saat ini yang dijabarkan Nathan Rusli dalam bukunya. Foto: Rahmadi Rahmad

Adalah Nathan Rusli, penulis buku “Mengenal Ular Jabodetabek” yang tengah bergairah kampanyekan pentingnya ular bagi ekosistem lingkungan. Berapa usianya? 18 tahun. Namun, bila kita simak penuturannya, akan keluar penjelasan ilmiah yang tidak menunjukkan bila sosoknya memang remaja.

“Pada dasarnya, ular itu pendiam dan penyendiri. Ular bergerak ketika mencari makan, kawin, atau saat posisinya terancam. Bila ada ular masuk permukiman warga, jangan salahkan ularnya, tapi kita yang introspeksi. Bisa jadi, dulunya permukiman yang kita huni itu adalah habitat ular. Andai rumah kita yang digusur, bagaimana rasanya?,” itu jawaban menohok Nathan saat ditemui di markas besar Ciliwung Reptile Center, di Bojong Gede, Bogor, akhir pekan lalu.

Kisah sedih ular yang terus diburu hingga dibunuh inilah yang mendasari pemikiran Nathan untuk membuat buku ular. Tujuannya sebagai media edukasi. Dalam buku bilingual (Bahasa Indonesia dan Inggris), Nathan menampilkan 58 jenis foto ular yang ada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Penyunting bukunya juga bukan sembarang orang, ada nama Riza Marlon, Ron Lilley, Willy Ekariyono, dan Andrew Laister. “Tak kenal maka tak sayang, begitu jarak psikologis kita dengan binatang melata ini,” tuturnya.

Kurangnya pengetahuan masyarakat akan ular, membuat Nathan membulatkan tekad untuk membuat buku tersebut. Menurutnya, hingga kini persepsi di masyarakat, ular merupakan makhluk jahat, tidak berguna, dan beracun. Paradigma ini yang coba ia ubah. Ide membuat buku ular, sudah ia lahirkan sejak 2010 dan diwujudkan pada 2014. Juli 2016, buku yang ia desain sendiri ini resmi dicetak seribu eksemplar yang keuangannya berasal dari “pinjaman” orangtuanya.

Ular gadung (Gonyosoma oxycephalum). Foto: Rahmadi Rahmad
Ular gadung (Gonyosoma oxycephalum) yang umumnya berwarna hijau, namun ada juga yang kuning dan abu-abu. Foto: Rahmadi Rahmad

Bukan cinta sesaat

Rasa peduli Nathan pada ular, bukan datang tiba-tiba. Ia sudah kadung sayang pada ular sejak usia empat tahun, yang diwujudkan dalam bentuk melihat buku bergambar. Rasa ingin tahunya bertambah, saat menginjak SD kelas 1. Ia coba mencari langsung ular yang tak jauh dari perumahannya di seputaran Pantai Indah Kapuk, Jakarta. “Saya pegang ekornya, ternyata jenis kobra, saya kabur.”

Bukannya takut, Nathan justru tertantang mempelajari perihal ular. Larangan dari keluarga besarnya untuk tidak mendekati ular justru menjadi pemicu semangatnya. Ular berbahaya, ular tidak mendatangkan manfaat, adalah doktrin yang selalu diterima Nathan dari keluarga besarnya.

Untuk memuaskan pengetahuannya akan satwa, Nathan bergabung sebagai relawan JAAN saat ia kelas 1 SMP. Petualangannya berlanjut ke Taman Reptil Taman Mini Indonesia Indah hingga bertemu komunitas reptil yang ada di Jakarta. Dari sini, mencintai ular versi Nathan masih berwujud memelihara yang tujuannya transaksi, jual beli. Tanpa sepengetahuan orangtuanya, Nathan menyewa kamar ukuran 3 x 4 meter persegi di seputaran Pasar Darurat Kapuk, Cengkareng, Jakarta, yang di dalamnya berisi 50 jenis ular.

Menginjak usia 15 tahun, Nathan resah dengan hobinya mengurung ular itu. Ada yang salah menurutnya, memelihara ular di sangkar yang sebenarnya harus hidup di alam liar. Bentuk cinta yang salah. “Melihat ular langsung di habitatnya merupakan pembelajaran terbaik,” tutur sulung dua bersaudara ini.

Ular sanca batik yang cukup sering ditemukan di Jabodetabek. Foto: Rahmadi Rahmad
Ular sanca batik yang cukup sering ditemukan di Jabodetabek. Foto: Rahmadi Rahmad

Petualangannya berlabuh di Ciliwung Reptile Center (CRC), yang ia dirikan Desember 2014. Di komunitas ini, bersama 10 relawan aktif lainnya, Nathan menjelaskan kepada masyarakat bahwa ular bagian penting ekosistem lingkungan. Di CRC, ada 15 jenis ular kampung yang dipelihara bukan untuk kesenangan pribadi melainkan sebagai media pembelajaran yang diteliti juga perilaku uniknya. Ada ular picung, bangka laut, tanah, pucuk, tampar, genteng, kadut belang, lidi, birang, sanca kembang, lanang sapi, kepala dua, jali, gadung, dan ular kobra/sendok.

Hal yang diamini Aditya Rama Alviano, anggota CRC yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta. “Setiap ular memiliki cara tersendiri untuk beradaptasi dan bertahan hidup pada lingkungannya. Mulai padang pasir, hutan, hingga laut yang semua itu merupakan habitat aslinya. Itulah rumah ular sebenarnya.”

Spesimen ular yang dikumpulkan di CRC untuk penelitian dan pendataan. Foto: Rahmadi Rahmad
Spesimen ular yang dikumpulkan di CRC untuk penelitian dan pendataan. Foto: Rahmadi Rahmad

Kenali ular

Dalam bukunya, Nathan mengklasifikasikan ular yang ada di Jabodetabek berdasarkan morfologinya. Ada jenis typhlopidae (ular buta/kawat), cylindriophidae (ular kepala dua), acrochordidae (ular karung), homalopsidae (ular lumpur), pythonidae (ular pelilit yang bertelur), xenodermatidae (ular naga), xenopeltidae (ular pelangi), colubridae (ular tanpa taring bisa), natricidae (ular bertaring belakang), elapidae (ular berbisa tinggi tidak dapat dilipat), serta viperidae (ular berbisa tinggi, dapat dilipat dan memiliki sensor panas).

Menurut Nathan, sosialisasi dan edukasi pentingnya ular pada masyarakat akan lebih mudah dilakukan bila masyarakat mengenali jenis ular yang ada di sekitar mereka, terutama Jabodetabek.

Sejatinya, ular takut dan akan menghindar bila bersua manusia. Ia akan menyerang bila terancam atau ketika tidak bisa menghindar. “Ular kobra (Naja sputatrix), bila terancam akan berdiri dan mengembangkan tudungnya sebelum melancarkan serangan. Bila terus diganggu, ia akan menggigit dan menyuntikkan racunnya itu ke tubuh pemangsa.”

Riza Marlon, dalam bukunya “107+ Ular Indonesia” menjelasan, dikarenakan ular memiliki musuh, ular pun memiliki beberapa teknik pertahanan diri. Yang paling umum dan efektif adalah menghindar. Jenis ular pohon yang berwarna hijau atau coklat akan membaur dengan lingkungan sekitar sehingga tersamar.

Ada juga yang mendesis dan membusungkan tubuhnya supaya terlihat lebih besar dan lebih ganas dari penampakan aslinya. Bahkan, beberapa jenis ular, pura-pura mati dengan posisi telentang dan lidah menjulur. Kondisi ini sering dibarengi bau busuk yang bersumber dari kelenjar dasar ekornya. “Bila pertahanan diri gagal, ular bakal menggigit, meski sebenarnya tidak semua gigitan itu berbisa.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,