Ketika Keramba Apung Redupkan Pesona Danau Maninjau

Memandang Danau Maninjau, dari ketinggian di Kelok 44 atau Puncak Lawang, tampak menawan. Air tenang bak kaca berkilau kebiruan terpantul cahaya pagi. Bayangan bukit-bukit terjal di sekeliling tampak di permukaan danau. Indahnya…
Tak heran kalau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatera Barat,  pernah jadi kampung wisatawan asing di era 1980-an hingga pengujung 1990. Turis Eropa dan Jepang, rama datang ke tempat ini sepanjang tahun.

Homestay dan hotel berkembang. Maninjau pernah menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara. Itu dulu….Kini,  tak ada lagi turis. Maninjau sebagai ikon wisata Sumbar, tinggal cerita.

Kala berada di tepian danau, tiupan angin menebarkan bau amis. Air bening dan biru, dari dekat terlihat kehijauan dan keruh.

Dasar danau tak terlihat, apalagi pasir putih, sudah tertutup dengan kotoran ikan dan sisa pakan keramba jala apung yang tersebar di sekeliling danau.

Air danau juga membuat gatal hingga orang tak berani mandi. Kalau masuk ke danau, kaki akan terperangkap lumpur sisa pakan dan ikan mati.

Jutaan ikan keramba apung yang mati di Danau Maninjau beberapa bulan lalu. Foto: Vinolia
Jutaan ikan keramba apung yang mati di Danau Maninjau beberapa bulan lalu. Foto: Vinolia

Di Maninjau Indah, hotel tertua di danau ini, beberapa karyawan tampak sibuk mengumpulkan bangkai-bangkai ikan yang terbawa arus dan merapat dekat hotel. Kegiatan ini bak agenda rutin para karyawan hotel ini.
“Kalau tak diambil, sepanjang hari bau busuk mengganggu, entah ikan dari mana, semua pemilik keramba selalu membuang ikan mati ke danau,” kata Idham Rajo Bintang, pemilik Hotel Maninjua Indah, beberapa waktu lalu.

Tokoh masyarakat Maninjau ini menyaksikan sendiri kematian  pariwisata daerah ini karena pencemaran air danau karena keramba marak.

Hotel pun kini sepi. Dalam setahun hanya terisi penuh dua malam. Saat pergantian tahun malam tahun baru dan Lebaran menampung perantau yang pulang kampung.
“Pegawai hotel saya sudah lama tak digaji. Kalau ada pemasukan baru saya bayar, karena mereka tidak mau berhenti,” kata Idham. Buat mengisi 5% tamu ke hotel berkapasitas 40 kamar inipun tak mampu.

Tidak hanya hotel milik Idham Rajo Bintang, lebih 20 homestay yang ada di Maninjau juga lebih dulu gulung tikar, beberapa masih tertinggal plang namanya.
Idham pernah mengalami masa jaya pariwisata di Maninjau pada 1970-an hingga akhir 1990-an. Dia membangun hotel pada 1974. Kala itu,  dia pengusaha sukses di Jakarta, diminta pulang bupati dan gubernur. Kala itu,  banyak turis datang ke Maninjau tetapi belum ada hotel, hanya tinggal di rumah-rumah penduduk sebagai homestay.

Danau Maninjau masa lalu. Air jernih dan bersih, salah satu tujuan favorit wisatawan mancanegara kala itu. Foto: Wikipedia
Danau Maninjau masa lalu. Air jernih dan bersih, salah satu tujuan favorit wisatawan mancanegara kala itu. Foto: Wikipedia

Turis datang sepanjang tahun, tak mengenal musim. Kamar hotel dan homestay hampir selalu penuh, sekitar 1.500 turis asing mengunjungi Maninjau setiap bulan. Maninjau seolah menjadi kampung wisatawan Eropa dan Jepang di Sumbar.
“Maninjau saat itu ibarat Bali kedua, setelah Bali mereka kemari. Belum merasa ke Indonesia, kalau belum datang ke Maninjau,” katanya.
Dia bahkan membuat restoran terapung di tengah danau dan membawa tamu  pakai speedboat. Dia menyediakan peralatan ski air yang digemari turis asing kala ke Maninjau.
“Anak-anak perempuan saya semua jago ski, Titi dulu jago sekali main ski air di sini,” kata Idham menceritakan sang anak, artis Titi Rajo Bintang.  Turis asing datang ke Maninjua juga ingin berenang dan bermain ski.
“Saat datang mereka belum pasang kamar sudah lari ke beranda dan melompat ke danau. Setelah puas berenang baru memesan kamar. Saat itu air jernih bahkan bisa diminun.”

Mulai akhir 1998, turis asing turun drastic. Terakhir benar-benar berhenti pada 2005. Saat itu, keramba jala apung makin marak. Aktivitas keramba di danau seluas 9.737 hektar itu mulai 1992.

Setiap tahun selalu terjadi kematian massal ikan dan ribuan ton bangkai dibiarkan membusuk di danau. Pada 1997, terjadi kematian massal pertama ikan keramba jala apung di Maninjau. Sekitar 1.300 ton ikan mati akibat tuba pakan.

Danau Maninjau dari Puncak Lawang. Foto: Vinolia
Danau Maninjau dari Puncak Lawang. Foto: Vinolia

Hilangnya pesona Maninjau juga dirasakan Zuhrizul Chaniago, pegiat pariwisata Sumbar. Menurut dia, ribuan petak keramba apung telah merusak keindahan danau.

“Dari kelok 44 atau puncak lawang, kita sudah bisa melihat perbedaan bagian danau yang diisi keramba dengan yang tidak. Bagian yang ada keramba air hitam dan keruh. Beda dengan yang tidak, masih biru,” kata pemilik Homestay Lawang Park di Nagari Lawang, Kecamatan Matur, Agam ini.

Meskipun wisata lain selingkaran Maninjau seperti Puncak Lawang, Embun Pagi dan Kelok 44 masuk dalam daftar kunjungan wisata, namun tak dengan danau itu sendiri. Wisatawan dari Puncak Lawang dan Embun Pagi ke Kelok 44, tak akan pergi ke bibir danau, apalagi menginap di hotel seputaran danau.

Wisatawan berbalik ke Bukittinggi atau melanjutkan perjalanan ke Pantai Gondoriah Pariaman. Tak ada lagi wisatawan mau berlama-lama di seputaran danau. Dari jarak dekat, danau tak lagi menyuguhkan keindahan apalagi kesejukan dan kenyamanan bagi wisatawan.

Keramba jala apung di Danau Maninjau, dari ketinggian. Foto: Vinolia
Keramba jala apung di Danau Maninjau, dari ketinggian. Foto: Vinolia

Sebaliknya, mereka menutup hidung kala melintasi danau. Wisatawan menghidar agar tak bersen­tuhan dengan air danau. Air berlendir akibat sisa makanan dan kotoran ikan yang menumpuk di dasar.

Belum lagi, ketika musim angin kencang, jutaan ikan mati dan menimbulkan aroma busuk. Ini jadi pemandangan menjijikkan. “Ini jauh berbeda dengan kondisi Maninjau dulu,” katanya.

Zuhrizul, mengatakan, kepentingan bisnis sekelompok orang telah membuat penderitaan panjang anak cucu selingkar danau. Mereka tak bisa mandi lagi setelah main bola di sawah dengan keceriaan. Mereka tak bisa lompat ke air dari pohon kelapa yang menjorok ke danau.

Zuhrizul membandingkan penataan Danau Maninjau dengan Pantai Padang.

“Dalam hal destinasi sebetulnya yang dianggap tak mungkin dibenahi adalah Pantai Padang. Ternyata Pantai Padang bisa berubah. Salut untuk walikota yang juga urang Agam,” katanya.

Jutaan ikan mati di keramba jala apung di Danau Maninjau, dibiarkan mengapung dan membusuk. Selain pencemaran pakan, bangkai-bangkai ikan ini ikut mencemari danau. Foto: Vinolia
Jutaan ikan mati di keramba jala apung di Danau Maninjau, dibiarkan mengapung dan membusuk. Selain pencemaran pakan, bangkai-bangkai ikan ini ikut mencemari danau. Foto: Grup WA lingkungan/Ismail Zakaria

 

Pencemaran parah

Hafrijal Syandri, Ketua Pusat Studi Universitas Bung Hatta (UBH) Padang mengatakan,  pencamaran Danau Maninjau sudah sangat parah, karena sedimen sisa pakan ikan dari keramba yang melebihi daya tampung.

“Sejak 2001-2012 sudah lebih 111.000 ton sedimentasi  limbah pakan keramba jala apung terperangkap di dasar danau, apabila terjadi musim hujan dan angin kencang, dasar danau akan teraduk,  menimbulkan amoniak dan menyebabkan jutaan ikan mati” katanya.

Sedimentasi itu terperangkap di dasar, di bagian dalam hingga pinggir danau di bawah keramba. Pada beberapa tempat di pinggir danau,  di bawah keramba ketebalan sedimentasi sampai satu meter.

“Warna seperti lumpur, ini dari sisa pakan dan  ikan mati. Kalau di tengah danau mungkin lebih dalam lagi sedimentasinya,” kata Hafrijal.

Kondisi ini,  makin parah karena dengan kedalaman Maninjau 168 meter menyebabkan masa tinggal air di danau lebih lama sekitar 25 tahun. Hingga sedimentasi limbah itu terperangkap lebih lama dan menyebabkan pendangkalan danau setinggi 15 meter.

“Waduk Cirata juga punya banyak keramba jala apung, waktu tinggal air di sana sembilan bulan. Waduk dari aliran sungai mengalir cepat, kalau Maninjau, danau cukup dalam hingga  makin lama waktu tinggal air makin lama memerangkap sedimen-sedimen yang mengendap di dasar danau,” ujar dia.

Keramba jala apung yang menenuhi Danau Maninjau. Foto: Vinolia
Keramba jala apung yang menenuhi Danau Maninjau. Foto: Vinolia

Di Danau Maninjau, katanya,  juga tak ada sumber air dari sungai-sungai seperti danau lain, air masuk hanya mengandalkan ground water atau air bawah tanah. Ada aliran air keluar hanya dari Sungai Batang Antokan yang dipakai PLTA Maninjau.

Sisa-sisa nutrisi dari pakan ikan itu menyebar,  melayang di danau dan mengendap bercampur ikan mati.

“Indikator lain pencemaran danau terlihat pada lokan yang besar, eceng gondok makin banyak. Alga microcistys juga masih banyak, mengapung melayang-layang di permukaan.”

Tingkat kecerahan air juga menurun, tinggal 1,3 meter. Dulu, sampai enam meter ke dalam danau.

Ikan di Maninjau  juga mulai tercemar logam berat. Sudah ada besi (Fe) melebihi ambang batas ditentukan. Logam berat lain juga ada seperti timbal, seng dan kadmiun, tetapi batas normal.

Ikan-ikan asli danau juga banyak hilang. Dari 17 jenis ikan asli Danau Maninjau, tinggal delapan. Ikan hilang seperti garing, lelan, gasan dan baung.

“Yang tersisa kini  jenis tahan pencemaran seperti lokan dan pensi, ukuran jadi lebih besar. Juga ikan-ikan lepas dari keramba seperti nila dan lobster.”

Kualitas air danau, kata Hafrijal, sangat buruk dan tercemar berat. Untuk manusia,  sudah tak layak bahkan untuk mandi apalagi air minum.

“Untuk perikanan dan peternakan juga tergolong buruk, apalagi untuk manusia, sudah tidak layak lagi,” katanya.

Solusi penyelamatan Maninjau

Guna menyelamatkan Danau Maninjau, menurut dia, harus ada pengurangan keramba jala apung. Daya dukung perairan di danau hanya 6.000 petak. Kini mencapai 20.000 petak keramba.

“Ini perlu upaya pemerintah menertibkan, apalagi keramba di Maninjau kebanyakan punya investor luar yang dikelola masyarakat. Satu orang bisa punya 40-100 petak,” ujar dia.

Sebetulnya, para masyarakat sekitar danau tak berdaya lagi dengan kondisi air, dan ikan banyak mati.

“Mereka tak sanggup untuk usaha keramba.  Kenapa masih ada juga keramba? Tidak lain karena permainan toke pakan dan toke ikan!”

Masyarakat disana, katanya, mendapat bibit dari toke (bos). “Disuruh pelihara di keramba, dikasih pakan, ketika panen hasil diambil dan dijual pengusaha lalu potong utang, petani hanya buruh.”

Seharusnya, katanya,  kalau pemerintah mau memberhentikan usaha keramba, berhentikan saja, larang pakan ikan itu masuk ke keramba.

Sebagai solusi, harus ada mata pencarian yang masyarakat selain keramba, seperti pariwisata. Apalagi sejalan dengan program gubernur meningkatkan pariwisata Sumbar.

“Hidupkan kembali homestay masyarakat dengan pemulihan danau. Ini butuh keseriusan pemerntah, masyarakat, stakeholder harus duduk bersama. Jika dibiarkan terus, tercemar logam berat, untuk pemulihan danau seperti semula, bila ada pengurangan sebagian besar keramba perlu waktu sekitar 25 tahun.”

Senada dikatakan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar, Ade Edward. Dia meminta pemerintah kabupaten (pemkab) agar mengambil kebijakan tepat dan tegas hingga masalah kematian ikan selesai.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah harus berani mengambil kebijakan menutup sementara kampung ikan Danau Maninjau dari seluruh budidaya keramba.

Tujuannya, agar kondisi danau kembali steril dan normal dari sisa pakan dan kotoran yang mengendap dengan ketebalan cukup tinggi. Saat ini, katanya,  belum ada teknologi untuk membersihkan sisa pakan dan kotoran. Daya dukung Danau Maninjau pun tak punya kemampuan cukup memulihkan diri menghadapi limbah.

Ade juga tim teknis Komisi Amdal Sumbar ini, mengatakan, kala taka da pelarangan keramba apung, tak menutup kemungkinan kematian massal terus terulang.

“Bahkan bisa lebih sering. Sekarang saja sudah tiga hingga empat kali setahun,” katanya.

Tak itu saja. Pencemaran sisa endapan pakan dan kotoran ikan yang bersifat permanen, akan merusak lingkungan danau. Padahal, danau ini satu dari 36 warisan geologi Indonesia.

“Alam bukan harta hanya generasi kini. Tapi titipan generasi selanjutnya. Bercermin ke negara maju, danau dijaga agar pengotor tak masuk. Sekali pengotor masuk ke dasar danau, tak bisa lagi dikelola, kerusakan bisa permanen.”

Meskipun begitu, katanya, pelarangan keramba harus disertai alternatif pencarian masyarakat.

“Pelarangan harus disertai solusi agar masyarakat tak menjerit. Banyak solusi, misal mengalihkan budidaya keramba apung, menjadi budidaya ikan kolam deras atau hal serupa lain,” katanya.

Keindahan danau ini mulai hilang...Foto: Vinolia
Keindahan danau ini mulai hilang…Foto: Vinolia

 

Target pengurangan keramba

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Agam, Edi Busti menyebutkan,  tim satgas penyelamatan Danau Maninjau telah terbentuk Mei 2016. Tim mulai bekerja bergotong-royong membersihkan danau setiap dua bulan sekali.

Tujuannya, membangun kesadaran masyarakat terkait pencemaran danau. Harapannya, agar muncul kesadaran masyarakat membongkar keramba mandiri.

Edi menargetkan, tahun ini berkurang 2.500 petak keramba. Namun dia tak menampik belum ada penindakan tegas. “Pemkab Agam masih pembentukan satgas. Masih menunggu pengalokasian dana untuk agenda itu. Kita tunggu APBD perubahan 2016. Terlebih lagi zonasi danau belum ada, kita tunggu dulu itu,” ujar dia.

Terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, Ermanto mengatakan, sejak 2012, ada delapan pengusaha ikan keramba besar (lebih 20 petak) di Danau Maninjau.

Mereka sebagai pemasok pakan ikan dan menjadi pemberi modal kepada penambak lain. Dia menyebut, delapan orang itu. Yakni, Wan Alai, Jon Pertiwi, Ita Mayang Taurai, Eri St. Makrup, Anton Taruko, An Taruko, Condiak Taruko dan Rajo Ameh.

“Berdasarkan data kami, mereka sekaligus orang-orang yang selalu mengalami kerugian cukup banyak. Mereka  inilah yang harus bertanggung jawab atas kematian ikan. Mereka harusnya terlibat dalam membersihkan danau ketika ikan keramba mati,” katanya.

Soal mengubur bangkai ikan, Ermanto mengaku kesulitan mendapatkan lahan. Menurut dia, masyarakat seputaran danau tak mau lagi memberikan tanah untuk mengubur ikan.

“Jika masyarakat bilang tak diuntungkan dalam usaha keramba, mereka tak bersedia bangkai ikan dikubur di tanah mereka. Pegawai SKPD juga kewalahan goro bangkai ikan. Anggota tentu menyayangkan pengelola keramba dan pengusaha ikan tak turut membantu.”

Peta keramba jaring apung di Nagari Bayur Kecamatan Tanjung Raya, Agam. Dokumen: Hafrijal Syandri
Peta keramba jaring apung di Nagari Bayur Kecamatan Tanjung Raya, Agam. Dokumen: Hafrijal Syandri
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,