KNPA Nilai Reforma Agraria bagi Petani Masih Janji Kosong

Bulan depan, Oktober 2016, Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah meniup lilin tahun kedua memimpin Indonesia. Dalam usia kepemimpinan ini, Komite Nasional Pembaruan Agraria menilai, janji reforma agraria melalui Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019,  masih isapan jempol.

KNPA belum melihat upaya serius pemerintah dalam memperjuangkan dan mensejahterakan para petani.

”Masih banyak ketimpangan struktur agraria berupa kekuasaan, pemanfaatan tanah, pengalihan tanah, dan kemiskinan pedesaan bahkan perkotaan,” kata Dewi Kartika, Koordinator KNPA  juga Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, pada peringatan Hari Tani, di Jakarta (24/9/16).

Hak petani atas pengolahan dan kepemilikan masih belum menjadi prioritas. Kondisi ini, katanya, jelas bertolak belakang untuk kedaulatan pangan.

Berdasarkan data KPA, ada 56% atau 28 juta rumah tangga petani berada pada kemiskinan mengkhawatirkan. Mereka adalah petani yang memiliki tanah kurang 0,36 hektar dan petani tak punya tanah.

Kebijakan-kebijakan ekonomi politik Jokowi-JK, katanya, juga tak berpihak pada masyarakat. ”Pro-investasi, misal kebijakan pengadaan lahan untuk percepatan infrastruktur, pertambangan, pulau kecil dan lain-lain,”katanya seraya mengatakan, kebijakan-kebijakan ini malah mendiskreditkan kaum tani.

Begitu juga dengan kebijakan impor pangan dan tak dibarengi peningkatan pertanian. Jelas, katanya, membuktikan Jokowi tak memiliki upaya dan komitmen memperjuangkan hasil tani masyarakat kecil.

Para petani terus tergelincir dalam masalah rantai perdagangan dan tengkulak.

Belum lagi, ketimpangan struktur agraria seringkali dirasakan oleh perempuan. Perempuan tak dilibatkan. Padahal, sebagian besar waktu petani perempuan untuk mengelola sumber daya agraria terutama pertanian.

Solidaritas Perempuan menegaskan, penguasaan lahan di tingkat keluarga masih kental pola patriaki dalam penguasaan tanah. Hampir 90% tanah di tangan laki-laki. “Artinya ruang-ruang pengambilan keputusan oleh perempuan sangat dibatasi.”

Agraria tak hanya berbicara soal tanah, juga laut dan udara. ”Semangat pemerintah masih dalam ruh investasi,” kata Farid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Banyak proyek reklamasi, katanya, mengatasnamakan pembanguan, namun sama dengan mengutuk laut.

Hingga kini, sudah ada 30 wilayah telah dan akan reklamasi. Paling sedikit 200.000 keluarga terdampak reklamasi.

Menurut dia, konflik agraria meningkat menyebabkan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap rakyat. Dari 2004-2015, terdapat 1.772 konflik agraria pada 6,9 juta hektar lahan yang telah beralih fungsi.

”Ini korban hingga sekita 1 juta keluarga,” ucap Dewi.

Korban mulai petani, nelayan, masyarakat adat turut bersitegang dan adu fisik dengan aparat dan sekuriti perusahaan. Ada 1.673 orang ditangkap, 757 orang dianiaya, 149 orang ditembak dan 90 tewas.

”Itu terus mengalami kenaikan saat pemerintahan Jokowi.”

Berdasarkan data Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), selama pemerintahan Jokowi-JK, konflik agraria terbanyak terjadi sektor perkebunan 127 kasus (50%), infrastruktur 78 (28%), kehutanan 24 kasus 9,6%). Lalu, pertambangan 14 kasus (5,2%), dan lain-lain.,Luasan mencapai 400.430 hektar dan 108.714 keluarga.

Makin menguat

KNPA menyebutkan, ketimpangan struktur agraria kini lebih condong mensejahterakan korporasi. Investasi makin mudah di hulu hingga hilir.

”Perampasan tanah baik oleh swasta, BUMN seperti Perhutani, menyebabkan dalam kerusakan lingkungan,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi.

Akar masalah lingkungan, bencana ekologis dan kesejahteraan masyarakat minim, katanya, karena ada ketimpangan struktur agraria.

Stigma negatif terhadap petani, katanya,  menjadi salah satu kendala. ”Lahan jika dikelola petani tak akan produktif, petani juga tak akan sejahtera. Stigma ini harus dilawan. Negara harus hadir,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,