Liputan Sangihe: Tidak Jadi Diekspor ke Jepang, Di Mana Ikan-Ikan Dagho Berlabuh? (Bagian 1)

Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di wilayah terluar di seluruh Indonesia, salah satunya di Pulau Talaud, Propinsi Sulawesi Utara.

Tulisan pertama ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan SKPT di Pulau Talaud dan Pulau Sangihe.

***

Saya mencegat dua pemuda yang mengendarai sepeda motor di kompleks Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat (16/09/2016). Kepada mereka, saya menanyakan keberadaan Jeri, petugas Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang ditempatkan di daerah tersebut.

“Ada apa, ya?” tanya salah satu dari mereka. Pemuda yang satu lagi hanya diam dan menatap dengan mata kosong. Belum sempat menjawab pertanyaan, pemuda tadi langsung menimpal, “Saya Jeri.”

Mendengar jawabannya, saya memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan datang ke Dagho. Jeri mendengar dengan serius, lalu mengajak ke sebuah gedung yang masih berada di kompleks Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho.

Kami menuju ke tempat yang dimaksud. Jaraknya tak begitu jauh, sekitar 100 meter dari lokasi awal perjumpaan kami. Saya berjalan kaki. Jeri menunggang sepeda motor bersama seorang pemuda yang belakangan saya tahu bernama Rezka.

Jeri Srinur Eka Saputra dan Rezka Wijayanto adalah dua petugas Perindo yang ditempatkan di Dagho. Usia keduanya antara 24 sampai 26 tahun. Di sana, Jeri mengurusi marketing. Rezka mengurusi produksi. Dibantu 15 pekerja lokal, mereka melakukan pengolahan ikan untuk keperluan ekspor.

“Di sini, proses produksi ikan bisa sampai malam, mas. Tergantung ikan masuk jam berapa,” kata Rezka, begitu kami tiba di tempat yang disepakati.

Proses produksi yang dimaksud Rezka dimulai dengan menjemput hasil tangkapan nelayan yang dibawa ke dermaga Dagho hingga memasukkan ikan ke dalam cold storage. Dalam proses itu, mereka juga menyeleksi kualitas dan ukuran ikan sesuai dengan permintaan negara ekspor. Sedangkan ikan yang kualitasnya kurang baik, dijual ke pasar lokal.

“Ikan yang tidak sesuai standar ekspor dijual di lokalan, yang sudah lecet-lecet, mata merah, pokoknya jelek lah kualitasnya. Di pasar lokal, bisa kirim sebanyak-banyaknya. Semampu kita. Kalau ada, kirim. Kalau nggak ada, kita tunggu sampai volume 1 truck,” demikian Jeri dan Rezka menerangkan secara bergantian.

Suasana penangkapan ikan diatas perahu pajeko yang melaut di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Suasana penangkapan ikan diatas perahu pajeko yang melaut di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Dalam proses produksi, Perindo hanya mau menerima satu jenis ikan saja, yaitu malalugis. Karena, menurut mereka, ikan jenis ini adalah yang paling banyak dimasukkan nelayan.cSelain itu, pencampuran jenis diperkirakan akan mempengaruhi kualitas ikan.

Selain jenis, jumlah ikan juga dibatasi. Jumlah maksimal yang diterima Perindo dari nelayan adalah 2 ton. Pembatasan itu dilakukan sesuai dengan daya tampung air blast freezer (ABF) di Dagho. Sementara, angka minimal ikan yang diharapkan adalah 1 Ton.

“Maksimal 2 ton, minimal 1 ton biar nggak rugi. Kalau Cuma 10 kg, 15 kg, 100 kg, ya rugi. Listriknya mahal,” ujar Jeri.

Setelah menerima ikan, mereka bisa langsung melakukan pembayaran atau mengirim ke rekening nelayan. Harga yang dibayar fluktuatif, mengikuti harga di pasar. Untuk ikan jenis malalugis, Perindo mematok harga antara Rp8.500 hingga Rp10.000 per kg.

“Kita nggak bisa pastikan harga. Kalau harga pasar rendah, kita akan ikut. Makanya, kalau harga pasar rendah, nelayan akan masukkan ikan di sini,” demikian Jeri menjelaskan.“(Harga ekspor) kita kurang tahu. Itu urusan pusat.”

Di Mana Ikan-Ikan Dagho Berlabuh?

Nama Dagho kembali mencuat sejak dikunjungi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 12 Mei 2016 silam. Pelabuhan perikanan pantai yang diresmikan sejak tahun 1978 ini terletak di kecamatan Tamako. Dari kecamatan Tahuna, ibukota kabupaten Sangihe, waktu tempuh ke Dagho sekitar 90 menit perjalanan darat.

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Ketika mengunjungi Dagho, Susi sempat meresmikan dermaga dan revitalisasi pelabuhan. Selain itu, seperti diberitakan media massa dari tingkat lokal hingga nasional, Susi ikut menyaksikan ekspor ikan perdana dari pulau terluar. Sebanyak 24 ton produk frozen muroaji, yang merupakan ikan jenis malalugis, diberangkatkan dari pelabuhan Dagho dengan tujuan Jepang.

Namun, berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan Mongabay, empat bulan setelah kunjungan menteri, ekspor ikan perdana itu belum benar-benar terjadi. Jeri dan Rezka tak bisa berkelit. Ketika menteri Susi berada di sana, ikan-ikan jenis malalugis itu hanya dikirim ke Bitung. Bukan Jepang. Belum terpenuhinya kuota ekspor menjadi alasannya.

Kendala ekspor yang dihadapi Perindo diduga karena daya tampung ABF yang terbilang minim, atau idealnya hanya cukup untuk memuat ikan sebanyak 2 ton. Tak cuma itu, Jeri dan Rezka menyebut, faktor cuaca juga menjadi penghambat. Sejak pertengahan Agustus hingga September awal, mereka diperhadapkan dengan cuaca buruk. Sehingga, hanya ada sedikit ikan yang masuk ke Dagho.

Ikan malalugis hasil tangkapan nelayan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Ikan malalugis hasil tangkapan nelayan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Felix Gaghaube, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sangihe membenarkan permasalahan tersebut. Hingga saat ini ekspor ikan dari Dagho belum terealisasi. Menurut dia, setelah kunjungan Menteri Susi, Perindo ditargetkan memenuhi 24 ton kuota ekspor ke Jepang dalam kurun 2 minggu. Namun, target tersebut belum bisa dipenuhi karena kondisi antara cold storage dan ABF dinilai belum berimbang.

“Kita hanya punya cold storage berkapasitas 40 ton. (Kapasitas) ABF 2 ton, yang perlu waktu 8 jam untuk memproses ikan. Sementara, nelayan berharap bisa memasukan ikan setiap saat,” ujar Felix ketika ditemui Mongabay di penghujung Festival Pesona Sangihe 2016. “Saya baru dapat info dari Perindo, sekarang rencana ekspor ke Korea Selatan. Saya belum tahu persis berapa kuotanya.”

Meski belum berhasil memenuhi target kuota ekspor ke Jepang, Perindo telah membidik Korea Selatan sebagai negara tujuan. Ditetapkannya Korea Selatan sebagai negara tujuan ekspor bukan cerita baru. Sebelum kedatangan menteri Susi, negeri ginseng ini memang ditargetkan menjadi tujuan ekspor ikan malalugis dari Dagho.

Noch Telew, Kepala Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas II Tahuna, sempat menyaksikan kegalauan Perindo dalam menentukan negara yang menjadi tujuan ekspor.

“Jadi, sebelum launching ekspor perdana, mereka (Perindo) rencana ekspor ke Korea Selatan. Tapi, belum bisa. Akhirnya, ketika menteri Susi datang, mereka rencana ekspor ke Jepang,” ujar Noch Telew ketika ditemui Mongabay di ruangannya.

Perubahan target negara ekspor dari Korea Selatan ke Jepang disebabkan belum keluarnya nomor registrasi unit pengelolaan ikan ini di negara tujuan. Beberapa bulan berlalu, proses registrasi ke Korea Selatan akhirnya disetujui. Dampaknya, negara tujuan ekspor berpotensi kembali ke versi semula.

Ikan dalam satu wadah ini dijual seharga Rp20ribu di pasar ikan di Pulau Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Ikan dalam satu wadah ini dijual seharga Rp20ribu di pasar ikan di Pulau Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Bagi Noch Telew, kembali bergantinya negara tujuan ekspor terbilang wajar. Sebab, terdapat ketentuan masa berlaku nomor registrasi. Artinya, jika selama setahun tidak melakukan pengiriman ke Korea Selatan, maka nomor registrasi itu bisa dibekukan.

“Seandainya mereka batal kirim ke Jepang, tidak masalah bagi kami. Karena mereka mungkin mengejar tenggat waktu pengiriman ke Korea selatan,” terangnya.

Sampai sekarang, Perindo masih terus berupaya memenuhi kuota ekspor. Dengan menggunakan 2 truk pengangkut yang dilengkapi fasilitas pendingin, ikan-ikan itu dititipkan di Bitung. Proses pengiriman terhitung sebanyak 3 kali, yang di antaranya juga untuk penjualan domestik.

“Berita terakhir, sekitar 13 ton yang siap ekspor. Untuk dijual di lokalan, mungkin sudah cukup banyak. Mungkin sekitar 10-20 ton,” papar Noch Telew. “Meski pengiriman ke negara tujuan ekspor nantinya melalui Bitung, namun dokumennya akan dibikin dari sini.”

Upaya Menemukan Solusi

Permasalahan air blast freezer (ABF) yang tidak mampu menampung hasil tangkapan nelayan diharapkan bisa terselesaikan di penghujung tahun ini. Sebab, di kompleks pelabuhan perikanan pantai Dagho, sedang diupayakan pembangunan coldstorage dan ABF yang baru.

Dikatakan Felix Gaghaube, Kadis DKP Sangihe, pembangunan fasilitas itu merupakan bentuk dukungan KKP agar ekspor ikan dari Dagho dapat terealisasi. Cold storage yang sedang dibangun di sana berkapasitas 210 ton, sementara daya tampung ABF 15 ton. Ditargetkan, pembangunan fasilitas itu selesai November 2016.

Jalan dari dermaga pelabuhan perikanan Dagho, Sangihe, Sulut menuju pabrik pengolahan ikan. Pembangunan gudang beku terintegrasi ini sebagai bagian dari pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Pulau Talaud. Foto : Themmy Doaly
Jalan dari dermaga pelabuhan perikanan Dagho, Sangihe, Sulut menuju pabrik pengolahan ikan. Pembangunan gudang beku terintegrasi ini sebagai bagian dari pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Pulau Talaud. Foto : Themmy Doaly

 

“Saya yakin, ketika ini bisa berfungsi dengan baik, mungkin permasalahan nelayan soal produksi yang tidak terakomodir akan terjawab,” harap Felix.

Selain mengharapkan beroperasinya fasilitas yang sementara dibangun, pemerintah kabupaten juga sedang mengembangkan kemampuan produksi perikanan nelayan di kecamatan sekitar Dagho. Hal itu seperti dikatakan Merlyn Neyland, Manajer Lapangan Sekretariat PSKPT (Pengembangan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu) Tahuna.

Menurut dia, terdapat setidaknya 3 sampai 4 kecamatan di sekitar Dagho, yang bisa jadi lokasi pengembangan kapasitas nelayan. Kecamatan-kecamatan itu di antaranya, Tatoareng, Tamako, serta Manganitu Selatan. “Tujuannya, agar nelayan sekitar mau menjual ikannya ke Dagho. Kalau lihat potensi perikanan di sana bagus. Ikan pelagisnya bagus, ikan demersalnya banyak,” terang Merlyn.

Pertimbangan tersebut didasari jarak dari Tahuna ke Dagho yang terbilang jauh. Sementara, potensi perikanan di sekitar pelabuhan perikanan kurang begitu dimanfaatkan.

Dia mencontohkan, nelayan di Kecamatan Tatoareng bisa menangkap ikan di atas 5 ton sekali melaut. Hanya saja hasil tangkapan itu tidak didaratkan di Dagho. Salah satu persoalannya adalah ABF yang hanya bisa menampung ikan sebanyak 2 ton saja.

Selain persoalan daya tampung ABF, upaya memaksimalkan perikanan di Dagho dinilai perlu dilakukan juga dengan penambahan fasilitas untuk mengundang nelayan. Merlyn memperkirakan, banyaknya nelayan yang mendaratkan ikan di Tahuna karena kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan melaut bisa didapatkan di daerah tersebut.

“Di pasar Towo, Tahuna, nelayan bisa langsung menjual ikan, dapat uang, belanja, beli kebutuhan rumah tangga, kebutuhan untuk di kapal. Kebutuhan itu semua ada di Tahuna, sementara fasilitas di Dagho masih kurang,” ungkapnya.

Sambil menunggu beroperasinya fasilitas yang baru, Merlyn juga berharap Perindo bisa melakukan inovasi-inovasi di lapangan. Misalnya, dengan menyiasati daya tampung ABF dengan membangun bak penampung jika nelayan membawa ikan melebihi kapasitas ABF.

“Pemda pernah mengusulkan kepada Perindo untuk membuat bak penampung. Nanti, tenaga kerjanya ada bantuan dari pemda. Tapi, sampai sekarang belum juga dibikin,” pungkas Merlyn.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,