RI Komitmen Tinggi Turunkan Emisi, Kok Batubara Masih Andalan?

Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia berkomitmen kuat ikut berkontribusi dalam penurunan emisi global sebesar 29% pada 2030. Kala melihat dari sektor energi, komitmen cukup berani ini apakah sejalan dengan praktik di lapangan?

Faisal Basri, mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengatakan, komitmen pemerintah ada untuk energi terbarukan, hingga dapat menekan emisi gas, tetapi dalam implementasi belum terlihat. Faktanya, batubara masih menjadi energi nomor satu, padahal memberi dampak besar terhadap perubahan iklim.

“Pemerintah makin meningkatkan komitmen penurunan emisi, tapi implementasi masih lemah. Tak sejalan,” katanya, dalam seminar “Menjawab Tantangan Ketahanan Energi dan Perubahan Iklim” di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, baru-baru ini.

Sumber energi seperti gas, batubara, dan minyak produksi terus menurun. Bahkan dia memprediksi produksi batubara defisit dalam jangka lima tahun ke depan.

Baca juga: Ongkos Kesehatan Sampai Ratusan Triliun, Batubara Itu Ternyata Energi Termahal

Cadangan energi Indonesia sektor minyak tercatat 3,6 miliar barel pada 2015. Jumlah ini,  terus turun dibandingkan 20 tahun lalu mencapai 5 miliar barel. Jika tak ada gerakan serius pemerintah, dia memprediksi 12 tahun, sejak 2015, cadangan minyak bisa habis.

“Kita masih menimba minyak lebih banyak daripada menemukan sumur (minyak) baru. Ini akan mengancam ketahanan energi,” katanya.

Pemerintah,  katanya, belum menemukan sumur baru, ditambah penggunaan energi terbarukan tak berjalan semestinya.

Baca juga: Angin Surga Beralih ke Energi Terbarukan Kala Pengembangan Masih Bertumpu Batubara

Dia juga memandang program 35.000 Mega Watt, masih minim  dari energi terbarukan, 60% masih bersumber batubara.

“Kita harus mengembangkan energi terbarukan, apalagi energi fosil terus defisit,” katanya.

Pemerintahan Jokowi, katanya, dalam merealisasikan energi ke desa yang belum ada listrik sudah cukup tinggi, terutama di perbatasan, walau masih banyak belum teraliri. Untuk itu, katanya, energi terbarukan seperti tenaga surya, mikrohidro, kincir angin, sampai biogas, bisa menjadi solusi dalam pemenuhan listrik.

“Ini yang harus diterapkan hingga mereka bisa akses energi,” ucap Faisal.

Senada dengan Faisal Basri, Wimar Witoelar,  pendiri YPB menilai pemerintah belum maksimal manfaatkan energi terbarukan meskipun energi fosil produksi turun.

 

Mahasiswa ambil peran

Penanganan maupun pencegahan perubahan iklim, perlu peran semua pihak, dari pemerintah, swasta, masyarakat termasuk mahasiswa. Generasi muda, kata Wimar, seperti mahasiswa,  penting peduli isu perubahan iklim karena bicara soal menjaga keberlanjutan dan kelestarian bumi bagi generasi mendatang.

Dosen Fakultas Tekno Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Pramana Yuda mengatakan, peran mahasiswa dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,  bisa dalam berbagai hal, seperti energi terbarukan.

Mahasiswa, katanya, bisa sebagai pemanfaat energi terbarukan dalam kebutuhan kuliah dan sehari-hari, sampai ikut kampanye-kampanye hijau. “Dalam aspek akademik, bisa juga lewat penelitian dan inovasi,” katanya.

Para pembicara dalam diskusi perubahan iklim, yang menyorioti salah satu keseriusan mengembangkan energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando
Para pembicara dalam diskusi perubahan iklim, yang menyorioti salah satu keseriusan mengembangkan energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,