Persoalan Tambang Masih Menumpuk, Bukti Karut Marut Tata Kelola

Tata kelola hutan dan lahan di negeri ini masih karut marut. Berbagai masalah muncul dari perizinan, tumpang tindih, deforestasi, kebakaran,  hingga konflik-konflik  sosial di masyarakat. Sektor ekstraktif penyumbang masalah ini salah satu tambang.

Lili Hasanuddin, Direktur Program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (Setapak) mengatakan, setidaknya ada 6,3 juta hektar izin tambang masih beroperasi di kawasan hutan pada sejumlah wilayah di Indonesia. Dari angka ini, 1,37 juta hektar di hutan konservasi, dan 4,93 juta hektar hutan lindung. Hampir 4.000 izin usaha pertambangan (IUP) belum clean and clear (CnC).

“Kami yakin tata kelola hutan dan lahan yang baik kunci pelestarian lingkungan serta pertumbuhan berkesinambungan berpihak kelompok lemah. Dukungan pemerintah memberikan kebijakan yang memerhatikan kebutuhan masyarakat,”  katanya dalam  diskusi Tambang versus Masa Depan Hutan Indonesia di Cikini, Jakarta, pekan lalu.

Pemerintah, katanya,  harus membatasi atau menghentikan izin industri ekstraktif perusak lingkungan dan mengakibatkan masyarakat rugi secara ekonomi dan sosial.

Selama ini, pemerintah berdalih perusahaan ekstraktif sebagai sumber investasi demi kemajuan ekonomi masyarakat. Nyatanya, banyak tak terbukti, masyarakat justru makin sengsara. Belum lagi,  dampak sosial industri ekstraktif terutama pertambangan, menyisakan trauma di masyarakat.

Dia mencontohkan, Kalimantan Timur,  sebagai wilayah eksploitasi tambang batubara baik perusahaan berizin maupun tak jelas. Lubang-lubang tambang menjadi persoalan besar, letak berdekatan dengan kawasan hutan dan permukiman masyarakat. Di Samarinda,  ratusan lubang tambang menganga mengancam nyawa masyarakat sekitar. Lubang-lubang tambang mengepung hak hidup masyarakat, dan merenggut 24 anak-anak.

Kolam tambang batubara di Sarolangun yang dibiarkan menganga tanpa reklamasi. Foto: Feri Irawan
Kolam tambang batubara di Sarolangun yang dibiarkan menganga tanpa reklamasi. Foto: Feri Irawan

Menurut dia, persoalan lapangan begitu banyak hingga perlu wadah kolaborasi antara pemangku kebijakan, baik masyarakat, dan media dalam membuka ruang diskusi. Juga mengawal isu-isu hutan, mendorong upaya berbagai pihak dalam mewujudkan tata kelola pertambangan yang baik.

“Masyarakat bisa bersama-sama,  bahu-membahu mengawasi praktik industri ekstraktif SDA dan terus mendukung gerakan penyelamatan lingkungan,” katanya.

Koordinator Tim Sumber Daya Alam Direktorat Litbang KPK Dian Patria mengatakan,  ada 1.222 IUP dicabut, tak diperpanjang dan dikembalikan hingga Juni 2016. Mereka tak memenuhi syarat. “Ini sudah dicabut per Juni 2016,” katanya.

Dia mengatakan, masih banyak upaya eksploitasi SDA tak mengikuti aturan. “Bisa jadi itu legal tapi tak legitimate. Artinya legal di atas kertas, tak legitimate di lapangan seperti konflik, izin tak CnC.”

Hasil Koordinasi dan Supervisi KPK menunjukkan, banyak masalah penerbitan IUP antara lain pergeseran atau perluasan koordinat IUP, koordinat salah, masuk hutan konservasi dan lindung, tumpang tindih baik sama maupun beda komoditas.

“Pemerintah seharusnya membuka data perusahaan tambang bermasalah. Hingga April 2016, 3.982 IUP berstatus CnC dari 10.348 IUP seluruh Indonesia,” katanya.

Bahkan, dari 7.834 pemegang IUP, hanya ada 5.984 punya nomor pokok wajib pajak (NPWP), yang membayar hanya 2.304 (29%). Total, piutang IUP Rp.908,868 miliar dari iuran tetap, royalti dan pendapatan hasil tambang (PHT). Sampai semester-I 2015, piutang sektor tambang Rp23 triliun.

Belum lagi masalah tumpang tindih di hutan,  terdapat 4,9 juta hektar hutan lindung masuk IUP tanpa izin pinjam pakai dan 1,3 juta hektar hutan konservasi ber-IUP. “Dari kacamata kami, dalam pemberian izin tak hati-hati dan syarat-syarat tak dicek,” ucap Dian.

Penyebab izin-izin keluar sembarangan, katanya, karena pengawasan lemah. Beberapa izin dibuat seolah-olah memenuhi aspek regulasi dan data administrasi. Setelah dikaji, ada banyak permasalahan dalam penerbitan izin, hingga menimbulkan eksploitasi SDA.

Beberapa persoalan dalam penerbitan izin, misal, izin pertambangan masuk kawasan hutan konservasi dan lindung, dokumen perizinan tak lengkap, dan tak ada izin lingkungan. Juga tak membayar kewajiban royalti, iuran tetap, jaminan reklamasi, jaminan kesungguhan dan pasca tambang.

“Satu izin pertambangan memiliki lebih satu blok wilayah, serta banyak bermasalah. Bisa jadi karena tak ada pengawasan dan sanksi.”

Gubernur, katanya, sudah mendapat kewenangan menuntaskan IUP bermasalah, termasuk kewenangan mencabut dalam UU Pemerintahan Daerah. Ketentuan ini,  juga diperkuat lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2015 soal tata cara evaluasi penerbitan izin usaha pertambangan mineral dan batubara. Sayangnya, hingga Agustus 2016, masih ada 3.772 IUP bermasalah.

nilah lahan pasca-tambang PT. MPR yang masih menganga. Warga Ganda-ganda cemas, karena lokasinya yang berada di atas permukiman. Foto: Wardi Bania
nilah lahan pasca-tambang PT. MPR yang masih menganga. Warga Ganda-ganda cemas, karena lokasinya yang berada di atas permukiman. Foto: Wardi Bania

IUP bermasalah, katanya, antara lain, karena penerbitan ganda di kawasan sama, IUP dengan alamat tak valid, IUP di hutan lindung atau konservasi, atau pemegang IUP tak punya NPWP.

“Patut diduga semua main mata, jangan-jangan ada suap, mulai pemberian izin dan proses produksi dilaporkan hanya sedikit. Akhirnya,  kami berpendapat, KPK mesti beyond corruption,” ucap Dian.

Tak berubah

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, pertambangan merusak ruang hidup masyarakat. Data Jatam, ada 421 wilayah karya migas luas konsesi 85 juta hektar di darat dan laut, 69 dikuasai asing (31%), 101 Kontrak Karya, dan 159 PKP2B.

“Dalam kurun lima tahun, sejak UU Minerba ditetapkan terjadi peningkatan IUP, luas 93,36 juta hektar atau 44% daratan Indonesia,” katanya.

Model lelang wilayah, katanya,  kembali mulai 2009,  hanya mengubah cara penguasaan namun watak kuasa wilayah sama. “Hanya menilai pulau–pulau indonesia dan sumberdaya dikandung sebagai komoditas belaka.”

Ambil contoh, katanya, lubang tambang batubara di Kaltim, dalam lima bulan 2016, sudah enam nyawa melayang,  tiga anak-anak. “Total 24 orang tewas di lubang tambang.”

Pertambangan, katanya,  juga seenaknya merambah hutan konservasi dan lindung tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Bahkan, katanya, terkesan ada hak istimewa terhadap perusahaan tambang merambah hutan konservasi. “Mudah mengotak atik perubahan status kawasan hutan guna melancarkan operasi mereka.”

Data Jatam, di Banyuwangi, tambang emas PT. BSI dan Sultra PT. AHB,  dapat mengotak–atik status hutan lindung. PT Soe Makmur Resources, NTT, menambang mangan sejak 2010, baru mengurus IPPKH belakangan.

Berdasarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2013,  sudah melaporkan 26 perusahaan tambang melanggar UU Kehutanan, mayoritas tanpa IPPKH dan memiliki unsur kerugian negara.

Pertambangan IUP,  berbanding lurus dengan kasus-kasus yang menimpa rakyat sebagai korban industri pertambangan. Periode 2009-2016, sudah 607 korban kekerasan dan kriminalisasi, 88 korban jiwa.

“Ini belum termasuk korban lubang tambang di Kaltim, 24 warga tewas dan Bangka Belitung 53 nyawa melayang.”

Tambang Galian C ilegal di Lereng Gunung Merapi. Foto: Tommy Apriando
Tambang Galian C ilegal di Lereng Gunung Merapi. Foto: Tommy Apriando

Selain itu, pertambangan melibatkan pengerahan aparat negara yaitu kepolisian dan TNI. Sisanya,  melibatkan preman, laskar dan organisasi kriminal lain. Keduanya, beroperasi melayani kelancaran operasi pertambangan.

Freeport, misal, pada 2011, terlibat skandal membayar jasa keamanan kepolisian dan TNI. PT Kaltim Prima Coal (KPC) menggunakan tanggung jawab sosial (CSR) buat membiayai fasilitas keamanan dan militer demi melindungi operasi di Kutai Timur. Bahkan,  berhasil menyusup pakai UU TNI soal pengamanan obyek vital nasional yang bersifat strategis.

“Ada 126 lokasi dikategorikan Kementerian ESDM sebagai obyek vital nasional strategis, tersebar lebih 20 provinsi di Indonesia. Mayoritas menghadirkan konflik,” ucap Merah.

Dia menilai, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, masih pro tambang. “Janji pemerintah Jokowi menegakkan hukum lingkungan tak bisa dipegang. Hingga kini sejumlah kebijakan justru melanggar penegakan hukum lingkungan seperti kasus Tambang Pulau Bangka, Freeport dan pembiaran terhadap lubang tambang Kalimantan,” katanya.

Sementara, Lies Marcoes, Pegiat perempuan dan Lingkungan mengatakan, kerusakan lingkungan dari tambang berdampak besar pada perempuan. Dari kacamata social, makin tinggi masalah lingkungan, masalah sosial makin banyak.

Perusakan lingkungan, katanya, tak hanya mempengaruhi lingkungan itu juga krisis sosial dan gender. “Industri tambah mempertinggi pengidap HIV/AIDs, dan angka kekerasan terhadap perempuan,” katanya.

Sedang Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengaku cukup sulit penegakan hukum lingkungan.

Di Kaltim, misal, kala akan tegakkan hukum, dalam penyelidikan, perusahaan pewaris lubang tambang sudah menghilang. Untuk itu, prioritas pemerintah kini menutup lubang tambang yang mengangga.

“Selain penegakan hukum, harus diperhatikan juga masalah pemulihan,” katanya.

Menurut dia, dari penelitian masyarakat tinggal di sekitar perusahaan tambang malah miskin karena bisnis itu hanya menguntungkan segelintir orang. “Kami akan dorong penegakan hukum terhadap perusahaan, namun pemulihan lingkungan yang utama.”

Kehadiran tambang telah merenggut kemakmuran warga Desa Kertabuana. Selain kesulitan air bersih, gagal panen dan kesulitan tanam juga dialami petani. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Kehadiran tambang telah merenggut kemakmuran warga Desa Kertabuana. Selain kesulitan air bersih, gagal panen dan kesulitan tanam juga dialami petani. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,