Liputan Sangihe : Di Pusat Ikan, Tapi Jauh dari Pusat Perikanan, Nasib Nelayan Tidore (Bagian 3)

Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di wilayah terluar di seluruh Indonesia, salah satunya di Pulau Talaud, Propinsi Sulawesi Utara.

Tulisan ketiga ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang meliput ke Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan SKPT di Pulau Talaud dan Pulau Sangihe.

***

Sebelum ayam berkokok, perahu pajeko sudah mengiris perairan Sangihe, Sulawesi Utara. Jam menunjukkan pukul 4.00 pagi, waktu setempat. Kelap-kelip bintang terlihat jelas.Laut tenang. Padahal, beberapa hari sebelumnya, ombak dan badai menerjang kabupaten kepulauan ini. Hujan juga sempat mengguyur secara bertubi-tubi.

Di atas perahu, terdapat sekitar 20 nelayan dari Kelurahan Tidore, Kecamatan Tahuna. Hari itu, Rabu (21/9/2016), mereka akan menjaring ikan malalugis. Diperkirakan, tak sampai sejam perahu akan tiba di lokasi tangkap.

“Kalau cuma tangkap ikan dekat-dekat, bisa dapat sekitar 500 kg sampai 1 ton. Kalau agak jauh, bisa 2 hingga 7 ton,” terang Kisman, salah seorang nelayan dari kelurahan Tidore.

Dulu, kata dia, banyak nelayan Filipina menangkap ikan di perairan Sangihe. Mereka umumnya mencari tuna. Orang-orang Filipina itu juga dikenal gigih. Kabarnya, mereka bisa bertahan di laut lebih lama dari nelayan lokal.

“Laut ini dulu ramai sekali. Ratusan kapal Filipina ada di sini,” kenang Kisman.“Mereka tangkap ikan, lalu bawa ke negara mereka.”

Namun, sejak Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, kapal-kapal asing itu sudah tidak berani mengambil ikan di perairan Sangihe. Bahkan, aktifitas kapal lokal yang melakukan jual-beli ikan di tengah laut sudah tidak ada.

Setelah menempuh sekitar 40 menit perjalanan, perahu pajeko akhirnya tiba di lokasi tangkap. Jam tepat menunjukkan pukul 5.00 pagi. Sebuah perahu dengan lampu menyorot ke laut sudah menunggu di sana. Kata Kisman, perahu itu memang ditugaskan untuk menemukan lokasi berkumpulnya ikan malalugis.

Seorang nelayan melemparkan jangkar dari bagian depan perahu. Beberapa nelayan melihat ke dalam laut. Mereka bisa melihat sekelompok ikan malalugis berputar-putar. Sementara, dua orang lainnya terlihat serius mendiskusikan arah angin.

Sejurus kemudian, datang instruksi untuk segera bersiap-siap. Jaring ditebar di bagian kanan perahu. Para nelayan mulai mengatur posisi. Jaring meluncur cepat dan dalam waktu singkat telah melingkari perairan Sangihe.

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Di atas pajeko, para nelayan mulai menarik alat tangkap itu. Mereka tersebar dari depan, tengah hingga belakang perahu. Sebuah mesin ikut membantu menarik tali dengan cepat. Proses ini memakan waktu sekitar satu jam.

Di sisi lain, nampak beberapa perahu yang ukurannya lebih kecil. Ada yang menggunakan mesin. Ada juga yang hanya mendayung. Mereka mengikuti jaring yang perlahan mendekati pajeko.

Dari arah timur sinar matahari mulai mengintip. Cuaca sedang baik.Tak ada hujan, ombak, badai, apalagi polusi. Warna langit, laut dan pegunungan di Sangihe berpadu membentuk pemandangan yang mempesona. Sebuah pagi yang biasa disaksikan nelayan, tapi istimewa bagi saya.

Sejurus kemudian, sekumpulan ikan nampak sudah terperangkap. Beberapa nelayan berusaha keras menarik jaring dan segera mendapat bantuan. Ada yang menarik dari atas pajeko. Ada pula yang mendorongnya dari perahu kecil, sambil memungut beberapa ikan.

Hasil tangkapan itu akhirnya mendarat di atas pajeko.Sebagian besar akan dipindah ke sebuah cool box. Sisanya ditampung pada beberapa ember hingga penuh.

Ikan malalugis hasil tangkapan nelayan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Ikan malalugis hasil tangkapan nelayan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Seorang pemuda coba mengangkatnya sendiri. Ia nampak meringis, mengerutkan dahi, lalu minta pertolongan. Terlalu berat. Beberapa nelayan datang membantu. Mereka meletakkan jaring itu di depan cool box, untuk menarik nafas perlahan.

“Satu, dua, tigaaaa…”salah seorang memberi aba-aba dengan hitungan. Lalu mereka mengangkatnya secara bersama. Dan… “byurrrrr”.

Belum tiba di cool box, jaring itu jebol. Ikan-ikan menggelepar di lantai pajeko. Ada yang melompat-lompat. Banyak yang terkapar tak bernyawa. Para nelayan cepat-cepat memunguti hingga kotak penampung itu nyaris penuh.

Di sebuah ruangan khusus, kapten pajeko sedang merokok. Setelah ikan terkumpul, ia mengarahkan perahu ke daratan Tidore dengan mengurangi kecepatan. “Kalau tangkapan cuma sedikit begini, nggak usah cepat-cepat.Santai saja,” kata dia sambil tersenyum. “Biar perahu lain yang bawa ikan ke pasar.”

Dia memperkirakan, hasil tangkapan hari itu sekitar 100 kg. Jumlah yang sedikit bagi nelayan kelurahan Tidore. Di jarak dekat, mereka biasa memperoleh 500 kg sampai 1 ton. Menurut kapten pajeko, nelayan kelurahan Tidore biasanya menjual ikan ke pasar lokal atau dikirim ke Manado.

(Baca : Tidak Jadi Diekspor ke Jepang, Di Mana Ikan-Ikan Dagho Berlabuh? )

“Kalau cuma sedikit tidak langsung dibawa ke pasar. Gengsi,” kata dia sambil sesekali menggerakkan kemudi. “Nanti diturunkan di Tidore. Lalu dibagikan. Biar jual sendiri-sendiri.”

Di luar ruangan, para nelayan sudah siap dengan ember masing-masing yang dipenuhi ikan. Beberapa nelayan muda tampak merapikan alat tangkap. Kata kapten, tak satupun dari mereka yang digaji. Sistem di perahu itu adalah bagi hasil.

Seorang nelayan dari kelurahan Tidore, Sangihe, Sulut, sedang menarik jaring dari atas perahu pajeko. Foto : Themmy Doaly
Seorang nelayan dari kelurahan Tidore, Sangihe, Sulut, sedang menarik jaring dari atas perahu pajeko. Foto : Themmy Doaly

“Mereka tangkap ikan, jadi dibayar juga pake ikan,” ujarnya sambil menghisap rokok dalam-dalam. Sejurus kemudian, ia menghembuskan asapnya. “Kalau tangkapan banyak, mereka bisa bawa 1 keranjang. Kalau ditimbang mungkin 50 kg.”

Ingin Jual Ikan ke Dagho, Tapi…

Setelah beberapa waktu, perahu akhirnya kembali sandar di pesisir Tidore. Ibu-ibu yang sudah sekian waktu menunggu, langsung menjemput hasil tangkapan. Beberapa di antaranya segera bergegas ke pasar Towo’e.

Di suatu beranda, Alfiah Ransa menunggu. Di sana, ia juga sudah menyediakan teh hangat dan beberapa roti. Di sampingnya, seorang ibu sibuk membagi-bagikan ikan pada beberapa warga.

“Ikan-ikan itu tidak dijual, bu?” tanya saya pada Alfiah.

“Tidak. Kami sudah terbiasa membagikan beberapa hasil tangkapan secara gratis. Sudah jadi kewajiban,” jelasnya.

Alfiah adalah pengusaha ikan dari kelurahan Tidore. Sejauh ini, pihaknya sudah mengirim ikan sebanyak 2 kali ke Dagho. Tapi, ia lupa waktu tepatnya terakhir kirim ikan ke sana. Kendala jarak dan waktu tempuh membuatnya berpikir dua kali. Sehingga, Dagho jadi opsi ketika harga pasar kurang bagus.

“Kalau lagi jarang ikan, harganya tinggi. Sekeranjang bisa Rp700 ribu. Kalau ikan lagi banyak, murah. Bisa sampai Rp150 ribu per keranjang,” terangnya. “Sementara (kalau ikan lagi murah) duitnya belum tentu ada. Jadi, biar 500 kg atau 1 ton langsung kirim ke Dagho. Walaupun harganya agak di bawah juga, tapi uangnya sudah jelas,” terangnya.

Seperti dipaparkan Alfiah, harga jual ikan di Dagho adalah Rp8500. Sementara, harga jual di Manado lebih tinggi, yaitu Rp11.500. Hanya saja, penjual ke Manado itu belum terhitung dengan ongkos kapal dan biaya jasa buruh angkut.

Ikan dalam satu wadah ini dijual seharga Rp20ribu di pasar ikan di Pulau Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Ikan dalam satu wadah ini dijual seharga Rp20ribu di pasar ikan di Pulau Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Minggu sebelumnya, nelayan sekitar mendapat ikan malalugis hingga 1 ton. Karena pasar lokal tidak bisa menampung keseluruhan hasil tangkapan, maka ikan-ikan itu dijual ke Manado. Mereka sempat berencana menjual ikan malalugis ke Pelabuhan Perikanan Dagho. Tapi, ketika Alfiah menghubungi Jeri, petugas Perindo yang sempat bertugas di Dagho, ia mendapat kabar di sana sedang tidak ada es batu.

Alfiah sebenarnya merasa sedikit heran dengan pembangunan industri perikanan di Dagho. Sebab, dia menilai, pusat aktifitas perikanan terdapat di Tahuna. Selain itu, jarak tempuh dari kelurahan Tidore menuju Dagho terbilang jauh.

“Makanya kami bingung juga. Basis nelayan ada di Tidore, tapi pabriknya dibangun di Dagho yang nggak ada nelayannya.”

Padahal, tambah dia, waktu pertama kali datang ke Sangihe, Susi Pudjiastuti sempat melakukan peletakan batu pertama di Tahuna. Kabarnya,  akan ada pembangunan industri perikanan tak jauh dari lokasi nelayan Tidore.

“Kami senang. Kan, kami pemasok ikan terbanyak. Tapi, kok, setelah ditunggu-tunggu sampai sekarang nggak ada realisasinya.Tiba-tiba Dagho yang direvitalisasi lagi,” lanjut Alfiah. “Dagho itu memang sudah dari berapa puluh tahun lalu. Tapi, sudah jadi seperti kuburan mati saja. Nggak jalan. Setelah Perindo masuk baru beroperasi lagi.”

(Baca : Tepatkan Dagho Jadi Sentra Perikanan? )

Sebelumnya, pemerintah kabupaten memang sempat mempertimbangkan pelabuhan Santiago sebagai pusat produksi perikanan di Sangihe. Jika berjalan sesuai rencana, seharusnya pelabuhan yang terletak di kecamatan Tahuna ini jadi pelabuhan perikanan untuk ekspor.Sementara, Dagho dipersiapkan sebagai pelabuhan pendukung untuk menampung ikan dari pulau-pulau sekitar.

Jalan dari dermaga pelabuhan perikanan Dagho, Sangihe, Sulut menuju pabrik pengolahan ikan. Pembangunan gudang beku terintegrasi ini sebagai bagian dari pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Pulau Talaud. Foto : Themmy Doaly
Jalan dari dermaga pelabuhan perikanan Dagho, Sangihe, Sulut menuju pabrik pengolahan ikan. Pembangunan gudang beku terintegrasi ini sebagai bagian dari pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Pulau Talaud. Foto : Themmy Doaly

Namun, ketika Sangihe ditetapkan sebagai Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), skenario itu berubah. KKP mengucurkan dana sekitar Rp57,6 miliar untuk mendorong pembangunan kelautan dan perikanan di Sangihe. Lebih dari setengah jumlah bantuan KKP tadi dialokasikan untuk proyek revitalisasi Dagho yang mencapai Rp29,5 miliar.

Bu Susi, Tolong Dengar Keluhan Nelayan

Lebih menyedihkan lagi, ketika Menteri Susi datang ke Dagho, nelayan dari kelurahan Tidore tidak mendapat undangan. Padahal, Alfiah dan rekan-rekannya berharap bisa bertatap muka secara langsung dengan Susi Pudijiastuti untuk menyampaikan kegelisahan nelayan setempat.

Kepada Mongabay, dia menceritakan keluhan yang gagal disampaikan pada Menteri Kelautan dan Perikanan itu. Pertama, ujar Alfiah, soal bantuan yang tidak tepat sasaran.Selama ini, dia menilai, ada pihak-pihak yang bukan nelayan mendapat bantuan.Dampaknya, bantuan-bantuan itu bisa disalahgunakan, misalnya dijual kembali.

“Ada, lho, yang dijual. Saya sempat ditawarin rakit. Saya nggak mau beli. Takut nanti saya didatangi KPK,”ujar Alfiah. Lebih memperihatinkan lagi, nelayan justru mendapat bantuan yang tidak sesuai. “Yang lalu, kami dapat bantuan rakit. Katanya dapat 15 rol tali, tapi kita cuma dapat 12 rol.”

Selain persoalan bantuan, dia ingin menyampaikan pada menteri tentang permasalahan nelayan ketika melaut. Dikatakan dia, selama ini, seluruh awak kapal dituntut untuk mempunyai ijazah. Sementara, lokasi pengurusan surat-surat itu belum terdapat di Sangihe.

Ketika menteri Susi datang, pihaknya ingin meminta menteri untuk memfasilitasi hadirnya lokasi pengurusan surat itu di Sangihe agar tidak perlu lagi ke mengurus di Manado.

“Selama ini, kami harus ke Manado untuk urus surat-surat itu. Susah.Tapi, kalau ada patroli, nelayan yang tidak punya ijazah bisa ditangkap. Kita jadi kayak orang Filipina saja, jadi tamu di negeri sendiri,” keluh Alfiah.

nelayan di Tidore, Sangihe, Sulut, menggunakan es rumahan untuk menjaga mutu ikan tuna ini. Foto : Themmy Doaly
nelayan di Tidore, Sangihe, Sulut, menggunakan es rumahan untuk menjaga mutu ikan tuna ini. Foto : Themmy Doaly

Kekecewaan itu bertambah karena dalam mempersiapkan kebutuhan ekspor ikan, nelayan Tidore paling sering terlibat.“Padahal, kami ikut terlibat waktu mempersiapkan kebutuhan launching ekspor ikan. Belanja kardus sama-sama, es-nya suplai dari sini, pake es rumahan. Ikan juga kami kirim.”

“Waktu ibu Susi datang, justru nelayan Tidore yang tidak diundang. Nggak beres. Sebenarnya, siapa yang mau tatap muka dengan ibu Susi?”

Menanggapi keluhan nelayan tadi, Felix Gaghaube, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemkab Sangihe mengatakan, kendala di sektor kelautan dan perikanan salah satunya adalah perizinan.Sebab, dalam prosesnya, pengeluaran izin itu merupakan kewenangan instansi yang berbeda-beda.

Fungsi teritori, dicontohkan dia, ada di angkatan laut. Begitu juga jika syahbandar belum mengeluarkan pas kecil, pihaknya tidak bisa memberikan bukti pencatatan kapal perikanan.

“Apalagi, saat ini, untuk kapal 10 sampai 30 GT, pas kecil surat ukur itu juga harus sampai di syahbandar Manado. Semakin sulit lagi. Itu jadi hambatan-hambatan dalam peningkatan produktifitas nelayan di kabupaten kepulauan Sangihe.”

Menurut Felix, kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan sudah cukup baik untuk nelayan. Namun, terkait dengan kewenangan masing-masing instansi itu, DKP Sangihe tidak bisa melakukan intervensi, selain membantu nelayan untuk mempercepat prosesnya.

Dalam beberapa pertemuan, pihaknya sempat mengusulkan pengurusan izin untuk kapal-kapal perikanan sebaiknya cukup dilakukan di syahbandar perikanan saja. Namun, kata dia, usulan itu masih dalam proses perjuangan.

Aktivitas nelayan dalam perahunya di perairan TIdore, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Foto : Themmy Doaly
Aktivitas nelayan dalam perahunya di perairan TIdore, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Foto : Themmy Doaly

Dampak sulitnya pengurusan izin itu, masih dikatakan Felix, tidak sedikit nelayan yang ditangkap ketika melaut.“(Nelayan) dinilai tidak patuh.Tapi, mau patuh gimana, mengurus ini saja sangat sulit. Sementara, mereka bergantung pada usaha penangkapan ikan. Kan, kasihan, mereka adalah nelayan tradisional.Tapi persyaratan itu tidak tradisional lagi.”

Upaya Mengubah Jalur Perdagangan Ikan

Pasar Towo’e terletak di kecamatan Tahuna. Sekitar 500 meter dari kelurahan Tidore. Di pasar itu, nelayan dari banyak tempat mendaratkan hasil tangkapannya. Selain menjual ikan, mereka juga bisa beli kebutuhan sehari-hari ataupun kebutuhan melaut.

Suasana pasar Towo’e berbeda dengan Dagho yang pada kurun beberapa bulan lalu dikabarkan sepi ikan. Di pasar ini, malalugis terlihat melimpah. Sehingga, harga jual ikan terbilang murah. “(Ikan malalugis) satu tampa (wadah) Rp20.000. Kalau lagi sedikit, maka jumlahnya akan dikurangi,” kata salah satu pedagang ikan di pasar Towo’e.

Dijelaskan Johanis Medea, Kepala Satker PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) Tahuna, sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan kementerian KKP untuk mengoptimalkan Dagho, pemerintah kabupaten perlu mewajibkan kapal-kapal perikanan melakukan bongkar-muat ikan di Dagho.

Caranya, ujar Johanis,dengan mengeluarkan peraturan tertulis. Namun, sebelum aturan itu diterapkan, pemerintah daerah disarankan untuk berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan nelayan terlebih dahulu.

“Misalnya, selain BBM, ada penjualan alat, perbaikan jaring, perbaikan alat tangkap serta alat perbaikan mesin. Semua itu harus disiapkan supaya Dagho bisa jalan. Kalau cuma harap bantuan anggaran, nggak bisa jalan. Bagaimana Dagho bisa jalan, kalau tidak ada kapal yang masuk ke sana.”

SPDN di kompleks Pelabuhan Perikanan Dagho, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
SPDN di kompleks Pelabuhan Perikanan Dagho, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

PSDKP Satker Tahuna sebenarnya sempat membuka pos di Dagho untuk melayani penerbitan Surat Laik Operasi (SLO). Hanya saja tidak ada masyarakat yang mengajukan permohonan. Dia menilai, umumnya, nelayan mengurus SLO di Tahuna karena di kecamatan tersebut mereka juga bisa membeli kebutuhan sehari-hari atau keperluan untuk melaut.

Seturut data Satker PSDKP Tahuna, dalam kurun Januari hingga Agustus 2016, hasil tangkapan ikan malalugis yang didaratkan nelayan mencapai angka 87.450 kg. Total hasil tangkapan malalugis, menempatkan ikan jenis ini sebagai tangkapan paling banyak dibanding dengan jenis lainnya.

Sejak kunjungan menteri Susi, hasil tangkapan ikan jenis malalugis bisa dirinci sebagai berikut, Mei 10.437 kg, Juni 8.153 kg, Juli 10.359 kg, kemudian mencapai puncaknya di bulan Agustus dengan jumlah tangkapan mencapai 28.906 kg.

“Tidak bisa hanya menuntut Perindo membeli ikan dengan harga tinggi kalau bisnisnya belum jalan lancar. Harga akan naik kalau produksi membaik. Bagaimana ikan bisa harga tinggi kalau yang masuk di Perindo cuma 100 kg. (Jumlah itu) tidak sampai target,” pungkas Johanis Medea.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,